------
PEDOMAN
KARYA
Sabtu,
21 Januari 2017
Nabi Ibrahim dan
Penyembah Patung
Nabi Ibrahim alaihissalam, dilahirkan di
sebuah tempat bernama Faddam, A’ram, Mausul, Irak, yang termasuk wilayah
Kerajaan Babilon. Waktu itu, Kerajaan Babilon diperintah oleh seorang raja yang
bengis dan mempunyai kekuasaan yang absolut, yaitu Raja Namrud.
Ayah Ibrahim bernama Azar (Tarih) bin
Tahur bin Saruj bin Rau’ bin Falij bin Aabir bin Shalih bin Afrakhsyad bin Sam
bin Nuh AS. Ia adalah seniman membuat patung yang ulung, dan sangat dicintai
oleh Raja Namrud. Patung-patung buatan ayahnya itu dijadikan sesembahan.
Patung-patung itu dianggap sebagai Tuhan.
Suatu saat, Raja Namrud mendapat
firasat, bahwa suatu waktu akan lahir anak laki-laki yang akan menjatuhkan takhta
kerajaannya. Sejak itu, Raja Namrud yang mengaku dirinya sebagai Tuhan, memerintahkan
tentaranya agar menjaga seluruh pelosok negeri.
Bila menemukan bayi lelaki, mereka harus
segera membunuhnya. Hal ini leluasa dilakukannya, sebab memang negeri Irak pada
saat itu tidak mempunyai undang-undang. Semua keputusan ada di tangan Raja.
Maka banyak sekali bayi lelaki yang mati
pada masa itu. Pada masa itu pula, isteri Azar (dalam Kitab Taurat, Azar
disebut dengan nama Taroh) melahirkan seorang bayi laki-laki. Mendengar berita
buruk itu dan karena takut anaknya dibunuh oleh tentara kerajaan, Azar kemudian
membuang Ibrahim ke sebuah gua di dalam hutan.
Atas kehendak Allah, Ibrahim tidak diganggu
binatang buas. Dia pun tidak pernah kelaparan dan kehausan. Atas kehendak Allah
pula, jari-jari Ibrahim dapat mengeluarkan cairan madu.
Mulut Ibrahim tinggal mengulum dan
mengecup jari-jemarinya yang dapat mengeluarkan madu itu, bila dia lapar dan
haus. Menurut perkiraan Azar, bayi yang dibuangnya itu sudah mati dimakan
binatang buas, atau mati karena kelaparan dan kehausan.
Ternyata dugaan Azar meleset. Ibrahim malah
sehat segar-bugar dan makin besar. Azar senang sekali. Ibrahim ingin pulang,
tetapi Azar melarang, karena keadaan di dalam kota tidak aman bagi anak-anak
laki-laki. Setelah remaja Ibrahim pun keluar dari dalam gua untuk mencari ibu
dan ayahnya. Saat itu, dia makin memahami keadaan dengan pikirannya yang
cerdas.
Keajaiban atau keanehan ini disebut
irhash, yaitu suatu keajaiban yang luar biasa yang terjadi pada diri seorang
Rasul semasa kecilnya, dengan izin Allah SWT.
Ketika dewasa, Ibrahim diutus Allah
menjadi Rasul-Nya. Nabi Ibrahim heran menyaksikan ayahnya menyembah patung
buatannya sendiri. Penduduk negeri pun menyembah berhala. Raja Namrud begitu
juga.
Patung-patung yang disembah ayahnya,
yang dijadikan Tuhan oleh penduduk, juga oleh Raja Namrud, menggangu pikiran
dan perasaannya.
Dia selalu termenung dan bertanya-tanya:
“Mengapa manusia menyembah patung atau berhala-berhala itu? Padahal
patung-patung itu tidak dapat mendengar dan melihat, apalagi menghidupkan dan
mematikan? Kalau berhala-berhala itu adalah Tuhan, yang dibuat manusia,
siapakah yang menciptakan manusia?”
Siang dan malam Ibrahim mencari-cari
Tuhan yang sebenarnya dengan akalnya sebagaimana diterangkan dalam Al-Qur’an.
“Ketika hari telah malam, Ibrahim melihat bintang. Katanya: Inilah Tuhanku. Tetapi
setelah dilihatnya bintang itu terbenam, ia berkata, aku tidak akan ber-Tuhan
kepada yang terbenam. Sesudah itu ia juga melihat Bulan Purnama yang
memancarkan cahayanya gilang gemilaang, ia pun berkata: Inilah Tuhanku. Tetapi
setelah bulan itu lenyap, lenyap pula pendapatnya ber-Tuhan pada bulan itu. Dan
ia pun berkata, kalau tidak Tuhanku yang sebenarnya yang menunjukkan, tentu aku
akan menjadi sesat. Pada waktu siang dilihatnya matahari (yang lebih besar dan
lebih bercahaya dari pada apa-apa yang dilihat sebelumnya) maka iapun berkata: Oh,
inilah Tuhanku yang sebenarnya, inilah yang paling besar, tetapi setelah matahari
terbenam ia pun berkata: Hai kaumku, aku tidak mau menyekutukan Tuhan
sepertimu, aku hanya ber-Tuhan kepada yang menjadikan langit dan bumi dengan ikhlas
dan sekali-kali tidak mau mempersekutukan-Nya.” (Al-An’am: 76-78).
Setelah Nabi Ibrahim melakukan
dakwahnya, menyiarkan agama Allah, dia berani membersihkan kepercayaan-kepercayaan
yang tidak benar. Dia pun berani menghancurkan berhala-berhala yang tidak
memberi manfaat.
Menghancurkan
Berhala
Bangsa Babilon pada masa itu, setiap
tahun punya tradisi memperingati hari raya besar, dengan cara meletakkan
sesajian, berupa makanan dan minuman di pusat pemujaan berhala, di Haekal.
Beragam makanan dan minuman diletakan di
antara patung-patung. Bangsa Babilon ingin melakukan pemujaan terhadap berhala
secara bersama-sama sembari menggelar pesta makanan dan minuman. Yang datang
terutama adalah Raja Namrud dan para pembesar kerajaan, disertai bala
tentaranya.
Seperti biasanya, sebelum acara pemujaan
dan pesta dimulai, semua orang harus pergi ke luar kota untuk berburu. Mereka
keluar kampung bersama Raja Namrud.
Saat kampung menjadi kosong, saat itulah
Nabi Ibrahim pergi ke rumah berhala, pusat pemujaan berhala, menghancurkan
benda-benda itu satu persatu. Ia sengaja meninggalkan satu berhala besar utuh
dengan sebuah kapak dikalungkan pada lehernya.
Ketika penduduk dan Raja Namrud pulang,
mereka melihat berhala-berhala sudah hancur. Mereka menduga Nabi Ibrahim-lah
yang memecahkan tuhan-tuhan mereka itu. Raja Namrud murka. Nabi Ibrahim pun dipanggilnya.
“Wahai Ibrahim, engkaukah yang memecahkan
berhala-berhala itu?” tanya Raja Namrud setelah Nabi Ibrahim menghadap.
“Bukan aku. Berhala besar itu yang
menghancurkan berhala-berhala yang kecil itu, buktinya kapak masih tergantung
di lehernya,” jawab Nabi Ibrahim.
Raja Namrud bertambah marah; “Mana
mungkin patung dapat berbuat semacam yang engkau katakan itu!”
“Kalau patung itu tidak dapat berbuat
apa-apa, mengapa kalian sembah?” tanya Nabi Ibrahim.
Raja Namrud kehilangan kesabarannya,
rakyat disuruh mengumpulkan kayu bakar sebanyak-banyaknya untuk membakar
Ibrahim. Setelah kayu bakar itu terkumpul bertimbun-timbun, maka api unggun
besar pun dibuatnya.
Tapi mereka merasa kebingungan sendiri,
bagaimana caranya memasukkan Ibrahim ke dalam api yang sedang berkobar-kobar
itu. Akan diantarkan sendiri oleh mereka tentu tidak mungkin, sebab mereka
tidak mampu mendekati kobaran api besar itu dari jarak yang agak dekat.
Kemudian Ibrahim dibakar di dalam api unggun
yang berkobar-kobar itu dengan memasukkan Nabi Ibrahim ke dalam api dari jarak
yang jauh dengan cara Nabi Ibrahim diletakkan di suatu tempat yang dapat
dilentingkan seperti anak panah yang dapat dilentingkan dari jarak jauh ke arah
sasaran yang dituju.
Merekapun merasa puas dan berkerumun
menonton dari jauh peristiwa yang sangat mengerikan itu. Mereka mengira bahwa
Nabi Ibrahim telah berakhir hidupnya dan merekalah yang menang dalam hal ini.
Tetapi alangkah terkejutnya mereka
sewaktu api sudah padam, kayu bakar sudah habis, Nabi Ibrahim keluar dari dalam
api dengan selamat, bahkan sehelai rambut pun tak ada yang terbakar dan tak
sedikitpun merasakan panasnya api tersebut.
Allah berfirman kepada api, sebagaimana
tertulis dalam Al-Qur’an: “Wahai api, hendaklah dingin dan selamatkan Ibrahim!”
(Al-Anbiya: 69).
Nabi Ibrahim selamat, ia merasakan api yang berkobar-kobar itu dingin
saja.
Hijrah ke
Palestina
Setelah selamat dari kobaran api, Nabi
Ibrahim mengajak ayahnya untuk cepat bertobat dan memeluk agama Allah, seperti
tercantum di dalam AL-Qur’an, surah Maryam, ayat 41–45: “Sesungguhnya ia adalah
Nabi yang benar. Ketika ia berkata kepada bapaknya: Wahai bapakku, mengapa
engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar dan tidak melihat dan tiada
bermanfaat kepada Engkau sedikitpun? Wahai bapakku, jangan engkau sembah setan,
sesungguhnya setan itu durhaka kepada Allah. Wahai bapakku, sesungguhnya aku
takut kepada siksaan Allah yang akan menimpa engkau, maka engkau akan berteman
dengan setan di dalam neraka.”
Azar, ayah Nabi Ibrahim menjawab:
“Adakah engkau membenci kepada sesembahanku (patung-patung) ya Ibrahim? Ingatlah,
jika engkau tidak berhenti menghina Tuhanku, niscaya aku akan melempar
(menyiksa)-mu, dan enyahlah engkau dari sini selama-lamanya.” (Maryam: 46).
Karena Negeri Babilon tidak aman lagi
bagi Nabi Ibrahim, maka ia memutuskan untuk hijrah ke Syam (Palestina), bersama
Luth yang kemudian juga menjadi Nabi, dan beberapa pengikutnya ia meninggalkan
Babilon. (Ditulis ulang oleh Asnawin, dari berbagai sumber)