SARJANA KEHORMATAN. Mark Zuckerberg berdiri memegang ijazah Sarjana Kehormatan yang ia terima dari bekas kampusnya, di Kampus Harvard University, Amerika Serikat, Kamis, 25 Mei 2017. (Foto diambil dari akun Facebook Marc Zuckerberg)
---------
PEDOMAN
KARYA
Kamis,
01 Juni 2017
Pidato Sarjana
Kehormatan Pendiri Facebook (5-habis):
Prasasti Besar dalam
Sejarah Manusia
Tujuan tak semata-mata datang dari
pekerjaan. Cara ketiga adalah kita bisa menciptakan kesadaran akan tujuan bagi
setiap orang dengan membangun komunitas. Ketika generasi kita menyebut 'semua
orang', itu artinya semua orang di dunia.
Mari angkat tangan: berapa banyak dari Anda
yang berasal dari negara lain? Sekarang, berapa banyak dari Anda yang berteman
dengan orang-orang ini? Begitulah. Kita tumbuh dalam keterhubungan.
Dalam sebuah survei kepada para
millenial di seluruh dunia soal apa yang menentukan sebuah identitas, jawaban
paling banyak bukanlah kewarganegaraan, agama, atau etnis, namun 'warga negara
dunia'. Ini benar-benar sesuatu yang besar.
Setiap generasi memperluas lingkaran
orang-orang yang kita sebut sebagai 'bagian dari kita'. Untuk saat ini, hal
tersebut mencakup keseluruhan dunia. Kita memahami bahwa prasasti besar dalam
sejarah manusia tercipta ketika orang dalam jumlah banyak berkumpul -- mulai
dari suku hingga bangsa -- untuk mencapai sesuatu yang tak bisa dikerjakan
sendirian.
Kesempatan terbesar kita saat ini adalah
globalisme -- kita bisa menjadi generasi yang mengakhiri kemiskinan dan
penyakit. Tantangan terbesar kita memerlukan respons global pula -- tak ada
negara yang bisa melawan perubahan iklim sendirian atau mencegah penyebaran
penyakit seorang diri.
Kemajuan saat ini memerlukan kebersamaan
yang tak hanya dalam lingkup kota atau negara, tapi juga komunitas global.
Namun kita tengah hidup dalam masa yang tak stabil. Begitu banyak orang yang
tertinggal oleh globalisasi di seluruh dunia.
Sulit untuk memedulikan orang yang
berada di tempat lain bila kita sendiri tidak merasa nyaman dengan hidup kita
di rumah sendiri. Ada dorongan untuk memprioritaskan ke dalam lebih dulu.
Inilah adalah pergulatan masa kita.
Kekuatan kebebasan, keterbukaan, dan
komunitas global melawan kekuataan otoriter, isolasi, dan nasionalisme.
Kekuataan akan aliran pengetahuan, perdagangan, dan imigrasi, melawan mereka
yang ingin memperlambatnya.
Ini bukanlah peperangan antar negara,
namun pertempuran gagasan. Ada begitu banyak orang di setiap negara yang
mendukung keterhubungan global, dan ada pula orang-orang yang melawannya. Hal
ini tak bisa diputuskan semata-mata oleh PBB. Ia terjadi di tingkat lokal,
ketika kita merasa kesadaran akan tujuan dan stabilitas hidup kita jadi sesuatu
untuk mulai memedulikan orang lain.
Cara terbaik untuk melakukannya adalah
mulai membangun komunitas lokal saat ini. Kita semua dapat menuai makna dari
komunitas kita. Terlepas apakah komunitas kita adalah pertetanggaan, tim
olahraga, gereja, atau kelompok acapella, mereka memberikan kita kesadaran
bahwa kita adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar. Bahwa kita tidak
sendiri; mereka memberikan kita kekuatan untuk memperluas horison.
Itulah mengapa hal ini sangat memukul
dalam beberapa dekade belakangan, menurunnya jumlah anggota dalam berbagai
kelompok hingga tertinggal seperempatnya saja. Mereka adalah orang-orang yang
perlu menemukan tujuan di tempat lain. Tapi kita bisa membangun kembali
komunitas kita dan memulai yang baru karena banyak dari Anda sudah ada di
dalamnya.
Saya bertemu Agnes Igoye, yang lulus
hari ini. Dimana kamu, Agnes? (berdiri). Ia menghabiskan masa kanak-kanaknya
hidup di zona konflik dan perdagangan manusia di Uganda. Dan sekarang ia
melatih ribuan aparat penegak hukum untuk menjaga komunitas tetap aman.
Saya bertemu Kayla Oakley dan Niha Jain,
yang juga lulus hari ini. Mohon kalian berdua berdiri. Kayla dan Niha memulai
sebuah lembaga non-profit yang menghubungkan orang-orang berpenyakit kronis
dengan orang lain di komunitas untuk membantu mereka.
Saya bertemu dengan David Razu Aznar, ia
lulus dari Kennedy School (sebuah kampus di Harvard) hari ini. David, mohon
berdiri. Ia adalah mantan konselor kota yang sukses memimpin perlawanan untuk
mewujudkan Mexico City sebagai kota Latin Amerika pertama yang mengizinkan
kesetaraan dalam pernikahan -- bahkan sebelum San Fransisco.
Inilah kisah saya. Seorang mahasiswa di
dalam kamar asramanya, menghubungkan satu komunitas pada satu waktu, dan terus
melanjutkannya hingga suatu hari berhasil menghubungkan seluruh dunia.
Perubahan dimulai di tingkat lokal.
Bahkan globalisasi pun bermula dari kecil -- dengan orang-orang seperti kita.
Di generasi kita, perjuangan untuk
terhubung lebih banyak orang, untuk mencapai kesempatan terbesar, bergantung
pada hal ini: kemampuan Anda membangun komunitas dan menciptakan dunia dimana
setiap orang memiliki kesadaran akan tujuan.
Temukan
Keberanian
Angkatan 2017, Anda lulus ke dunia yang
membutuhkan tujuan. Hal itu tergantung Anda untuk menciptakannya. Sekarang, Anda
mungkin bertanya: dapatkah saya melakukannya?
Ingatkah Anda cerita ketika saya mengajar
kelas Boys dan Girls Club? Suatu hari seusai kelas saya berbincang kepada
mereka tentang kuliah. Salah seorang dari murid saya yang cemerlang mengangkat
tangan. Ia bilang ia tak begitu yakin karena ia belum terdaftar dalam
administrasi publik. Ia tidak tahu apakah orang-orang akan mengizinkannya
berkuliah.
Tahun kemarin saya mengajaknya makan
siang pada hari ulang tahunnya. Saya ingin memberikan kado buatnya, jadi saya
bertanya kepadanya. Ia kemudian mulai bicara tentang para mahasiswa yang sedang
berjuang. Lalu ia mengatakan: “Aku benar-benar ingin sebuah buku tentang
keadilan sosial.”
Saya benar-benar terkejut. Ia adalah
seorang anak muda yang punya alasan untuk sinis. Ia tak tahu bahwa negara yang
ia sebut sebagai Tanah Air --- satu-satunya negara yang ia kenal ---
meruntuhkan impiannya untuk berkuliah.
Tapi ia tak mengasihani diri sendiri.
Bahkan ia tak memikirkan diri sendiri. Ia memiliki kesadaran yang lebih besar
akan tujuan. Dan ia akan mengajak serta banyak orang berjalan bersamanya. Hal
tersebut menyampaikan tentang situasi saat ini.
Saya tak bisa menyebut namanya karena
saya tak ingin dia mendapat risiko. Namun bila seorang anak SMA yang tak tahu
seperti apa masa depan namun tetap ingin menjalankan peran untuk membuat dunia
lebih baik, kita berutang kepada dunia untuk melaksanakan peran kita.
Sebelum Anda berjalan keluar dari
gerbang Harvard untuk terakhir kalinya, kita duduk di depan Gereja Memorial.
Saya teringat akan sebuah doa, Mi Shebeirach, yang saya ucapkan setiap saat
ketika menghadapi tantangan. Yang saya nyanyikan kepada putri saya sembari
memikirkan tentang masa depannya, sambil menidurkannya di buaian.
Doa itu berbunyi: “Semoga sumber
kekuatan yang memberkahi setiap orang, membantu kami menemukan keberanian untuk
membuat hidup kami sebagai anugerah.”
Saya harap Anda menemukan keberanian
untuk membuat hidup Anda sebagai sebuah anugerah. Selamat, angkatan 2017!
Semoga sukses di luar sana.
Pidato Sarjana Kehormatan Mark Zuckerberg, di Universitas Harvard, AS, 25 Mei 2017
--------
Alih bahasa oleh: Hilman Fajrian yang ia posting di Kompasiana.com, pada 26 Mei 2017, pukul 13:30:41, dan diperbarui pada 26 Mei 2017, pukul 13:40:25. (http://www.kompasiana.com/hilmanfajrian/pidato-kelulusan-mark-zuckerberg-bahasa-indonesia_5927cb91f47a61396f28abe6)
----------
Tulisan
bagian 1:
http://www.pedomankarya.co.id/2017/05/pidato-sarjana-kehormatan-pendiri.html
Tulisan
bagian 2:
http://www.pedomankarya.co.id/2017/05/kisah-favorit-mark-zuckerberg.html
Tulisan
bagian 3: http://www.pedomankarya.co.id/2017/05/gagasan-menjadi-jelas-ketika-anda.html
Tulisan
bagian 4: http://www.pedomankarya.co.id/2017/05/mahasiswa-do-bisa-bangun-perusahaan.html