ADA APA? Impian menyaksikan pemain tenis meja Indonesia melibas lawan-lawannya pada Kejuaraan Tenis Asia Tenggara 2016 atau 10Th South East Asia Table Tennis Championships (Seatta), di Makassar, ternyata benar-benar hanya impian. Sama sekali tidak terwujud. Malahan, dari tujuh medali emas yang diperebutkan, tak satu pun yang berhasil direbut timnas Indonesia. Ada apa dengan tim tenis meja Indonesia?
-------
PEDOMAN
KARYA
Ahad, 08 Januari 2017
Mental Juara dan
Dualisme Kepengurusan
Catatan
Olahraga Asnawin Aminuddin
(Alumni
FPOK IKIP Ujungpandang)
Di penghujung tahun 2016, di Kota
Makassar, tim tenis meja Indonesia mendapat pelajaran yang sangat berharga. Pelajaran
yang akan sulit mereka lupakan seumur hidup. Pelajaran yang jika diarahkan
kepada pemikiran positif, akan sangat bermanfaat bagi masa depan mereka dan
juga masa depan tenis meja Indonesia.
Di Celebes Convention Centre (CCC)
Tanjung Bunga, Makassar, Ficky Supit Santoso dan Lilis Indriani cs bertanding
melawan tim Vietnam, Singapura, Malaysia, dan Thailand, pada Kejuaraan Tenis
Asia Tenggara 2016 atau 10Th South East Asia Table Tennis Championships
(Seatta).
Sebagai tuan rumah, tim tenis meja
Indonesia tentu saja memiliki banyak keuntungan, terutama karena mendapat
dukungan langsung dari pengurus, pembina, dan para pencinta olahraga tenis meja
dari pinggir lapangan.
Maka wajar kalau para penggemar olahraga
di Tanah Air, khususnya yang menyaksikan langsung pertandingan tersebut di
pinggir lapangan, memimpikan para pemain tenis meja Indonesia melibas
lawan-lawannya.
Sayangnya, impian itu ternyata
benar-benar hanya impian. Sama sekali tidak terwujud. Malahan, dari tujuh
medali emas yang diperebutkan, tak satu pun yang berhasil direbut timnas
Indonesia.
Ficky Supit Santoso cs di bagian putra,
dan Lilis Indriani cs di bagian putri, hanya mampu masuk ke babak final pada
tiga nomor, tetapi gagal menuntaskan perjuangannya guna merebut medali emas.
Sungguh ironis. Tim tenis meja Indonesia
seolah-olah jadi tamu di Makassar, tamu di negeri sendiri. Peluang besar yang
seolah berada di pelupuk mata, tak bisa diraih. Ada apa dengan tim tenis meja
Indonesia? Ada apa dengan para pengurus, pembina, pelatih, dan pemain tenis
meja Indonesia?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut,
ada baiknya kita sedikit mengulas Kejuaraan Tenis Meja Asia Tenggara di Makassar,
21-24 Desember 2016.
Salah satu yang menarik dari kejuaraan
tersebut, yaitu mental juara dan kondisi fisik para pemain Vietnam. Mereka baru
tiba di Bandara Internasional Sultan Hasanuddin, Makassar, pada Selasa malam 20
Desember 2016, sekitar pukul 22.00 Wita, dan masuk kamar hotel sekitar pukul
23.30 Wita.
Keesokan harinya, Rabu pagi, 21 Desember
2016, pukul 08.00 Wita, mereka sudah harus bertanding pada nomor beregu putra
dan nomor beregu putri. Artinya, mereka hanya memiliki waktu pemulihan tenaga (recovery) sekitar delapan jam, setelah
menempuh perjalanan jauh dari Vietnam ke Makassar.
Saat tampil di Celebes Convention Centre
(CCC) Jalan Metro Tanjung Bunga, Makassar, yang disulap menjadi lapangan
pertandingan tenis meja bertaraf internasional, Nguyen Anh Tu cs tampil begitu
bugar. Mereka bahkan berhasil mengalahkan Indonesia dengan skor telak 3-0, baik
di beregu putra, maupun di beregu putri.
Nguyen Anh Tu cs di beregu putra, serta
Nguyen Thi Nga di beregu putri memang harus berjuang ekstra keras untuk
mengalahkan Indonesia, karena Ficky Supit Santoso cs di beregu putra, serta
Lilis Indriani cs di beregu putri juga memberikan perlawanan yang lumayan
bagus, tetapi kemenangan akhirnya direbut Vietnam.
Kemenangan Vietnam atas Indonesia pada
nomor beregu putra dan beregu putri akhirnya berlanjut dengan mengalahkan tim
Singapura, Malaysia, dan Thailand, hingga mereka merebut medali emas.
Sungguh sebuah kemenangan sempurna.
Datang paling akhir ke Makassar dengan waktu pemulihan tenaga kurang dari 12
jam, tim tenis meja beregu putra dan beregu putri Vietnam ternyata mampu
mengalahkan semua lawan-lawannya.
Ibarat pasukan Julius Caesar pada abad
ke-47 Sebelum Masehi, tim tenis meja Vietnam seolah-olah mengucapkan: “veni,
vidi, vici” (Saya datang, saya melihat, saya telah menaklukkan).
Keberhasilan tim Vietnam pada nomor
beregu putra dan beregu putri, disempurnakan dengan kemenangan pada nomor
tunggal putra, melalui Nguyen Anh Tu yang menundukkan pemain Singapura, Poh
Shao Feng Ethan.
Catatan menarik lainnya, Vietnam
menempatkan tiga pemainnya pada babak semifinal tunggal putra, yakni Nguyen Anh
Tu, Doan Bha Tuan Anh, dan Dinh Quang Linh. Di semifinal, Nguyen Anh Tu
mengalahkan Doan Bha Tuan Anh, sedangkan Dinh Quang Linh kalah dari pemain Singapura, Poh
Shao Feng Ethan.
Selain dari tim Vietnam, kita juga harus
mengambil pelajaran dari keberhasilan tim tenis meja Singapura yang memborong
empat medali emas dari nomor tunggal putri, ganda putri, ganda putra, dan ganda
campuran. Mereka memang kalah bersaing dengan Vietnam pada nomor beregu, tetapi
berhasil memenangi pertarungan pada nomor perorangan.
Mental Juara
Kita memang agak terhibur, karena tim
beregu putra Indonesia yang diperkuat Ficky Supit Santoso, Gilang Maulana, dan
Deepash Baghwani, berhasil keluar sebagai runner
up, tetapi hiburan kecil itu nyaris tak berarti karena tim beregu putri
terpuruk di urutan keempat, di bawah tim Vietnam, tim Singapura, dan tim
Malaysia. Untung masih ada Thailand yang menempati posisi juru kunci.
Hiburan lainnya yaitu tim Indonesia juga
meraih medali perak dari nomor ganda campuran melalui pasangan Ficky Supit
Santoso/Gustin Dwi Jayanti, kemudian medali perak dari nomor ganda putri
melalui Gustin Dwi Jayanti/Lilis Indriani.
Indonesia juga meraih medali perunggu
melalui pasangan ganda campuran Gilang Maulana/Lilis Indriani, pasangan ganda
putri Kharisma Nur Hawwa/Hani Tri Azhari, serta melalui ganda putra Gilang
Maulana/Ficky Supit Santoso.
Pelajaran apa yang bisa dipetik dari
keberhasilan tim tenis meja Vietnam merebut medali emas beregu putra dan medali
emas beregu putri? Mengapa mereka mampu merebut medali emas dengan mengalahkan
empat pertandingan berturut-turut dengan masa pemulihan tenaga hanya sekitar
delapan jam?
Setidaknya ada dua hal. Pertama, mereka
memiliki mental juara. Kedua, fisik para pemain mereka sangat prima.
Dua hal inilah yang sangat menentukan
dalam setiap pertandingan olahraga. Mental juara tidak terlalu berarti bila
tidak didukung fisik yang prima. Sebaliknya, fisik yang prima harus ditunjang
dengan pengalaman bertanding atau jam terbang untuk menumbuhkan mental juara.
Tentu masih ada faktor lain yang juga
tidak kalah pentingnya, yaitu kondisi psikologis para pemain, mulai saat
persiapan dan pemusatan latihan, hingga saat mereka bertanding yang tidak boleh
terganggu oleh hal-hal non-teknis, misalnya perpecahan ke dalam, baik antara
pengurus dengan pelatih, antara pelatih dengan pemain, maupun antar-pemain.
Dualisme
Kepengurusan
Tidak bisa dimungkiri, anjloknya
prestasi tenis meja Indonesia, sangat terkait dengan terjadinya dualisme
kepengurusan Persatuan Tenis Meja Seluruh Indonesia (PTMSI), baik di tingkat
pusat, maupun di tingkat provinsi, bahkan hingga ke sejumlah kabupaten dan
kota.
Dualisme kepengurusan PTMSI di tingkat
pusat, yaitu pertama PTMSI yang dipimpin mantan Wakapolri Komjen Pol (Purn) Oegroseno,
dan kedua PTMSI yang dipimpin Anggota DPR RI dari Partai Kebangkitan Bangsa
(PKB), Lukman Edy.
Kejuaraan Tenis Meja Asia Tenggara
(SEATTA) di Makassar, digelar oleh PTMSI yang dipimpin Oegroseno. Artinya, di
tingkat internasional, PTMSI di bawah kepemimpinan Oegroseno yang diakui,
tetapi Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Pusat justru mengakui PTMSI
yang diketuai Lukman Edy.
Diharapkan dalam waktu dekat, terjadi
rekonsiliasi atau islah antara dua kepengurusan PTMSI tersebut, apalagi PTMSI
kubu Oegroseno telah memenangi kasasi di Mahkamah Agung (MA).
Jika tidak terjadi islah atau
rekonsiliasi, jangan harap prestasi tenis meja Indonesia dapat mencapai level
ASEAN, Asia, apalagi pada level kejuaraan dunia dan olimpiade.
Biarlah olahraga diurus oleh orang-orang
yang mencintai olahraga. Biarlah tenis meja diurus oleh orang yang mencintai
tenis meja. Bukan oleh orang yang memiliki kepentingan pribadi atau kelompok,
apalagi oleh orang-orang tertentu di pemerintahan yang ingin memanfaatkan
olahraga untuk kepentingan diri dan kelompoknya.
Jayalah olahraga Indonesia. Jayalah
tenis meja Indonesia. Selamat tahun baru 2017. Salam olahraga!