-------
PEDOMAN KARYA
Selasa, 06 Juni 2017
Shinta Febriany Sjahrir:
Wanita Sutradara dan Penulis Asal Palopo
Saat membuka media
sosial Facebook, Selasa siang, 06 Juni 2017, saya melihat seorang teman yang
menggunakan nama Shinta Febriany Sjahrir, mengunggah sebuah foto buku berjudul:
“gambar kesunyian di jendela”. Di bawah judul tersebut, terpampang nama
penulisnya, Shinta Febriani. Itu berarti buku tersebut adalah karyanya.
Saya langsung ingat
pada bulan Maret 2017, Badaruddin Amir di akun Facebooknya pernah menulis
profil singkat Shinta Febriany Sjahrir. Setelah membaca profil tersebut, saya
jadi penasaran dengan sosok wanita muda ini.
Seperti biasa, saya
pun berselancar di dunia maya dan menemukan beberapa tulisan dan informasi
mengenai sosok wanita kelahiran Palopo, Sulawesi Selatan, pada 5 Februari 1979.
Setelah membaca
profil dan berbagai informasi mengenai dirinya, saya langsung mengucapkan:
“Masya Allah.”
Sulawesi Selatan
ternyata punya seorang Shinta Febriany Sjahrir yang memiliki bakat luara biasa
sebagai penulis naskah teater, penulis puisi, penyair, esais, penulis buku, aktor
dan sutradara. Berbagai kelebihan itu bahkan sudah diraihnya di usia yang masih
tergolong sangat muda, yakni di usia kurang dari 40 tahun. Sungguh sebuah
pencapaian yang tidak jamak.
Badaruddin Amir
dalam akun Facebook-nya, menulis bahwa Shinta menyukai sastra sejak kecil
melalui berbagai bacaan di perpustakaan sekolahnya.
Mulai menulis puisi
sejak remaja dan berkembang menjadi penyair, hingga memasuki masa produktivitas
berkarya dan telah menerbitkan kumpulan puisi tunggalnya berjudul “Aku Bukan
Masa Depan”, yang diterbitkan oleh Bentang Budaya pada tahun 2003.
Pada tahun 2005,
Shinta berkesempatan membacakan puisi-puisinya pada festival puisi internasional
TUK di Lampung dan Makassar International Writers Festival di Makassar.
Selain menulis
puisi Shinta juga dikenal sebagai salah seorang sutradara teater terbaik dari
Makassar. Minatnya yang menonjol pada bidang teater, membuat ia bekerja penuh
sebagai direktur artistic pada Kala Teater yang didirikannya bersama
teman-temannya di Makassar. Ia telah melakukan eksplorasi dan berbagai
pementasan teater terutama di Makassar, di berbagai kota-kota besar Indonesia
dan juga di luar negeri.
Puisi-puisi Shinta
yang lain termuat dalam berbagai media lokal dan nasional, juga turut termuat
dalam berbagai antologi bersama seperti “Moyangku Bugis” (1994), “Living
Together” (Kalam, 2005), kumpulan puisi 17 penyair wanita Indonesia yang
mewakili 3 generasi “Selendang Pelangi” (Indonesiatera, 2006), dan “Wasiat
Cinta” (Mimbar Penyair Makassar, 2013).
Sedangkan
esai-esainya turut dalam antologi “Esai Tanpa Pagar” (100 pilihan literasi
Koran Tempo Makassar, 2013) dan “Telinga Palsu” (kumpulan 100 literasi pilihan
Koran Tempo Makassar, 2017). Ia adalah kurator Makassar International Writers
Festival.
Shinta mendirikan
Kala Teater dan bergiat sebagai Direktur Artistik di teater tersebut. Ia banyak
menulis, menyadur, dan menyutradarai sejumlah lakon teater. Karya lakon teaternya
berjudul “Ummu dan yang bersembunyi di Balik Cemburu” termuat pada buku
Kumpulan lakon teater 5 orang penulis.
Shinta mendapatkan
fellowship dari Japan Foundation untuk pengenalan kehidupan teater di beberapa
kota di Jepang (2000). Pada tahun 2005 ia berkesempatan menghadiri Indonesian
Culture Workshop di Universitas Tasmania, Launceston, Australia, tahun 2006
mengikuti Women Playwrights International Conference di Jakarta, dan tahun 2017
mendapat kehormatan mengikuti Asian Dramaturgs Network Meeting di Yokohama,
Jepang.
Tahun 2007 Shinta
Febriani menerima penghargaan Celebes Award di bidang teater dari Pemerintah
Provinsi Sulawesi Selatan.
“Saat ini Shinta
sedang menempuh pendidikan di Prodi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa,
Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,” tulis Badaruddin
Amir.
Serius dalam Berkarya
Budhi Setyawan,
sastrawan dan budayawan asal Jawa Tengah, menceritakan pertemuannya dengan
Shinta dalam sebuah tulisan di blognya yang diberi judul “BERTEMU SHINTA
FEBRIANY.”
“Kesan pertama
yang saya tangkap saat bersua, ternyata dia begitu santun, dan mungkin rada
formal. Ini malah terbalik, saya yang pakai baju batik, yang seharusnya berada
dalam lingkup sikap formal, eh malah banyak humor, tertawa-tawa. Sebenarnya
saya agak kikuk juga jadinya. Namun ini sebenarnya untuk mencairkan kebekuan
yang singgah sesaat,” kata Budhi.
Dalam pertemuan
pada salah satu warung di Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta Pusat,
Shinta bercerita bahwa sejak kecil sudah hobi membaca, bahkan waktu SD juga
telah membaca banyak karya sastra.
“Juga
puisi-puisi Sapardi Djoko Damono, Rendra, dll. Dan membaca menjadi sebuah menu
wajib yang sedemikian intensif. Dan itu nampak hasilnya pada puisi-puisinya.
Banyak puisinya yang berbentuk panjang,” tulis Budhi.
Meskipun
pertemuannya dengan Shinta relatif singkat, namun Budhi mengaku mendapatkan
seberkas semangat: “bahwa dia (Shinta) yang berada di Makasar, jauh dari
Jakarta, memiliki keseriusan dalam berkarya.”
Aktor dan Sutradara
Rosmini Hamid, seorang wartawati, membuat tulisan berjudul: “Shinta Febriany,
Seniman Wanita Sulsel”, dan dengan apik menggambarkan sosok Shinta.
“BERJUANG
tidak selamanya harus dengan gencatan senjata. Puisi dan teater juga mampu
menghadirkan kemerdekaan karena menyentuh kepekaan manusia,” begitulah kalimat pembuka tulisan tersebut.
Shinta Febriany, tulis Rosmini yang melakukan wawancara langsung, telah
membuktikan bahwa melalui seni, dia menyuarakan
ketidakadilan.
Meskipun
kesenian yang dilakoninya secara otodidak, alumni Sastra Inggris Unhas Makassar
itu mampu membuat puisi berkualitas. Itu dibuktikan dengan kiprah Shinta,
sapaan akrab wanita ini dalam berbagai event dan pertemuan sastra tingkat
nasional.
Seni
bagi Shinta, adalah pembebasan dengan
pertanggungjawaban yang luas. Seni membebaskan kita berpikir, bertindak untuk
melakukan sesuatu dengan penuh rasa tanggung jawab. Seniman itu, katanya,
memiliki intelektualitas yang bermutu tinggi.
Dalam seni peran, Shinta
memiliki dwifungsi, yakni sebagai aktor dan juga sutradara. Ada
beberapa karya teater yang pernah dipentaskannya, di
antaranya Wanita
dalam Badai (Makassar; 2005),
Pemberontakan Babu, judul terjemahan Pelayan-pelayan, naskah Jean Genet,
terjemahan Asrul Sani (Makassar; 2005),
Aku Dalam Keadaan Nihil (Jakarta 2005; Makassar; 2006),
Prita Istri Kita, naskah Arifin C Noer (Makassar;
2006), Kisah Tubuh (Makassar;
2006), Kisah Tubuh; Yang Terasing Dan Semu (Makassar;
2007), Stanza Diri yang Pecah (Makassar;
2009), Kisah Cinta di hari Rabu (Makassar;
2011), dan Aljabar (Makassar;
2011).
Pada 1999, Shinta meraih penghargaan sebagai aktris terbaik pada
Festival Teater Se-Sulawesi Selatan I,
melalui produksi teater Toddopuli sutradara Ilham Latief. Ia juga mendapatkan
penghargaan sebagai aktris terbaik dan sutradara terbaik pada Festival Teater Se-Sulawesi
Selatan V, tahun 2002.
Jalan Hidup
Shinta Febriany Sjahrir
telah memilih seniman sebagai jalan hidupnya dan ia tidak pernah menoleh ke
profesi lain. Ia berpikir,
kalau kita menyukai sesuatu yang kita lakukan, maka
itu akan abadi.
Berjuang,
menurutnya bukan
untuk selembar sertifikat dan sebongkah plakat. Shinta hanya mengharapkan
adanya perubahan peradaban. Penghargaan tidak cukup untuk menggambarkan
kepuasan dirinya dalam menekuni dunia seni. Kepuasan itu menurut dia bukan hal
yang selamanya terukur dari material sebagai poin utamanya.
Seniman juga
bekerja, punya tujuan, punya misi, dan ada proses yang sangat menentukan hasil
akhir. Profesi seniman baginya adalah sesuatu yang lumrah dan bukan barang
aneh. (asnawin)
Referensi:
https://www.facebook.com/badaruddin.amir?fref=ts
(akun Facebook Badaruddin Amir, 29 Maret 2017)
http://sastra-indonesia.com/2009/05/bertemu-shinta-febriany/
(Dikutip pada Selasa siang, 06 Juni 2017)
http://www.luwuraya.net/?p=922
(dikutip pada Selasa siang, 06 Juni 2017)