----------
PEDOMAN
KARYA
Jumat,
21 Desember 2017
Gerakan Politik
Etis Pemuda Muhammadiyah untuk Sulsel Berkemajuan
Oleh:
Haidir Fitra Siagian
(Dosen
Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Alauddin Makassar)
Membicarakan politik, terdapat beberapa
sarjana yang mendefisinikan tentang politik dari berbagai pandangan
masing-masing. Namun inti dari politik sesungguhnya adalah untuk mewujudkan kesejahteraan bersama yang
dilaksanakan oleh pempimpin negara atas persetujuan warga negara.
Politik ini juga berkaitan dengan
penyelenggaraan pemerintahan dan negara dengan cara merumuskan dan melaksanakan
kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat luas.
Politik dalam pandangan Islam disebut
as-siyasah yang berarti mengelola, mengatur, memerintah, dan melarang sesuatu.
Atau secara definisi berarti prinsip-prinsip dan seni mengelola persoalan
publik.
Dengan kata lain dapat dikatakan sebagai
segala aktivitas yang membuat manusia lebih dekat kepada kebaikan dan lebih
jauh dari kerusakan, walaupun tidak dibuat oleh Rasulullah Muhammad SAW, dan
tidak ada wahyu yang diturunkan untuknya.
Kekuasaan itu sendiri diorientasikan
semata-mata untuk melayani umat. Penguasa Islam (khalifah) sesungguhnya adalah
pelayan/pengurus umat, bukan sebaliknya. Politik Islam bernilai luhur dan
sakral, karena ia merupakan bagian integral dari agama. Berbeda dengan politik
yang berkembang saat ini yang bersifat propaganda dan kering dari nilai-nilai
spiritual
Mengenai demokrasi, ia sering disebut
sebagai keinginan mayoritas warga negara. Ini dimanifestasikan dengan adanya
pemilihan umum secara langsung. Siapa pemilik suara terbanyak, itulah
pemenangnya.
Sesungguhnya esensi demokrasi itu
sendiri adalah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat luas. Oleh karena itu,
pemimpin seyogyanya sesuai dengan keinginan masyarakat yang mampu membawa
mereka ke arah kesejahteraan (Freire, 1971).
Tetapi untuk mensejahterakan rakyat,
tidak mesti dengan pemilihan langsung. Pemimpin yang otoriter juga bisa mensejahterakan
rakyat. Ini lebih terkait dengan integritas, kemampuan dan kapabilitas pemimpin
itu, serta loyalitas dan dedikasinya untuk rakyat.
Musyawarah juga dapat menjadi salah satu
alternatif dari pemilihan langsung. Tak perlu semua orang ikut memilih, cukup
orang-orang tertentu yang kita sepakati saja yang menentukan pemilihan, seperti
masa orde baru.
Sebenarnya ini sudah mulai berlaku di
kalangan perguruan tinggi, khususnya di perguruan tinggi Muhamamdiyah (PTM).
Penentuan rektor tak perlu dengan suara
terbanyak. Hanya ditentukan melalui musyawarah pimpinan persyarikatan. Demikian
juga pemilihan rektor, dekan, dan ketua jurusan di perguruan tinggi negeri.Sudah
mulai dengan cara perwakilan. Itu semua juga dapat dinilai sebagai manifestasi
dari demokrasi.
Terkait dengan pemilihan langsung, ini
sudah menjadi ketetapan negara, merupakan hasil dari produk musyawarah elit
negara, tentu untuk saat ini kita harus laksanakan. Bahwa ada pro dan kontra
dengan sistem pemilihan langsung, itu harus dihargai, sebagai bagian dari
nilai-nilai demokrasi itu sendiri.
Posisi Umat
Islam
Umat harus tahu dan mengerti tentang
dunia politik. Tidak boleh apatis atau antipati kepada dunia politik. Sebab,
sistem negara kita saat ini, mengharuskan segala pengambilan keputusan yang
berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat, mesti melalui lembaga-lembaga
politik.
Oleh karena itu, umat Islam harus
menjadi bagian dari politik itu. Umat Islam harus merebut posisi-posisi penting
dalam negara ini. Dengan tujuan bahwa mengarahkan negara ini sesuai dengan
prinsip-prinsip Islam (dengan tidak mengabaikan perbedaan dan keberagaman).
Mengutip pendapat Haedar Nashir (2000),
jika umat Islam tidak mengerti politik dan tidak mau berpolitik, maka umat
Islam akan menjadi penonton dalam dunia politik yang dimainkan oleh orang-orang
yang bukan Islam, yang membawa negara ini sesuai dengan ideologi dan kepentingan
golongan mereka sendiri.
Justru dengan terjun ke dunia politik
dan mengambil bagian dari pemerintahan, umat Islam berkesempatan secara legal
dan demokrastis, dalam mengarahkan umat Islam ke arah yang lebih baik.
Jangan takut
berpolitik
Ada kecenderungan pendapat bahwa
berpolitik itu akan membawa kepada kemudaratan dan penuh risiko. Bahwa
berpolitik itu penuh risiko, mungkin “YA”. Pertama, risiko kepada perpecahan di
kalangan umat Islam. Kedua, risiko terhadap pribadi muslim yang terjun ke dunia
politik.
Ini sebenarnya adalah pandangan yang
kurang tepat, dan biasanya dihembuskan oleh orang-orang yang menjadi “saingan”
dan tidak menginginkan umat Islam terjun ke dunia politik.
Saingan dalam hal ini, adalah termasuk
dari kalangan umat Islam itu sendiri, terutama orang-orang yang memiliki
kepentingan pribadi dan golongan. Risiko dalam politik itu bukan untuk
dihindari, tetapi harus dihadapi dengan cara-cara yang baik dan istiqamah.
Berdakwah dengan
politik
Dakwah Islam akan semakin mudah dan
semarak jika didukung oleh kekuasaan politik. Dukungan tersebut dapat
dimanifestasikan setidaknya dengan dua cara. Pertama, pembuatan peraturan atau
Undang-Undang yang mendukung dakwah Islam. Kedua, penyediaan anggaran negara
yang untuk kepentingan dakwah. Sekarang ini, untuk membangun masjid atau rumah
ibadah secara terang-terangan melalui APBN, tidak dibenarkan oleh negara.
Bandingnya dengan Malaysia. Dimana pembangunan fisik atau jasmani, harus
selaras dengan pembangunan rohaniah.
Dakwah melalui politik akan semakin
mudah jika masing-masing umat Islam berbagi peran: politisi, pejabat, militer,
pengacara, pengamat, dosen, maupun pengusaha. Umat Islam tidak boleh terfokus
kepada satu hal, misalnya mengurus masjid, ceramah, mengurus organisasi.
Intinya adalah pembagian peran yang masing-masing saling mendukung dan
melengkapi.
Posisi Pemuda
Muhammadiyah
Mendorong anggotanya maju dalam dunia
politik dengan tetap memerhatikan aturan yang berlaku di lingkungan persyarikatan.
Ada memang aturan-aturan yang dipandang menghambat keikutsertaan pimpinan persyarikatan
dalam kegiatan politik. Ini harus dipandang sebagai bentuk atau upaya dalam
menjaga khittah perjuangan persyarikatan.
Justru perlu dicarikan solusi agar tidak
ada yang merasa terhambat dan posisi persyarikatan tetap terjaga. Memberi warna
Islam atau warna Muhammadiyah; aktivis peryarikatan yang akan masuk dan sudah
masuk dalam dunia politik, harusnya menjaga nilai-nilai kemuhammadiyahan. Jangan
sampai nilai-nilai ini luntur dan justru mengikuti irama dan warna permainan
politik yang bertolak belakang dengan nilai-nilai yang kemuhammadiyahan itu
sendiri.
Komitmen terhadap kepentingan kemanusian
(keummatan), bukan hanya kepada warga Muhammadiyah. Ketika terjun ke dalam
dunia politik, baik sebagai anggota dewan maupun sebagai pejabat pemerintahan,
aktivis Muhammadiyah harusnya menjadi garda terdepan dalam melaksanakan tugas-tugas
kenegaraan.
Tidak selalu harus berbau Muhammadiyah.
Melaksanakan tugas kenegaraan secara murni dan konsekwen, itulah bau atau warna
yang perlu diperankan aktivis politik dari warga Muhammadiyah. Wallahu’alam.
Tags
Opini