RUPAWAN. Mendengar suaranya yang rada lembut dan wajah yang rupawan itu, Daeng Tompo tidak langsung menjawab. Ia malah melongo dan larut dengan perasaannya sebagai seorang lelaki, karena sepanjang hikayat hidupnya, jarang sekali ia seolah jatuh cinta pada pandangan pertama melihat wajah perempuan yang ayu nan rupawan.
--------
PEDOMAN
KARYA
Sabtu,
11 Februari 2017
Hikayat Daeng
Tompo:
------------------------------------
Wajah Rupawan
dan Suara Merdu Penjaga Warung
Siang itu, sang surya tengah
mengoptimalkan sinarnya. Tak ayal, bumi yang dipijak dan hawa pun terasa panas
membara. Daeng Tompo yang tengah berjalan kaki menyusuri jalan poros, akhirnya
memutuskan singgah di sebuah warung nasi rumahan.
Hatta, masuklah Daeng Tompo ke dalam
warung. Suasananya cukup ramai. Maklum jam makan siang, saat “kampung tengah”
sedang keroncongan. Tiada sesiapapun yang ia kenali. Kehadirannya pun tak ada
yang peduli.
Semua tamu warung khusyuk makan. Saking
khusyuknya, mereka tak peduli kehadiran siapapun yang masuk belakangan. Mereka
makan dengan lahapnya. Butir-butir keringat sebesar biji jagung yang berjatuhan
dari kulit kepala, wajah, dan lehernya pun tak mereka hirau.
Daeng Tompo yang tengah melongo, langsung
kaget saat mendengar teguran suara halus dari seorang perempuan muda.
“Mau makan apa, daeng,” tanya perempuan
penjaga warung yang ternyata berparas cukup ayu dan rupawan.
Mendengar suaranya yang rada lembut dan
wajah yang rupawan itu, Daeng Tompo tidak langsung menjawab. Ia malah melongo
dan larut dengan perasaannya sebagai seorang lelaki, karena sepanjang hikayat
hidupnya, jarang sekali ia seolah jatuh cinta pada pandangan pertama melihat
wajah perempuan yang ayu nan rupawan.
“Daeng?” perempuan rupawan itu kembali
menyapa dengan suaranya yang terdengar begitu merdu di telinga Daeng Tompo
hingga tubuhnya seolah melayang di angkasa.
“Eh, iya, saya mau makan ikan bandeng
bakar rica-rica dan sayur kangkung tumis,” kata Daeng Tompo sambil berupaya
menguasai diri.
Tak lama kemudian datanglah pesanannya
dan ia pun khusyuk makan. Seperti tamu-tamu warung lainnya, ia pun berkeringat
hingga bajunya kuyup seperti habis kehujanan. Sama sekali tidak ingat lagi
dengan perempuan penjaga warung berwajah rupawan nan bersuara merdu tadi.
Selesai makan dan membayar di kasir,
Daeng Tompo keluar dan langsung duduk berangin-angin bersama beberapa orang, di
bangku panjang yang sengaja disediakan di depan warung.
Sambil menikmati angin sepoi-sepoi, ia
menyapa seorang pria yang menurut taksiran Daeng Tompo berumur sekitar 50 tahun
dengan melihat rambutnya yang mulai memutih, tapi terlihat energik. Mereka
kemudian akrab satu sama lain dan terlibat pembicaraan mendalam.
“Anak laki-laki saya akan terbang
kembali ke ibukota sore nanti. Ia kuliah di sana. Saya sudah pesan tiket, tapi
uang saya sekarang sisa tiga puluh lima ribu rupiah. Harga tiket enam ratus dua
puluh lima ribu rupiah. Saya sudah berupaya cari pinjaman, baik dari teman
maupun dari kantor, tapi teman saya mungkin lupa dan bos di kantor saya pun
belum menyetujui permintaan saya,” tutur pria tersebut.
Daeng Tompo menatap tajam mata pria
tersebut. Ia yakin pria itu berkata jujur. Ada rasa kasihan, rasa kagum pun ada,
karena wajah pria itu sama sekali tidak tampak masygul. Raut wajahnya
biasa-biasa saja, tidak tampak kesedihan apalagi kepanikan di sana.
“Tapi saya yakin, Allah pasti akan
memberikan jalan keluar. Saya sudah berupaya sebisa mungkin, termasuk meminta
bantuan pinjaman dari beberapa teman, insya Allah ada jalan keluarnya,” kata
pria itu dengan wajah penuh keyakinan.
Tiba-tiba telepon genggamnya berdering
dan ia pun segera berdiri sambil memberi kode dengan tangan tanda pamit kepada
Daeng Tompo.
“Alhamdulillah, iya, saya segera ke
sana,” kata pria itu kepada orang yang bicara dari balik telepon genggamnya, sambil
melambaikan tangan kepada Daeng Tompo yang langsung membalasnya dengan lambaian
disertai senyuman.
Dari pembicaraan singkat dan senyum yang
tampak semringah, Daeng Tompo menduga pria itu sudah mendapat jalan keluar dari
masalah yang dihadapinya.
Setelah merasa sudah agak nyaman, Daeng
Tompo pun berdiri dari bangku yang sudah lama diduduki untuk melanjutkan
perjalanannya. Namun sebelum melangkahkan kakinya, ia masih sempat membalikkan
badan dan melemparkan pandangan sambil tersenyum manis ke dalam warung.
Hatinya langsung tenteram sentosa
seperti taman yang penuh bunga, karena dari dalam warung terpancar senyum
menawan dari perempuan penjaga warung berwajah rupawan sambil melambaikan
tangan.
“Terima kasih, daeng. Nanti singgah lagi
ya!” kata perempuan yang suaranya terasa begitu merdu di telinga Daeng Tompo. (asnawin)