SEMINAR BAHASA. Dari kiri ke kanan, Dr Andi Sukri Syamsuri, Dr Abdul Hadi Djamal, Erwin Akib SPd MPd PhD, serta Prof Setya Yuwana Sudikan, pada Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia dalam rangka Bulan Bahasa, di Balai Sidang Muktamar 47 Kampus Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, Sabtu, 28 Oktober 2017. (Foto: Asnawin)
----------
Sabtu,
28 Oktober 2017
Sastra Lisan Suku
Makassar Mengalami Pengasingan
-
Seminar Bahasa di
Unismuh Dihadiri Seribuan Peserta
-
Dirangkaikan
Peluncuran Buku Kumpulan Puisi tentang KH Djamaluddin Amien
MAKASSAR,
(PEDOMAN KARYA). Seiring
perjalanan waktu serta pesatnya perkembangan teknologi dan informasi, sastra lisan
yang ada pada Suku Makassar mengalami proses pengasingan. Buktinya, dewasa ini,
penyampaian sinrilik sudah sangat jarang dilakukan, begitu juga dengan
pasinrilik atau orang yang membawakan sinrilik.
“Pasinrilik semakin berkurang jumlahnya,
bahkan anak-anak muda ada yang sudah tidak mengetahui lagi apa sinrilik itu,
sementara regenerasi pasinrilik dapat dikatakan tidak berlangsung lagi,” kata Pakar
Sastra Lisan dan Budaya dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Prof Setya Yuwana
Sudikan.
Hal itu dikemukakan pada Seminar Nasional
Bahasa dan Sastra Indonesia dalam rangka Bulan Bahasa, di Balai Sidang Muktamar
47 Kampus Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, Sabtu, 28 Oktober 2017.
Setya Yuwana mengatakan, sastra lisan
yaitu sastra yang disampaikan dari muirlu ke telinga, ke mulut, ke telinga, dan
seterusnya. Ciri-ciri pengenal sastra antara lain penyebarannya melalui mulut,
lahir di dalam masyarakat yang masih bercorak desa (masyarakat di luar kota,
masyarakat yang belum mengenal huruf, menggambarkan ciri-ciri budaya sesuatu
masyarakat.
“Ciri lainnya yaitu tidak diketahui
siapa pengarangnya dan karena itu menjadi milik masyarakat, bercorak puitis,
teratur, dan berulang-ulang, tidak mementingkan fakta dan kebenaran, lebih
menekankan pada aspek khayalan atau fantasi yang tidak diterima oleh masyarakat
modern, tetapi sastra lisan memiliki fungsi penting di dalam masyarakat,
terdiri atas berbagai versi, serta menggunakan gaya bahasa lisan sehari-hari
mengandung dialek, dan kadang-kadang diucapkan tidak lengkap,” papar Setya Yuwana.
Dalam kesusastraan Makassar, katanya,
dikenal tiga cara penyampaian pikiran dan perasaan, yakni dalam bentuk proses,
puisi, dan di tengah-tengahnya adalah bentuk prosa lirik.
Yang termasuk dalam bentuk proses ialah rupama atau dongeng, pau-pau atau cerita, serta patturioloang atau silsilah orang
dahulu. Yang termasuk dalam puisi yaitu doangang
atau mantra, pakkiok bunting atau
pemanggil penganting, dondo atau
puisi untuk anak kecil, aru atau ikrar setia, serta kelong atau puisi dan
nyanyian, sementara yang termasuk dalam proses lirik yaitu royong dan sinrilik.
“Sastra lisan tersebut digunakan pada
upacara-upacara adat, misalnya pada upacara kelahiran, khitanan, pesta
perkawinan, upacara pelamaran, hendak memulai sesuatu pekerjaan, misalnya naik
rumah baru, turun ke sawah, melaut, atau pun pada upacara pelantikan, serta
sebagai hiburan pada waktu senggang,” kata Setya Yuwana.
Tradisi lisan atau sastra lisan, tambahnya,
dapat dijadikan alternatif sumber belajar, materi ajar, atau media pembelajaran
pendidikan karakter bangsa. Eksistensi tradisi lisan, yang “hidup segan mati
tak mau” perlu direvitalisasi untuk pelestarian dan pengembangannya.
“Dalam tradisi lisan, tersimpan kearifan
lokal yang memiliki fungsi sosial bagi masyarakat pendukungnya. Kearifan lokal
tersebut memiliki kontribusi yang berarti bagi pendidikan karakter bangsa bagi
anak didik di sekolah, dari fase bayi sampai fase dewasa,” tutur Setya Yuwana.
Seminar Bahasa
Selain Prof Setya Yuwana, panitia juga
menampilkan dua pembicara lainnya yaitu Pakar Linguistik/Wakil Rektor 1 Unismuh
Dr Andi Sukri Syamsuri (Guru, Generasi Z, dan Pembelajaran Abad 21), serta Dosen
Universitas Negeri Jakarta Dr Abdul Hadi Djamal (Berpikir Out of The Box).
Seminar bahasa yang mengusung tema “Mengukuhkan
Peran Bahasa dan Sastra Indonesia sebagai Pemersatu NKRI”, serta dihadiri seribuan
peserta yang terdiri atas guru dari berbagai sekolah, serta dosen dan mahasiswa
dari berbagai perguruan tinggi, juga dirangkaikan dengan peluncuran buku kumpulan
puisi tentang KH Djamaluddin Amien berjudul “Mendung Tirakat.”
Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan (FKIP) Unismuh Makassar, Erwin Akib SPd MPd PhD, mengatakan, selain
ketiga pemateri tersebut, juga ada 40 pemakalah paralel dari berbagai perguruan
tinggi, antara lain dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Universitas
Negeri Malang (UM), Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar,
Universitas Negeri Jakarta (UNJ), dan Universitas Negeri Makassar (UNM).
“Ide seminar bahasa ini muncul dari
teman-teman dosen bahasa yang menginisiasi untuk menyemarakkan Bulan Bahasa
sekaligus hari Sumpah Pemuda,” kata Erwin Akib. (zak)