PEDOMAN KARYA
Kamis, 08 Desember 2016
Sejarah Muhammadiyah di Sulawesi Selatan
(6):
Terbentuknya
Konsul Muhammadiyah Celebes Selatan
Oleh: Asnawin Aminuddin
(Wakil Ketua Majelis Pustaka dan
Informasi/Humas Muhammadiyah Sulsel)
Perkembangan Muhammadiyah Cabang Makassar
di bawah kepemimpinan KH Abdullah ternyata cukup pesat. Infrastruktur
organisasi semakin lengkap. Tabligh-tabligh semakin digencarkan. Penempatan
kader-kader melalui kelompok-kelompok pengajian juga semakin digiatkan.
Perkembangan tersebut juga ditandai dengan
semakin banyaknya peserta pengajian, baik dari Makassar, maupun dari berbagai
daerah di Sulawesi Selatan.
Ketentuan organisasi yang memberikan
kesempatan kepada anggota Muhammadiyah yang telah cukup berjumlah 15 orang
untuk membuat Group Muhammadiyah di daerah atau wilayah masing-masing, kian
menambah jumlah kelompok-kelompok Muhammadiyah, baik di Makassar maupun di
daerah.
Hingga tahun 1968, hampir seluruh daerah
di Sulawesi Selatan telah dirambah oleh Persyarikatan Muhammadiyah.
Pembentukan Muhammadiyah di Kabupaten Gowa
berawal dipelopori oleh Abu Bakar Daeng Bombong, salah seorang anggota
Muhammadiyah Group Mariso, Kota Makassar, yang menetap di daerah pa’baeng-baeng
dan sehari-hari bekerja sebagai tukang jahit.
Abu Bakar Daeng Bombong berupaya
mengadakan pembinaan di daerah tempat tinggalnya dengan mendirikan mushallah
yang dibangunnya sendiri sebagai tempat untuk mengadakan pertemuan-pertemuan
atau pengajian-pengajian.
Di mushallah itulah, para peserta
pengajian bersepakat membetuk Muhammadiyah Group Jongaya, dengan komposisi
pengurus, Abu Bakar Daeng Bombong sebagai Voozitter, Abdul Razak Daeng Ngarang
sebagai Secretaris, serta dibantu oleh Abdul Razak Daeng Mile, Daeng Sikota,
Ismail, dan Sarapa Daeng Tarru. (Radjab, 1999:44)
Muhammadiyah Group Jongaya menjadi ranting
pertama Muhammadiyah di Gowa, sekaligus cikal bakal terbentuknya Muhammadiyah
Daerah Gowa, pada tahun 1927.
Pada tahun yang sama, Muhammadiyah
berkembang di daerah-daerah lain. Berturut-turut daerah yang menerima
Muhammadiyah, adalah Pangkajene-Maros, Sengkang (Wajo), Bantaeng, Labbakkang
(Pangkep), Belawa (Wajo), Majene, Balangnipa Mandar.
Kemudian pada tahun berikutnya, 1928,
Muhammadiyah memasuki daerah-daerah seperti Rappang (Sidrap), Pinrang, Palopo,
Kajang (Bulukumba), Gantarang (Bulukumba), Maros, Soppengriaja (Soppeng),
Takkalasi (Barru), Lampoko (Barru), Ele (Tanete, Barru), Takalala (Soppeng),
dan Balangnipa Sinjai.
Sekarang, Muhammadiyah sudah terbentuk
pada semua kabupaten dan kota se-Sulawesi Selatan, termasuk di Luwu, Luwu
Utara, Luwu Timur, dan Toraja Utara (yang merupakan kabupaten termuda di
Sulawesi Selatan).
Pembentukan dan pengembangan Muhammadiyah
di daerah-daerah tersebut tentu saja tidak semuanya berjalan mulus, bahkan
cukup banyak tantangan yang dihadapi, terutama dalam upaya memberantas
praktek-praktek syirik, takhayul, bid’ah, dan khurafat.
Begitu pun ketika Muhammadiyah berupaya
mengubah pola pikir masyarakat dalam bidang pendidikan, dengan mendirikan
sekolah-sekolah dan madrasah yang memadukan pengetahuan agama dan ilmu
pengetahuan umum.
Di Kabupaten Gowa misalnya. Sebelum
kehadiran Muhammadiyah, umat Islam melaksanakan shalat hari raya Idul Fitri dan
Idul Adha di masjid, tetapi setelah para muballigh Muhammadiyah memberi
penjelasan dan pengertian, akhirnya shalat hari raya Idul Fitri dan Idul Adha
dilaksanakan di tanah lapang atau di lapangan terbuka.
Begitu pun dengan pelaksanaan shalat
Jumat. Sebelum kehadiran Muhammadiyah, khatib membawakan khotbah dengan
menggunakan pengantar Bahasa Arab, sehingga para jamaah umumnya tidak mengerti
apa isi ceramah para khatib.
Setelah para muballigh Muhammadiyah
memberikan penjelasan dan pengertian, akhirnya para khatib shalat Jumat pun
berceramah dengan pengantar Bahasa Indonesia atau bahasa daerah setempat,
sehingga dapat dan mudah dimengerti oleh para jamaah.
Terbentuknya Muhammadiyah Sulsel
Sejak terbentuknya Muhammadiyah Cabang
Makassar pada tahun 1927, secara berturut-turut diadakanlah Konferensi
Muhammadiyah, mulai di Makassar tahun 1928, kemudian di Sengkang (Wajo) tahun
1929, di Majene tahun 1930, di Bantaeng tahun 1930, di Labbakkang (Pangkep)
tahun 1931, di Palopo tahun 1932.
Pada konferensi ke-6 di Palopo, KH
Abdullah terpilih sebagai Konsul Muhammadiyah Celebes Selatan pertama. Nama
Konsul Muhammadiyah Celebes Selatan inilah yang sekarang disebut Pimpinan
Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan.
Selain memilih KH Abdullah sebagai konsul
atau ketua, Konferensi Muhamamdiyah ke-6 di Palopo juga menetapkan Mansyur
Yamani selaku vice voorsitter (wakil konsul), H Nurdin Daeng Magassing selaku
secretaris, Daeng Manja selaku penning meester (bendahara), Andi Sewang Daeng
Muntu, Saloko Daeng Malewa, Syahadat Daeng Situju, Ali Selalla, dan Hajjah
Daeng Rampu sebagai commissaris (pembantu umum).
KH Abdullah menjalankan amanah sebagai
Konsul Muhammadiyah Celebes Selatan hingga Konferensi Muhammadiyah ke-13 di
Selayar, tahun 1938. Dengan demikian, KH Abdullah menjabat sebagai Konsul
Muhammadiyah Celebes Selatan (yang sekarang disebut Ketua Pimpinan Wilayah
Muhammadiyah Sulawesi Selatan) sejak 1931 hingga 1938. (bersambung)