---------
Jumat, 31 Maret 2017
Masih Banyak
Dosen Berijazah S1
MAKASSAR,
(PEDOMAN KARYA).
Undang-Undang Guru dan Dosen (Pasal 45 dan Pasal 46 UU Nomor 14 Tahun 2005) antara
lain mewajibkan dosen memiliki kualifikasi akademik minimal lulusan magister
(S2) untuk mengajar pada program diploma atau program sarjana (S1). Faktanya, hingga kini masih banyak dosen
yang mengajar pada program diploma dan atau pada program sarjana, yang masih
berijazah S1 (sarjana).
Sebagai sampel, berdasarkan data QS-World, Webometrics, dan BAN-PT
pada Februari 2016,
dari 1.108 dosen yang mengajar pada 19 perguruan tinggi Muhammadiyah (PTM) di
Sulawesi Selatan, masih ada 26,51 persen dosen yang berijazah S1.
“Selain itu, masih ada 51 persen dosen yang
belum memiliki jabatan fungsional, serta 83,60 persen dosen belum mendapatkan
pengakuan sebagai dosen profesional,” ungkap Sekretaris Unit Penjaminan Mutu
(UPM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Muhammadiyah (Unismuh)
Makassar, Dr Edi Jusriadi, kepada “Pedoman Karya”, di Makassar, Jumat, 31 Maret 2017.
Data dan fakta tersebut, katanya, telah
ia ungkapkan dalam disertasinya berjudul: “Pengembangan Intellectual Capital dalam Mendukung Perilaku Kerja dan Kinerja
Dosen Perguruan Tinggi Muhammadiyah di Sulawesi Selatan”, yang dipaparkan saat
mengikuti ujian promosi doktor bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia, Sekolah
Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya, 23 Februari 2017.
Tentang tingkat partisipasi dosen PTM
dalam pengembangan skill atau
keterampilan dan kompetensi melalui kegiatan pelatihan wajib dan penunjang yang
meliputi Pelatihan Program Pengembangan Keterampilan Dasar Teknik Instruksional
(Pekerti), applied approach (AA), baitul
arqam, dan lain-lain, Edi menyebut juga partisipasinya masih rendah.
“Dosen yang telah mengikuti Pekerti baru
57,53 persen, yang telah mengikuti Pelatihan AA baru 45,20 persen, yang ikut baitul
arqam 84,24%, sedangkan yang mengikuti pelatihan penunjang seperti seminar,
workshop, lokakarya, dan pengembangan skill
lainnya, keikutsertaan dosen lebih banyak pada level lokal dan sebagai peserta,”
papar Edi.
Fakta lain, katanya, dosen PTM belum
melaksanakan beban Satuan Kredit Semester (SKS) setara 12-16, karena belum
rasio antara jumlah dosen dengan mahasiswa, sehingga banyak dosen harus melaksanakan
pendidikan dan pengajaran lebih dari 16 SKS.
Sementara dalam hal penelitian dan
publikasi ilmiah, lanjut Edi, partisipasi dosen PTM dalam penelitian, khususnya
yang memperoleh dana hibah hanya 53,42 persen
atau 78 judul selama 3 tahun (2013-2015).
“Muhammadiyah selama ini terkesan agak
menelantarkan profesionalisme untuk mengembangkan dirinya dalam mencapai tujuan
organisasi,” ujar pria kelahiran Bontonyeleng, Kabupaten Bulukumba, 22 Februari
1979.
Dia menambahkan, kelemahan Muhammadiyah
juga terletak pada profesionalisme yang disebabkan karena sistem tata kelola PTM
dan perilaku karyawannya, yakni profesionalisme belum menjadi budaya kerja.
“Hasil penelitian Rahman Rahim (sekarang
menjabat Rektor Unismuh Makassar, red) pada tahun 2012, juga menemukan bahwa
tingkat kesejahteraan pegawai pada perguruan tinggi Islam di Sulawesi Selatan
masih rendah,” ungkap Edi.
Daya Saing
Secara kuantitas, katanya, jumlah PTM tercatat
paling banyak di antara keseluruhan perguruan tinggi swasta (PTS) di bawah
koordinasi Kopertis Wilayah IX Sulawesi, yaitu 9,13 persen. Namun dari sisi
daya saing institusi, kuantitas dan kualitas dosen (aspek intangible assets atau intellectual
capital, dan aspek kinerja) tergolong masih rendah.
“Maka, tantangan yang dihadapi perguruan
tinggi Muhammadiyah di Sulawesi Selatan, yaitu daya saing, kualitas tata kelola
institusi, serta permasalahan kualitas sumber daya manusia dan proses akademik,”
tandas Edi.
Dari sisi daya saing institusi, mengutip
data yang dirilis kombinasi hasil penilaian QS World University Rankings (QS.World),
Webometrics Ranking of World Universities, dan BAN-PT untuk level regional, Edi
menyebut hanya Unismuh Makassar yang masuk 20 perguruan tinggi terbaik di
Indonesia bagian timur, yakni berada pada peringkat 12 Provinsi, peringkat 257
Nasional, peringkat 15.801 Dunia, dengan akreditasi institusi B.
Pengembangan Intellectual Capital
Untuk peningkatan kualitas dosen, tata
kelola institusi, dan daya saing PTM, Edi menyarankan perlunya pengembangan dan
peningkatan intellectual capital (modal
intelektual) melalui proses pendidikan formal, pendidikan non-formal, dan
pendidikan nilai Al-Islam dan Kemuhammadiyahan.
“Intellectual
capital
yaitu kompetensi yang dimiliki seorang dosen, baik kompetensi pedagogik,
kompetensi profesional, kompetensi sosial, maupun kompetensi kepribadian yang
dapat menunjang pelaksanaan tridharma atau caturdharma perguruan tinggi
Muhammadiyah,” jelas Edi.
Pengembangan intellectual capital, katanya, perlu dipahami secara bersama
sebagai bagian dari investasi organisasi yang bersifat jangka panjang, sehingga
dibutuhkan political will and policy (kemauan
politik dan kebijakan) dari para pimpinan PTM di Sulawesi Selatan.
Tata kelola sumber daya manusia di PTM, perlu
mendapat perhatian serius dari pimpinan, karena tuntutan pemerintah dan
stakeholder akan pendidikan yang berkualitas, akan menjadi ancaman bagi PTM apabila
tidak melalukan perbaikan mutu sejak dini, khususnya terkait kualitas dosen,
mulai dari jenjang pendidikan, jabatan fungsional, sertifikasi, hingga kegiatan
tridharma.
“Tetapi juga akan menjadi peluang yang
strategis bagi perguruan tinggi Muhammadiyah apabila tata kelola sumber daya
manusia dosen ini mampu diatasi secara cepat,” tegas Edi. (win)