TONTONAN SEHAT. Sastrawan Yudhirita Ardi Noegraha Moelyana Massardi, berbicara di depan para mahasiswa peminat media, di Kampus Unhas Tamalanrea, Makassar, Sabtu, 04 Maret 2017. (Foto: HM Dahlan Abubakar)
------
Senin,
06 Maret 2017
Yudhistira: TV
Tidak Lagi Tawarkan Tontonan Sehat
MAKASSAR,
(PEDOMAN KARYA). Kita
harus menentukan media televisi pilihan yang akan ditonton, karena dewasa ini media
TV tidak lagi menawarkan tontonan yang sehat. Begitu kita bangun pagi, sudah
dihidangkan berita-berita kriminal.
“Saya sudah lima belas tahun tidak
menonton TV,” ungkap sastrawan Yudhirita Ardi Noegraha Moelyana (ANM) Massardi,
saat berbicara di depan para mahasiswa peminat media, di Kampus Unhas
Tamalanrea, Makassar, Sabtu, 04 Maret 2017.
Di tengah posisi media mainstream (arus
utama) yang terkooptasi oleh kepentingan politik pemiliknya dan berita hoax
(bohong) yang marak akhir-akhir ini, katanya, mahasiswa harus tampil sebagai
penyelamat bangsa ini.
“Hoax telah merebak luas, dan para
mahasiswa diharapkan menyelamatkan bangsa ini,” tegas penulis kelahiran Subang
Jawa Barat 28 Februari 1954, dalam acara yang juga dihadiri mantan Wakil Rektor
I Unhas Prof Dadang Ahmad Suriamiharja.
Dia menyarankan kepada para mahasiswa
agar menjadi penulis yang baik dan membuat media yang kredibel. Media
mainstream, katanya, sudah tidak bisa netral dan sudah terkooptasi oleh kepentingan
politik pemiliknya.
Yudhistira memberikan contoh majalah
tempat dia pernah berkiprah tahun 1979-1981 juga tergiur oleh kepentingan.
Harian Kompas, katanya, masih mampu bertahan sebagai media yang independen,
meski itu pun jalan tengah yang serba salah. Dia juga memberi contoh sejumlah
media TV yang tergiring oleh kepentingan pemiliknya.
‘’Maaf, saya bingung mencari media yang
netral,’’ ujar ayah tiga anak penulis novel “Arjuna Mencari Cinta (1977)” yang
terpilih sebagai bacaan Remaja Terbaik pilihan Yayasan Buku Utama Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan (1977).
Pria yang sudah menulis sejumlah buku
dan menjadi juri pada beberapa festival film nasional itu mengatakan,
masyarakat kita yang mungkin karena ada yang tingkat pendidikannya masih rendah,
juga mudah “terdikte” oleh kondisi yang ada. Dengan duit 50 ribu dan kaos
oblong, mereka tergoda. Sementara kaum menengah, sedang asyik dengan euforia
kebebasan yang menganggap tidak ada lagi aturan pascareformasi.
“Masyarakat menganggap pelanggaran
terhadap rambu-rambu yang ada selama Orde Baru, patut dipertahankan. Ada yang
dalam kondisi emosional dan yang berbeda dianggap kafir,” papar Yudhistira. (mda)