Penyelenggara Pemilu hanya mampu mengukur secara formal dengan bentuk pernyataan tertulis, selebihnya yang mampu mengukur secara lebih mendalam maksud dan makna kesetiaan yang dipersyaratkan bagi calon peserta tentunya adalah peserta pemilu itu sendiri dan pemilih.
-- Agusliadi --
(Ketua Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah Bantaeng)
----------
PEDOMAN
KARYA
Rabu,
18 Oktober 2017
Pilkada dan Pemilu
Berintegritas
Oleh:
Agusliadi
(Ketua
Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah Bantaeng)
Tahun 2018 dan tahun 2019, dua tahun
berturut–turut adalah tahun perhelatan akbar
kontestasi
dan atau pesta demokrasi. Tahun 2018 tepatnya 27 Juni 2018 berdasarkan
Peraturan KPU Nomor 1 Tahun 2017, adalah pelaksanaan Pilkada serentak untuk 17
Provinsi dan 154 Kabupaten/Kota (39 Kota dan 115 Kabupaten) se–Indonesia.
Khusus untuk Sulawesi Selatan, Pilkada
untuk 11 Kabupaten/Kota ditambah Pilkada Gubernur & Wakil Gubernur.
Kabupaten Bantaeng sebagai tempat kelahiran dan kediaman penulis, pada tahun
2018 juga melaksanakan Pilkada.
Tahun 2019, tepatnya tanggal 17 April
2019 berdasarkan Peraturan KPU Nomor 7
Tahun
2017 adalah pelaksanaan Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD dan Pemilu Pasangan Calon
Presiden dan Wakil Presiden.
Jika kita merujuk pada Undang Undang
Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 dan Undang –
Undang
Pilkada Nomor 10 Tahun 2016 sebagai Perubahan dari Undang – Undang Pilkada
sebelumnya
(UU Nomor 1 Tahun 2014, UU Nomor 1 Tahun 2015 dan UU Nomor 8 Tahun
2015),
pesta demokrasi yang kita pahami dalam Istilah Pemilu dan Pilkada, pada
dasarnya
adalah
sarana kedaulatan rakyat untuk memilih wakil rakyat, pemerintahan negara dan daerah
yang demokratis, berdasarkan Pancasila dan Undang – Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Dan ini bermuara pada sebuah harapan
utama dan ideal, lahirnya wakil rakyat dan pemerintahan yang mampu
memperjuangkan dan menjamin tercapainya cita–cita
dan
tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD Negara RI Tahun 1945.
Jika kita merujuk pada perjalanan bangsa,
dari pemilu ke pemilu dan dari Pilkada ke
Pilkada,dan
membuka kitab kemerdekaan yang disakralkan dan telah berumur kurang lebih 72 tahun
(saya istilahkan disakralkan karena setiap tahun diperingati dengan
menghabiskan
anggaran
ratusan miliar baik dari APBN maupun dari APBD, dan tak sedikit tenaga dan
pikiran yang terkuras hanya untuk persiapan dan peringatan hari kemerdekaan), ternyata
cita-cita dan tujuan nasional masih jauh dari harapan.
Meskipun sebagaimana penuturan Hajrianto
Y Thohari, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah (2015), “Kita tidak boleh bersikap
nihilistik: ada capaian-capaian politik, ekonomi, dan kesejahteraan, tetapi
harus juga diakui secara umum kita masih jauh dari kemajuan dan kejayaan yang
kita cita-citakan. Bangsa dan Negara Indonesia masih
tercecer
jauh dari derap langkah kemajuan bangsa-bangsa lain. Kemerdekaan kita hanya
sebatas bebas dari penjajahan fisik, namun kita belum berdaulat secara politik,
berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan, sebagaimana
Trisakti Soekarno, masih jauh panggang dari api. Kondisi Bangsa dalam era kepemimpinan
Jokowi sangat memprihatinkan, sakit dan berada di jurang kehancuran. Asing dan
Aseng masih mendikte. Apa yang salah dengan negeri ini? What went wrong? “What
went wrong?”, Sebuah pertanyaan yang menjadi judul buku Bernard Lewis, yang
menganalisis kemunduran Bangsa Arab-Islam (Hajrianto Y.Thohari: 2015, 35).
Beranjak dari pertanyaan Apa yang salah
dengan negeri ini?, dalam konteks Pemilu dan Pilkada ada hal yang perlu
dibenahi untuk sebuah harapan yang ideal, lahirnya pemimpin: wakil rakyat dan
pemerintahan yang mampu menjamin dan mewujudkan capaian cita- cita dan tujuan nasional.
Dalam sebuah pesta demokrasi baik pemilu
maupun pilkada, ada tiga aktor utama yang berperan penting untuk terwujudnya
harapan ideal sebagaiman tersebut di atas, yaitu
penyelenggara
pemilu, peserta pemilu (pilkada), dan pemilih (penjelasan detail tentang tiga
aktor
utama yang dimaksud dapat dipahami dengan merujuk pada salah satunya Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Khusus pada Pilkada, Penyelenggara
Pemilu telah berupaya maksimal untuk melahirkan Pilkada Berintegritas dan tentu
pada saatnya nanti tahun 2019 termasuk Pemilu Berintegritas, hanya saja
sebagaimana pengamatan dan pemahaman saya dari Pilkada ke Pilkada termasuk dari
Pemilu ke Pemilu) sebagaimana saran ini telah saya sampaikan secara singkat
pada saat Pelaksanaan Seminar Tahapan Pilkada yang dilaksanakan oleh KPU
Kabupaten, Bantaeng, bahwa Penyelenggara Pemilu yang menargetkan Pilkada
Berintegritas, sebagaimana menjadi tema pada saat seminar tersebut, hanya
menyentuh dimensi input, proses dan output, Pilkada yang berintegritas
sebagaimana yang diperankan maksimal oleh penyelenggara pemilu, barometer dan
indikatornya hanya sampai pada tahap akhir tahapan penyelenggaraan pemilu.
Tetapi tentunya baik pilkada maupun
pemilu yang diharapkan adalah outcome, Pemimpin yang terpilih: Wakil rakyat dan
Pemerintah/Pemerintahan yang lahir adalah memiliki integritas untuk satu
periode, lima tahun masa jabatan yang mampu menjamin pencapaian cita – cita dan
tujuan nasional.
Penyelenggara Pemilu keberhasilannya
lebih pada aspek syarat formal demokrasi, sehingga ketika sebuah Negara dinilai
sebagai Negara demokratis pasca pelaksanaan pemilu, maka itulah salah satu
barometer keberhasilan utama penyelenggara pemilu, meskipun bukan berarti tidak
ada peran peserta pemilu (termasuk pilkada) dan pemilih di dalamnya.
Pilkada dan Pemilu Berintegritas
sebagaimana maksud dan tujuan penulis adalah dilihat dari dimensi Outcome yang
berintegritas, sehingga jika merujuk pada aktor pesta demokrasi: Pilkada dan
Pemilu, penulis ingin lebih fokus pada peran dan “perang” peserta pemilu dan pemilih.
Atau bisa dikatakan bahwa untuk menghasilkan Outcome pada pilkasa dan pemilu
yang berintegritas ada dua aktor utama yang berperan yakni, Peserta Pemilu dan
Pemilih.
Pernyataan Winter sebagaimana dikutip
oleh Fajlurrahman Jurdi, seorang peneliti dan direktur Eksekutif Republik
Institute “…Indonesia pada 2009 bisa menjadi Negara paling
demokratis
sekaligus paling korup di Asia Tenggara”, (Fajlurrahman Jurdi: 2013, 14-15).
Dan tentunya menurut pengamatan saya
bukan hanya tahun 2009 kategorisasi / labelisasi itu layak disematkan kepada
Indonesia tetapi hingga periode kepemimpinan Jokowi.
Hal ini saya menilai bahwa Negara
demokratis yang dimaksud terukur salah satu dari pemilu, dan ini, sekali lagi adalah
hasil penyelenggara pemilu yang dibackup oleh regulasi yang memadai. Namun
ternyata itu tidak berkorelasi positif dengan sebagai negara paling korup di
Asia Tenggara.
Harapan jangka panjang sebagai outcome
dari sebuah proses kedaulatan rakyat yang bernama Pilkada maupun Pemilu adalah
lahirnya wakil rakyat, pemimpin Negara dan Pemimpin daerah yang memiliki
integritas. Untuk melahirkan wakil rakyat dan pemimpin yang berintegritas maka
peran dan “perang” peserta pemilu (pilkada) dan pemilih sangat penting.
Seperti apa peran dan “perang” peserta
pemilu dan pemilih?. peserta pemilu, baik perseorangan maupun jalur partai
politik pada pilkada dan pemilu (Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden),
jangan hanya mengandalkan kekuatan financial yang berujung pada politik uang, begitupun
Calon Legislatif sebagaiman pada umumnya terjadi, sebagai contoh di daerah pemilihan
di Kabupaten Bantaeng, jangan hanya mengandalkan uang dan keluarga, dan
termasuk Partai Politik sebagai kendaraan calon legislatif (Pada Pemilu, Partai
Politiklah sebagai peserta pemilu), tentunya proses rekrutmen bakal calon
legislatif perlu mengedepankan penilaian terhadap integritas yang bermuara pada
keberpihakan terhadap rakyat dan kemampuan, niat dan komitmen untuk menjamin
pencapaian cita – cita dan tujuan nasional.
Bukan karena transaksi untuk menarik
keuntungan dan barter kepentingan, yang pada muaranya memperkuat tesis bahwa
demokrasi memiliki relasi yang kuat dengan oligarki dan jauh dari Substansi
Demokrasi.
Begitupun pemilih, sejatinya dalam
memberikan hak pilihhya kepada peserta pemilu (termasuk pilkada) pada setiap
perhelatan demokrasi baik pilkada maupun pemilu, bukan berdasarkan besaran
nilai rupiah yang diterima dari peserta pemilu/pilkada, tetapi pemilih harus
mampu mengedepankan nalar kritis, sehingga tidak berujung pada kepentingan
sepihak, kepentingan sesaat dan kepentingan pragmatis.
Dan tentunya salah satu barometer dan
indikator dalam menentukan pilihan, kemana hak pilihnya diberikan adalah
berdasarkan integritas calon yang menjadi peserta pemilu dan memiliki komitmen
berpihakan kepada rakyat dan mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional.
Untuk harapan Outcome Pilkada dan
Pemilu, dengan lahirnya wakil rakyat dan pemimpin Negara dan Pemimpin Daerah
yang berintegritas difokuskan pada peserta pemilu (dalam hal ini termasuk
peserta pilkada) dan pemilih karena ibaratnya sebagaimana dalam teori
marketing.
Penyelenggara pemilu — meskipun analogi
untuk peserta pemilu ini belum saya temukan referensi ilmiahnya — adalah
perannya lebih pada sebagai penyedia fasilitas, atau istilah dalam pameran
hanya menyediakan stand dengan aturan –aturan yang jelas baik bagi peserta
pemilu (ibaratnya produsen/penjual) dan pemilih sebagai (konsumen/pembeli).
Sebagaimana kita pahami dalam teori marketing
ada ada aspek supply side (sisi penawaran) dan demand side (sisi permintaan).
Dari aspek Supply side, tentunya peserta pemilu harus menyediakan calon pemimpin,
calon wakil rakyat yang berkualitas dan berintegritas dan begitupun aspek
demand side, pemilih harus mampu memilih calon pemimpin dan calon wakil rakyat
yang berkualitas dan berintegritas, sangat diharapkan untuk dihindari adanya
pemilih yang kurang well-informed dengan politik.
Jangan sampai pemilih memilih/membeli
kucing dalam karung, Burhanuddin
Muhtadi
menjelaskan dengan baik dalam bukunya Perang Bintang 2014, Konstelasi dan
Prediksi Pemilu dan Pilpres (2013, 17).
Wakil rakyat dan pemimpin berintegritas
sebagai outcome dan harapan dari sebuah pilkada dan pemilu minimal dan salah
satunya adalah sebagaimana tesis yang direkonstruksi oleh Amien Rais adalah
sosok yang mampu membumikan tauhid sosial, menegakkan amar ma’ruf dan nahi
munkar (1998).
Masih dari Amien Rais, sebagaimana
dalam bukunya Membangun Politik
Adiluhung (1998), “Jangan lupa bahwa tauhid menuntut ditegakkannya keadilan
sosial. Dilihat dari kacamata tauhid, setiap gejala eksploitasi manusia atas
manusia merupakan pengingkaran terhadap persamaan derajat manusia di depan
Allah. Jurang yang menganga lebar antara lapiran kaya dan miskin yang disertai
kehidupan eksploitatif merupakan fenomena yang tidak tauhid bahkan anti tauhid.”
Selain dari pada itu wakil rakyat dan
pemimpin yang berintegritas dapat dilihat dari perspektif bahwa mampu
berkomitmen dan menjamin pencapaian cita-cita dan tujuan nasional yaitu,
“pertama, melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia. Kedua, memajukan kesejahteraan umum. Ketiga, Mencerdaskan kehidupan
bangsa dan Keempat, ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Sebagai sebuah penekanan, betapa besar
dan pentingnya peran peserta dan pemilih adalah bisa dipahami dari salah satu
syarat calon peserta pemilu/peserta pilkada, yaitu setia terhadap Pancasila,
Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan Bhineka Tunggal Ika, Penyelenggara Pemilu hanya mampu mengukur secara
formal dengan bentuk pernyataan tertulis, selebihnya yang mampu mengukur secara
lebih mendalam maksud dan makna kesetiaan yang dipersyaratkan bagi calon
peserta tentunya adalah peserta pemilu itu sendiri dan pemilih.
Tags
Opini