WARTAWAN. Seorang polisi berpangkat AKBP yang hadir pada diskusi tentang kekerasan terhadap wartawan di Kemenkopolhukam, bertanya, apakah setiap tindak pidana terhadap wartawan dilindungi hukum dan bisa dibilang sebagai kekerasan? Saya yang menjadi narasumber tunggal dengan peserta rata-rata berpangkat kolonel dari kementerian yang berada dalam koordinasi Polhukam, harus menjelaskan tentang apa itu wartawan dalam sistem hukum pers di Indonesia. (ist)
--------
PEDOMAN
KARYA
Jumat,
10 Maret 2017
Wartawan Itu Apa?
Oleh:
Kamsul Hasan
(Ketua
Dewan Kehormatan PWI DKI Jakarta)
Seorang polisi berpangkat AKBP yang
hadir pada diskusi tentang kekerasan terhadap wartawan di Kemenkopolhukam, Rabu
kemarin bertanya, apakah setiap tindak pidana terhadap wartawan dilindungi
hukum dan bisa dibilang sebagai kekerasan?
Saya yang menjadi narasumber tunggal
dengan peserta rata-rata berpangkat kolonel dari kementerian yang berada dalam
koordinasi Polhukam, harus menjelaskan tentang apa itu wartawan dalam sistem
hukum pers di Indonesia.
Kata wartawan dalam UU RI Nomor 40 tahun
1999 tentang Pers (selanjutnya disebut UU Pers) terdapat pada Pasal 1 angka 4,
Pasal 4 ayat (4), Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 8. Hanya Pasal 8
yang berbicara soal perlindungan terhadap wartawan.
Sebelum berbicara soal perlindungan
terhadap wartawan, kita harus memahami terlebih dahulu apa yang dimaksud
sebagai pers, karena tidak semua media di Indonesia dapat disebut sebagai
perusahaan pers.
Definisi pers sendiri terdapat pada
Pasal 1 angka 1 UU Pers yang intinya pers adalah Lembaga Sosial yang melakukan
kegiatan jurnalistik. Jadi jelas pers Indonesia tidak bisa dikelola
perseorangan.
Sedangkan soal perusahaan pers dan atau
pers nasional diatur pada Pasal 1 angka 2. Mengenai hak dan kewajiban pers
nasional diatur Pasal 4, Pasal 5, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 serta Pasal 13
UU Pers.
Pasal 9 ayat (1) UU Pers memberikan
kesempatan kepada siapa saja baik itu warga negara maupun negara untuk membuat
perusahaan pers. Namun seperti diatur Pasal 9 ayat (2) perusahaan pers nasional
harus berbadan hukum Indonesia.
Dewan Pers melalui SE 01 tahun 2014
tertanggal 16 Januari 2014 menafsirkan yang dimaksud badan hukum perusahaan
pers harus PT, yayasan atau koperasi. Surat edaran Dewan Pers itu berlaku
efektif per 1 Juli 2014.
Dengan demikian yang dimaksud sebagai
wartawan adalah mereka yang melakukan kegiatan jurnalistik untuk perusahaan
pers nasional sebagai mana dimaksud Pasal 9 ayat (2) UU Pers dan SE Dewan Pers
No 01 tahun 2014.
Lalu, apakah orang yang berstatus
wartawan selalu mendapatkan perlindungan hukum dalam berbagai sepak terjangnya.
Kembali kepada perlindungan terhadap wartawan yang diatur Pasal 8, perlindungan
terhadap profesi wartawan hanya diberikan pada saat dia menjalankan kegiatan
jurnalistik.
Apabila benar ada orang yang mengaku
wartawan melakukan praktik pemerasan, maka dia tidak sedang melakukan kegiatan
jurnalistik tetapi melakukan tindak pidana kriminal. Mereka tidak mendapatkan
perlindungan sebagai mana diamanatkan Pasal 8 UU Pers.
Kekerasan
Terhadap Wartawan
Kekerasan terhadap wartawan pada umumnya
dapat dibagi menjadi dua. Kekerasan dalam bentuk verbal dan kekerasan dalam
bentuk fisik. Kedunya berbeda delik dan berbeda legal standing.
Kekerasan dalam bentuk verbal, seperti
menghalangi, mengusir, memaki dan lainnya dalam bentuk perkataan adalah delik
aduan yang tidak mungkin diproses hukum tanpa ada pengaduan.
Legal standing dari kekerasan verbal itu
adalah perusahaan pers nasional apabila ingin menggunakan ancaman pasal 18 ayat
(1) yang merujuk pada Pasal 4 ayat (3) UU Pers. Ancaman delik ini maksimal dua
(2) tahun penjara atau denda Rp500 juta.
Apabila perusahaan pers tidak ingin
melaporkan delik verbal ini, wartawanya bisa menggunakan pasal 335 KUHP. Hal
ini dikarenakan wartawan tidak memiliki opsi hukum pada UU Pers.
Selain kekerasan verbal wartawan juga
kerap mendapat kekerasan fisik yang bersifat delik umum atau delik biasa. Legal
standing dari kekerasan fisik adalah setiap orang dan ancamannya ada pada KUHP.
Tinggal melihat berapa orang yang
melakukan kekerasan fisik itu. Apabila hanya seorang diri maka dapat digunakan
Pasal 351 KUHP. Kekerasan fisik yang dilakukan lebih dari satu orang bisa
menggunakan Pasal 170 KUHP.
Mencegah
Kekerasan
Untuk mencegah kekerasan, semua pihak
harus kembali pada peraturan yang berlaku. Wartawan harus bekerja profesional
mematuhi hukum dan etika jurnalistik. Sebaliknya, pemerintah harus terus
melakukan sosialisasi atau literasi media agar masyarakat luas memahami hak dan
kewajiban baik terkait UU Pers maupun UU Penyiaran.
Apabila kekerasan tidak terhindarkan,
jangan sampai kekerasan verbal menjadi kekerasan fisik. Pemerintah melalui
aparat kepolisian dan keamanan ysng ada di lokasi segera mengamankan. Proses
hukum secara profesional, termasuk apabila ada dugaan laporan palsu, bila memang
cukup bukti.