DIRIKAN SEKOLAH. Setelah menikah pada tanggal 12 November 1903, RA Kartini, oleh sang suami diberi kebebasan dan didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang. Di sekolah yang didirikannya itulah, ia bersama saudaranya mengumpulkan anak-anak perempuan untuk diajar membaca, menulis, dan berhitung. (int)
----------
PEDOMAN
KARYA
Jumat,
21 April 2017
RA Kartini Rajin Baca Koran dan Majalah
Oleh:
Asnawin Aminuddin
(Kepala
Perpustakaan Pers PWI Sulsel)
Pahlawan Nasional dan simbol perjuangan
wanita Indonesia, Raden Adjeng (RA) Kartini, ternyata rajin membaca koran (surat
kabar) dan majalah. Wanita kelahiran Jepara, Jawa Tengah, 21 April 1879, juga
rajin membaca buku.
Surat kabar, majalah, dan buku-buku yang
dibacanya pun bukan sembarangan, karena hampir semuanya berbahasa Belanda, dan
sebagian buku yang dibacanya tergolong “bacaan berat”, seperti “Max Havelaar”, “De
Stille Kraacht (Kekuatan Gaib)” karya Louis Coperus, serta buku karya Van Eeden
yang bermutu tinggi.
Selain itu, Kartini juga membaca buku “Surat-Surat
Cinta” karya Multatuli (yang pada November 1901 sudah dibacanya dua kali), “Die
Waffen Nieder (Letakkan Senjata)” karya Berta Von Suttner yang merupakan sebuah
roman anti-perang, serta buku-buku karya Augusta de Witt yang sedang-sedang
saja, dan roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek.
Koran atau surat kabar yang dibacanya
antara lain “Semarang De Locomotief” yang diasuh oleh Pieter Brooshooft.
Kartini juga menerima leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku
kepada langganan).
Di antara majalah-majalah tersebut,
terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat. Juga ada
majalah wanita Belanda, “De Hollandsche Lelie”. Kartini pun kemudian beberapa
kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di majalah “De Hollandsche Lelie.”
Koran, majalah, dan buku-buku berbahasa
Belanda tersebut dibacanya sebelum berusia 20 tahun. Itu menunjukkan, betapa
hebat dan majunya seorang RA Kartini, yang pada saat bersamaan, wanita
Indonesia pada umumnya belum mengenal tulis menulis, belum mengenal bangku
sekolah, dan sebagian besar masih buta huruf. Kondisi itu pulalah yang membuat
RA Kartini merasa prihatin.
Ia pandai membaca dan menulis, karena dirinya
diperbolehkan belajar dan bersekolah sampai usia 12 tahun di ELS (Europese
Lagere School). Di sekolah itu, Kartini antara lain belajar bahasa Belanda.
Sayangnya, setelah usianya menginjak 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena
sudah bisa dipingit.
Meskipun dipingit, Kartini tidak
berputus asa. Ia tetap belajar sendiri di rumah. Ia tetap rajin membaca, bahkan
ia kemudian menulis surat dan berkorespondensi menggunakan Bahasa Belanda dengan
beberapa sahabat penanya yang tinggal di Negeri Belanda.
Salah satu sahabat penanya adalah Rosa
Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa,
Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Maka timbul
keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi, karena ia melihat bahwa
perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah.
Dari surat-suratnya, tampak Kartini
membaca apa saja dengan penuh perhatian, sambil membuat catatan-catatan.
Kadang-kadang Kartini menyebut salah satu karangan atau mengutip beberapa
kalimat. Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita, melainkan
juga masalah-masalah sosial kemasyarakatan.
Kartini melihat perjuangan wanita agar
memperoleh kebebasan, otonomi, dan persamaan hukum, sebagai bagian dari gerakan
yang lebih luas.
-------
BERSAMA SAUDARA. RA Kartini (paling kiri) foto bersama dua saudara perempuannya, Kardinah (tengah) dan Roekmini. (int)
-----
BERSAMA SAUDARA. RA Kartini (paling kiri) foto bersama dua saudara perempuannya, Kardinah (tengah) dan Roekmini. (int)
-----
Dari Kegelapan
Menuju Cahaya
Hal itu terungkap setelah Rosa Abendanon,
yang tidak lain isteri dari Mr JH Abendanon (Menteri Kebudayaan, Agama, dan
Kerajinan Hindia Belanda), mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah
dikirimkan RA Kartini pada teman-temannya di Eropa. Kumpulan surat-surat RA
Kartini dijadikan buku yang diberi judul “Door Duisternis tot Licht” (Dari
Kegelapan Menuju Cahaya) dan diterbitkan pertama kali pada tahun 1911.
Kartini dalam surat-suratnya, menulis pemikiran-pemikirannya
tentang kondisi sosial saat itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi.
Sebagian besar surat-suratnya berisi keluhan dan gugatan, khususnya menyangkut
budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan. Dia ingin
wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar.
Surat-surat Kartini juga berisi
harapannya untuk memperoleh pertolongan dari luar. Pada perkenalan dengan
Estelle “Stella” Zeehandelaar, Kartini mengungkap keinginan untuk menjadi
seperti kaum muda Eropa. Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat
kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus
dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia
dimadu.
Surat-surat Kartini banyak mengungkap
tentang kendala-kendala yang harus dihadapi ketika bercita-cita menjadi
perempuan Jawa yang lebih maju. Meskipun memiliki seorang ayah yang tergolong
maju karena telah menyekolahkan anak-anak perempuannya walaupun hanya sampai
umur 12 tahun, tetap saja pintu untuk ke sana tertutup.
Kartini sangat mencintai sang ayah,
namun ternyata cinta kasih terhadap sang ayah tersebut juga pada akhirnya
menjadi kendala besar dalam mewujudkan cita-citanya. Dalam suratnya, Kartini
mengungkapkan bahwa ayahnya sangat menyayangi dan mengasihinya.
Kartini menyebutkan bahwa ayahnya tidak
mengizinkannya melanjutkan studi ke Belanda ataupun untuk masuk sekolah
kedokteran di Betawi, tetapi kemudian mengizinkan dirinya belajar di Betawi untuk
menjadi guru.
Keinginan Kartini untuk melanjutkan
studi, terutama ke Eropa, terungkap dalam surat-suratnya. Beberapa sahabat
penanya mendukung dan berupaya mewujudkan keinginan Kartini tersebut. Ketika
akhirnya Kartini membatalkan keinginan yang hampir terwujud tersebut, terungkap
adanya kekecewaan dari sahabat-sahabat penanya.
Niat dan rencana untuk belajar ke
Belanda tersebut akhirnya beralih ke Betawi saja setelah dinasihati oleh Nyonya
Abendanon bahwa itulah yang terbaik bagi Kartini dan adiknya Rukmini.
Pada pertengahan tahun 1903, saat
berusia sekitar 24 tahun, niat untuk melanjutkan studi menjadi guru di Betawi
pun pupus.
Dalam sebuah surat kepada Nyonya Rosa
Abendanon, Kartini mengungkap bahwa dirinya tidak berniat lagi karena ia sudah
akan menikah.
“... Singkat dan pendek saja, bahwa saya
tiada hendak mempergunakan kesempatan itu lagi, karena saya sudah akan kawin...”,
tulis Kartini, padahal saat itu pihak departemen pengajaran Belanda sudah
membuka pintu kesempatan bagi Kartini dan Rukmini (saudaranya) untuk belajar di
Betawi.
Saat menjelang pernikahannya, terdapat
perubahan penilaian Kartini soal adat Jawa. Ia menjadi lebih toleran. Ia
menganggap pernikahan akan membawa keuntungan tersendiri dalam mewujudkan
keinginan mendirikan sekolah bagi para perempuan bumiputra kala itu.
Dalam surat-suratnya, Kartini
menyebutkan bahwa sang suami tidak hanya mendukung keinginannya untuk
mengembangkan ukiran Jepara dan sekolah bagi perempuan bumiputra saja, tetapi
juga disebutkan agar Kartini dapat menulis sebuah buku.
Perubahan pemikiran Kartini ini
menyiratkan bahwa dia sudah lebih menanggalkan egonya dan menjadi manusia yang
mengutamakan transendensi, bahwa ketika Kartini hampir mendapatkan impiannya
untuk bersekolah di Betawi, dia lebih memilih berkorban untuk mengikuti prinsip
patriarki yang selama ini ditentangnya, yakni menikah.
Mendirikan
Sekolah
Ya, di saat semangatnya tengah membara
untuk memperjuangkan kemajuan kaum wanita itu, Kartini tiba-tiba disuruh
menikah dan ia pun dinikahkan dengan Bupati Rembang, KRM Adipati Ario Singgih
Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri.
Kartini menikah pada tanggal 12 November
1903. Untungnya, sang suami sangat memahami keinginan Kartini. Ia pun diberi
kebebasan dan didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang
kompleks kantor kabupaten Rembang. Sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai
Gedung Pramuka.
Di sekolah yang didirikannya itu, ia
bersama saudaranya mengumpulkan anak-anak perempuan untuk diajar membaca, menulis,
dan berhitung.
Namun, di saat ia tengah mengembangkan
sekolah yang didirikannya, Kartini hamil dan kemudian melahirkan seorang anak
laki-laki yang diberi nama Soesalit Djojoadhiningrat. Anak tersebut lahir pada
tanggal 13 September 1904, dan empat hari kemudian (17 September 1904), Kartini
meninggal dunia pada usia 25 tahun, empat bulan, dan 26 hari. Kartini
dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Kabupaten Rembang.
Meskipun telah meninggal dunia, semangat
Kartini ternyata tidak mati. Delapan tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1912,
berdiri sebuah Sekolah Wanita di Semarang yang didirikan oleh Yayasan Kartini
(didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis).
Kemudian bermunculan beberapa sekolah
wanita lainnya di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon, dan beberapa daerah
lainnya. Sekolah-sekolah wanita tersebut umumnya diberi nama “Sekolah Kartini.”
Buku Kartini
Semangat Kartini juga terus berkobar melalui
beberapa buku yang berisi tentang biografi dan pemikiran-pemikirannya, antara
lain “Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran” (Empat Bersaudara), “Habis
Gelap Terbitlah Terang” (Armijn Pane), dan “Surat-surat Kartini, Renungan
Tentang dan Untuk Bangsanya” (Sulastin Sutrisno).
Selain itu, ada juga buku “Letters from
Kartini, An Indonesian Feminist 1900-1904” (Joost Coté), “Panggil Aku Kartini
Saja” (Pramoedya Ananta Toer), “Kartini Surat-surat kepada Ny RM
Abendanon-Mandri dan suaminya” (Sulastin Sutrisno), serta “Aku Mau ...
Feminisme dan Nasionalisme. Surat-surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar
1899-1903” (Dr Joost Coté).
Semangat
dalam Lagu
Surat-surat dan perjuangan RA Kartini
juga memberi inspirasi bagi tokoh-tokoh kebangkitan nasional, antara lain WR
Soepratman yang berhasil menciptakan sebuah lagu berjudul “Ibu Kita Kartini”. Lagu
ibu kita Kartini menggambarkan inti perjuangan wanita untuk merdeka. Kini
kemerdekaan kaum wanita diwujudkan dalam konsep emansipasi wanita.
Ditulis
di Makassar, Jumat, 21 April 2017.
Sumber referensi:
- https://id.wikipedia.org/wiki/Kartini
- http://www.biografipedia.com/2016/04/biografi-ra-kartini-wanita-indonesia.html
- https://id.wikipedia.org/wiki/Kartini
- http://www.biografipedia.com/2016/04/biografi-ra-kartini-wanita-indonesia.html