TULISAN PERTAMA. Saat itu, dengan keterbatasan yang ada mulailah meracik kata, merangkai kalimat dengan gaya yang sedikit demonstratif, harian “Pedoman Rakyat” dan mingguan “Inti Berita” menjadi ruang untuk mendistribusikan pikiran “nakal” dalam melihat realitas. Banyak hal memang yang tidak tuntas untuk ditulis, tetapi saya sudah punya keberanian untuk itu. Dan tulisan pertama muncul adalah “Negara Tanpa Rakyat”. -- Saifuddin Almughniy --
--------
PEDOMAN
KARYA
Sabtu,
19 Agustus 2017
“Aku” dan
Sesobek Tulisan
Oleh: Saifuddin
Almughniy
sebuah
cita dan cinta
memang
terkadang
sulit
menyatu dalam satu ruang
Sebab keduanya sama-sama berada dalam
kubangan imajenasi, menggapainya tidak mudah, membutuhkan kerja pikiran,
khayalan, mimpi, karena keduanya tak “berbenda”, bersifat abstrak.
Ya, cita yang harus digapai dengan power knowledge, sementara cinta lebih
pada insting dan rasa atas kekaguman serta kepemilikan sesuatu yang indah,
namun keduanya dapat menyatu dalam ruang dan waktu yang sama.
Bagiku, sesederhana apapun niat itu,
harus tercermin dalam bingkai cita. Walau memang sedikit berat, karena
keterjebakan kita pada ritme yang meliuk di realitas kita. Cita dan cinta tentu
harus menjadi perekat menghadirkan kepekaan sosial. Sebagaimana statement Marx
yang berpendapat, keadaan sosial yang membentuk kesadaran sosial.
Dan hal ini sesungguhnya yang
menginspirasi buat saya untuk terus merespons segala fenomena yang terjadi.
Bukan sekadar menghadirkan kesadaran sosial, melainkan yang terpenting adalah
bagaimana seharusnya melakukan sebuah upaya transformasi, sebab menjadi “penulis”
bukan memilih jalan bertapa (ber-uzlah), melainkan ia harus membumi dan selalu
hadir dalam ruang yang tak berpihak.
Karenanya, efhosteisme (kegelisahan
sosial) adalah satu penyakit psikologis yang bernilai positif bila
diterjemahkan dalam ruang yang kritis positif dan edukatif. Namun perlu satu
hasrat mengiringinya untuk kemudian apa yang kita transformasikan bermuatan
nilai dan pengetahuan, ya, itulah keberanian. Sebab, satu kalimat itu adalah
karya, keberanian adalah supporting menghadirkan pencerahan.
Di tahun 1999, saat terlibat dalam
pergerakan mahasiswa yang mengusung tagline gerakan SULAWESI MERDEKA bersama
sahabat seperjuangan Iswari Alfarisi (UNM), Atto Soeharto (UIN), Adnan Nasution
(Unhas), Munir (Unismuh), di situ kegelisahan sosial itu memuncak, bagaimana
Isabell Peron, misalnya di Argentina melawan junta militer dengan barisan civil
society dan media sebagai kekuatannya.
Saya berpikir, pergerakan tidak cukup
dengan kekuatan massa yang masif, tak cukup dengan suara megafhone, dan tidak
cukup dengan anarkhisme, tetapi perlu perlawanan dengan cara lain yaitu dengan
menulis.
Saat itu, dengan keterbatasan yang ada
mulailah meracik kata, merangkai kalimat dengan gaya yang sedikit demonstratif,
harian “Pedoman Rakyat” dan mingguan “Inti Berita” menjadi ruang untuk
mendistribusikan pikiran “nakal” dalam melihat realitas.
Banyak hal memang yang tidak tuntas
untuk ditulis, tetapi saya sudah punya keberanian untuk itu. Dan tulisan
pertama muncul adalah “Negara Tanpa Rakyat”. Tulisan ini begitu dimuat di koran,
saya secara emosional mengkopinya sebanyak mungkin dan saya bagi ke teman
kuliah, dosen, dan teman aktivis saat itu. Tapi itu hanya sekadar tulisan yang
tak ter-eja, miskin analisis, tapi minimal saya sudah punya keberanian, tetapi
bagaimana dengan Anda?
Sebab, kegelisahan yang cerdas akan
melahirkan karya, bukan karena kecerdasan yang berhenti di papan tulis. Perkara
budaya menulis seringkali menjadi tidak diminati, padahal di dalamnya
mengandung “unsur” atmosfer yang menggerakkan naluri keadaan secara tekstual
cenderung membenarkan diri sendiri sesuai obyek yang dibaca, tetapi keadaan
secara kontekstual lazimnya tak terbaca karena lebih pada penguatan teks-teks
yang ada.
Perumpamaan menulis, sama halnya ketika
kita hendak meminum kopi, secara teks kopi itu pahit dan hitam, tetapi kenapa
hampir semua orang ingin menikmatinya. Ada gula dan susu sebagai pelarut “pekatnya
kopi”, tapi bukan sekedar racikan itu yang membuat tegukan itu terasa nikmat,
tetapi naratif prosesnya yang begitu apik.
Begitulah sejatinya menulis. Seseorang
baru tahu realitas itu ketika ia menceburkan diri dalam proses dimana ia
berada. Sebab, menulis itu, seseorang akan memahami apa yang ditulisnya, yang
belum tentu orang lain memilikinya.
Penulis, teks dan realitas adalah mata
rantai yang tak bisa dipisahkan, karena menyatu dalam kuali yang meleburkan
kalimat menjadi makna. Sebab “aku” bukanlah pengakuan atas ke-”aku”-an yang
dominatif. **
Mesjid
Terapung, 17 Agustus 2017
Tags
Opini