IKON. I Manindori tetap menjadi ikon hingga hari ini. Karena perjuangannya menegakkan martabat kerajaan Gowa-Tallo yang remuk setelah Perang Makassar, banyak orang bangga dilahirkan di Galesong. Inzet: Ahmad Husain.
------
PEDOMAN KARYA
Senin,
30 Oktober 2017
I Manindori dan Semangat Sumpah Pemuda
Oleh:
Ahmad Husain
(Komunitas
Tanimuda Takalar)
I Manindori tetap menjadi ikon hingga
hari ini. Karena perjuangannya menegakkan martabat kerajaan Gowa-Tallo yang
remuk setelah Perang Makassar, banyak orang bangga dilahirkan di Galesong.
Ikonisasi I Manindori Kare Tojeng atau
yang lebih umum dikenal sebagai Karaeng Galesong yang memilih melanjutkan
perjuangan melawan penjajah Belanda, guna menunjukkan eksistensi kelompok
masyarakat, menjadi sebuah penegasan bahwa masyarakat Galesong pantang menyerah
dan cerdas.
Pada momentum peringatan Hari Sumpah Pemuda
2017 ini, patutlah kiranya mendalami sosok ikon masyarakat Galesong ini.
Setidaknya, bagi penulis, menarik poin-poin hikmah dari kisah perjuangannya.
Pemberani
Keberaniannya dapat kita lihat dari
keputusannya meninggalkan Kerajaan Gowa saat itu. I Manindori adalah pemuda
belia lulusan Akademi Kelautan Kerajaan Gowa. Prestasinya di akademi bukan
bualan, dia yang terbaik milik Gowa. Ketangkasan, kecerdasan, mental baja, dan
naluri memimpin ada pada dirinya. Sayangnya ia berada pada masa yang tidak
tepat.
Siapa yang sanggup hidup dengan
kekalahan? I Manindori menolak kalah, apalagi sebagai pemuda. Tapi ia juga
tidak mau mempermalukan kerajaan yang dipimpin ayahnya dengan perlawanan di sana.
Perjanjian Bongaya sudah jadi kesepatan, Gowa remuk!
Lalu I Manindori memilih meninggalkan
Gowa, ia tak bisa menerima hidup sebagai pemuda pemberani, cerdas, dan berjiwa
pemimpin, tetapi berada di bawah bayang-bayang penjajah sebagai orang kalah.
Kreatif
Bagi Belanda kala itu, yang nyaris remuk
lebih dulu, Perjanjian Bongaya belum bisa membuat mereka lega dan hidup tenang
di Makassar. Mereka perlu menjaga Makassar dari bibit-bibit perlawanan yang
dimulai dari pemberontakan. Tercatat ada banyak kerusuhan-kerusuhan kecil
pasca-Perjanjian Bongaya.
I Manindori sadar, bukan hal mudah
meninggalkan Gowa kala itu. Penjagaan pasukan penjajah Belanda sangatlah ketat.
Bahkan izin pelayaran armada Gowa dibatasi karena pihak Belanda takut Kerajaan
Gowa membangun komunikasi dengan kerajaan sahabat untuk membangun kembali
kekuatan.
Tidak Mudah,
tapi Bisa!
I Manondori menolak kalah, juga menolah
berputus asa. Ia mendapatkan jalan, ia mendapatkan tiket untuk meninggalkan
Gowa. Dibuatlah suatu siasat dimana I Manindori akan memimpin armada menuju
Australia, membuang diri dan menjadi orang merdeka disana.
Soal strategi ini, tak ada yang tahu
pasti. Tapi dapat diyakini, keberhasilan meninggalkan Gowa adalah suatu siasat
tingkat tinggi.
Berjiwa
Kepemimpinan
Hari itu, Laskar Makassar yang jadi
momok di Jawa, sedang mempersiapkan diri menunggu kedatangan tamu besar.
Sekitar 4000 orang anggota Laskar
Makassar akan menyambut puluhan ribu prajurit Mataram yang dipimpin oleh Panji
Karsula, ksatria yang sudah tersohor kemampuannya sebagai panglima perang
Mataram.
Karaeng Galesong memimpin pasukannya,
para laskar disulut semangatnya. Karaeng Galesong memperingatkan untuk pantang
menyerah, perjuangan adalah pilihan dan gugur adalah kehormatan.
Siapa yang ingin mati terhormat, matilah
dalam perang! Jangan takut mengangkat pedang dan berperang, berjuang adalah
pilihan. Pantang kita hidup sebagai jajahan.
Semangat pasukan berkobar, mereka tak
sabar menunggu tamu yang akan datang, bahkan rasanya ingin segera menjemput
mereka dengan kobaran semangat ‘neraka’. Panas menggila! Tapi mereka bukanlah
pemberontak! Karaeng Galesong lalu membawa pasukan masuk ke dalam hutan,
meninggalkan benteng pertahanan.
Ketika benteng pertahanan sudah kosong,
rombongan tamu yang dipimpin Panji Karsula pun tiba. Mendapati tuan rumah tak
berada di tempat, mereka menjadi tamu yang seenaknya menyenangkan diri di dalam
benteng.
Pasukan Panji Karsula merasa lega karena
tak perlu susah-susah berperang mengusir para pemberontak. Mereka yakin, mental
Laskar Makassar sudah ciut saat mendengar kedatangan mereka. Puluhan ribu
tentara mataram, dipimpin langsung oleh Panji Karsula datang untuk membasmi
pemberontakan yang dilakukan ribuan orang.
Malam Datang
Di dalam hutan, Karaeng Galesong kembali
memimpin pasukan. Semangat pasukannya ia sulut kembali, lalu dengan gerak
senyap, ribuan laskar Galesong merayapi hutan menuju benteng mereka.
Secara membabi buta, para laskar
menyembelih tentara Mataram. Semangat yang dibakar oleh Karaeng Galesong mengubah
pasukannya menjadi serigala kelaparan malam itu. Para laskar berteriak sambil
menebas, berteriak sambil menggorok, berteriak kesetanan, haus akan kejayaan!
Pasukan Mataram dibuat tak berdaya,
mereka tak tahu mana lawan, mana kawan. Mereka tak tahu mana teriakan pejuang,
mana teriakan korban. Tak ada lengking pedang ketemu pedang, hanya teriakan
saja malam itu. Panji Karsula gugur, pasukan Mataram pun tercerai tanpa
komando.
Bertanggung-jawab
pada Keluarga
Sang pemuda Karaeng Galesong menikah
dengan Potre Koneng untuk mempererat hubungannya dengan Trunojoyo yang di sisi
lain juga sibuk membangun kekuatan untuk memperjuangkan hasratnya merebut
kekuasaan.
Terdapat suatu momentum, dimana Karaeng
Galesong dipisahkan dengan istri tercinta. Hingga suatu hari, Karaeng Galesong
menemui Trunojoyo di atas kapal perang sang Raja Madura itu.
Menurut catatan, Karaeng Galesong
mendatangi Trunojoyo dengan wajah yang tak mampu menyembunyikan amarah. Ia
dipisahkan dengan keluarga karena Trunojoyo yang berkepentingan dengan kekuatan
dan keunggulan laskar Makassar, merasa bahwa Laskar Makassar harus betul-betul
berada di bawah komandonya.
Mempersiapkan Diri
Merebut Mataram
Dikabarkan pula bahwa malam itu di atas
kapal Trunojoyo, kedua pimpinan ini sepakat untuk mulai mengarahkan pasukan ke
arah barat menuju plered. Agar Karaeng Galesong bisa kembali hidup bersama
keluarganya, ia pun bersiap mengiringi hasrat Trunojoyo. Padahal laskar
Makassar di bawah pimpinan Karaeng Galesong sedang mengkondisikan diri untuk
membangun konsentrasi kekuatan untuk menumpas Belanda.
Assulapak Appak
Karaeng Galesong tidak sebatas pemuda
gigih dengan berbagai kelebihannya, dia dinilai sebagai pemuda yang alim. Bukan
sekedar ilmu perang yang didalaminya, ia sendiri sadar sebagai orang ber-Tuhan
yang harus menjalani perintah agama.
Setelah gugur dalam perjuangannya, dia
diberi gelar anumerta: Tumenanga ri Tappa'na (gugur dalam kegigihan
mempertahankan keyakinan).
Karaeng Galesong bukan pemuda yang sibuk
berkelahi demi popularitas, sibuk bersiasat demi kepentingan. Baginya keimanan
adalah landasan perjuangan.
Makam karaeng Galesong (sebelum
renovasi) sangatlah sederhana. Hanya berupa batu merah yang disusun tanpa
perekat membentuk segi empat (assulapak appak). Bagi Prof Aminuddin Salle,
bentuk tersebut merupakan simbol dari kehidupan orang Makasaar yang
melambangkan empat kunci kehidupan, yakni kejujuran, keberanian, kecerdasan,
dan kekayaan.
Bentuk makam itu menunjukkan
penghormatan kepada Karaeng Galesong sebagai syuhada muda. Karena beliau
dinilai sosok yang berani, pantang menyerah, cerdas dalam agama maupun dalam
medan perang, bersikap jujur, dan bertanggung jawab, serta bersikap kaya (tidak
meminta-minta).
Kontekstualisasi
Perjuangan
Sebagai ikon, spirit perjuangan Karaeng
Galesong sudah sepatutnya di-internalisasi oleh para pemuda, utamanya pemuda
Galesong sebagai pelopor.
Dalam konteks milenium, semangat Karaeng
Galesong patut menjadi motivasi bagi kita dalam bentuk taat menjalankan
perintah agama, gigih dalam menuntut ilmu dan menjadi pemuda berprestasi,
berjiwa kepemimpinan yang jujur dan bertanggung jawab, pantang meminta-minta,
menolak takluk oleh sifat putus asa, yakin pada kemampuan diri dan tidak
meremehkan kualitas diri.
Kontektualisasi nilai-nilai itu tentu
bukan hal yang mudah di jaman ini. Dan memang, kapan saja, jaman selalu
memberikan tantangan bagi ‘penumpangnya’. Maka dari itu, ikonisasi Karaeng
Galesong seharusnya menjadi solusi akan kemajuan Takalar ke depan, dengan
hadirnya pemuda-pemuda assulapak appak.
Berjuanglah pemuda! bukan lagi darah
yang harus diteteskan, tetapi keringat! Kerja Nyata! Mari kita rebut kembali
diri kita yang terjajah oleh kebodohan yang congkak, sifat malas dan mudah
berputus asa! Rebut!!!
Mario,
28 Oktober 2017
Tags
Opini