EMAS. Pagi-pagi, Mak Wella ke luar membuka jendela dan pintu rumahnya. Ia kaget menemukan puluhan kalung emas berhamburan begitu saja di depan pintu rumahnya. Mak Wella memunguti kalung-kalung emas itu, memeriksanya seolah-olah seorang pedagang emas yang memeriksa keaslian kalung-kalung itu.
-----
PEDOMAN
KARYA
Selasa,
26 Desember 2017
Laki-Laki di
Kolong Rumah
Cerpen
Badaruddin Amir
Sudah dua malam Mak Wella tidak dapat
tidur. Selalu ia terbangun di dua pertiga malam karena suara gaduh itik-itiknya
di kandang kolong rumahnya mengganggu kepulasan tidurnya.
Karena terlanjur terbangun di dua
pertiga malam—janda tua yang ditinggal mati suaminya sepuluh tahun yang lalu
itu—menggunakan waktu dua pertiga malam itu untuk beribadah.
Ia melaksanakan sholat tahajjud. Dalam
tahajjudnya ia menyampaikan syafaat kepada Allah SWT agar suaminya senantiasa
mendapat tempat yang layak di akhirat, tempat di mana ia pun akan menuju
nantinya. Sesudah itu ia mendoakan dirinya agar selalu dalam lindungan Tuhan
dan senantiasa mendapat limpahan rezeki dari-Nya.
Seperti malam kemarin, malam ini Mak
Wella kembali mendengar lagi suara gaduh itik-itiknya di kandang. Tapi ada
sesuatu yang lain dari malam-malam sebelumnya.
Malam ini Mak Wella mendengar ada suara
batuk kecil tertahan, yang didengarnya lamat-lamat di antara gaduh
itik-itiknya. Pencurikah itu? Mak Wella sempat berpikir demikian. Tapi kemudian
dibuangnya pikiran itu. Ia tetap positive thinking. Tak akan ada orang --meski
orang jahat sekalipun-- yang mau mengorbankan kesehatannya pada malam-malam
sedingin ini hanya untuk mendapatkan seekor itik secara tak halal.
Kalau ia mengenal Mak Wella pastilah ia
akan memintanya seekor yang jantan dan Mak Wella bukanlah perempuan tua yang
pelik dan kikir. Mak Wella bahkan sering menawarkan itik-itik jantannya kepada
tetangga dan para tetangganya mengenal Mak Wella sebagai janda tua yang baik
hati.
Tapi mengapa itik-itik Mak Wella selalu
sewot saban tengah malam? Ini yang tidak ia ketahui. Selama ini di kampung Mak
Wella, selalu aman-aman saja. Tak ada pencuri atau rampok. Juga tak pernah ada
binatang buas seperti kucing hutan atau musang yang biasa memangsa itik-itik
pada malam hari.
Paling-paling kalau itiknya hilang,
hanya hilang seekor atau dua ekor karena tersesat di rawa-rawa pinggiran hutan,
atau ketabrak anak-anak yang bermain sepeda di lorong. Tapi Mak Wella selalu
menerima laporan bahwa itiknya mati karena ketabrak anak-anak. Dan Mak Wella
tak pernah marah hanya karena kecelakaan seperti itu. Ya, sudah takdirnya
seperti itu, mati karena ditabrak sepeda. Seperti takdir suaminya yang sudah
ditentukan oleh Yang Mahakuasa harus meninggal karena kecelakaan di hutan. Mau
apa lagi.
Kemarin petang waktu memberi makan
itik-itiknya di kandang Mak Wella sempat mengitung jumlah seluruhnya ada dua
belas ekor. Dan petang tadi, ia kembali menghitung jumlah itik-itiknya masih
utuh dua belas ekor. Tak ada yang hilang meski sudah dua malam itik-itiknya
selalu sewot di dua pertiga malam.
Padahal itik-itiknya biasanya sewot
seperti itu hanya pada musim-musim bertelur, itu pun hanya pada saat menjelang
fajar. Dan tengah malam ini, Mak Wella memang mendengar ada suara batuk di
antara galau suara itik-itiknya. Suara batuk seorang laki-laki yang kedinginan.
Ada seorang laki-laki di bawah kolong rumahnya.
“Siapa?” tegur Mak Wella masih di
biliknya.
Ia kemudian bangun menyalakan lampu
pelita. Tak ada jawaban. Hanya suara deheman sekali. Sudah itu sepi.
“Jangan ganggu ketenangan ituk-itikku.
Mereka juga butuh istirahat. Mintalah kalau mau. Saya tak pernah menolak
memberikan jika ada yang meminta.”
Tak ada jawaban. Tapi sekali lagi,
sebuah suara dehem yang lebih panjang, membuat Mak Wella yakin bahwa di bawah
kolong rumahnya –yang boleh jadi mungkin di dalam kandang itik-itiknya yang
sedang galau itu—ada seseorang atau mungkin beberapa orang laki-laki yang
sedang bersembunyi.
Mak Wella teringat pada suaminya, Wak
Supu. Lelaki tinggi yang kemana-mana selalu memegang kampak, karena
pekerjaannya memang sebagai penebang pohon dengan menggunakan kampak di hutan.
Suaminya meninggal sepuluh tahun yang lalu dalam sebuah kecelakaan di hutan
saat menebang pohon untuk dibuat tiang pondokan. Suaminya sangat menyayanginya
meskipun mereka tidak dikaruniai keturunan.
Wak Supu meninggal karena pohon yang
sedang ditebangnya menimpanya. Tak ada yang menolongnya karena ia ke hutan
sendirian. Saat senja sudah turun barulah Mak Wella kasak-kusuk mencarinya. Ia memanggil
beberapa tetangga untuk masuk hutan membantu mencari suaminya.
Dan di bawah sebuah pohon yang
ditebangnya, Mak Wella bersama orang-orang kampung menemukan Wak Supu terkapar
dalam keadaan mengenaskan. Orang-orang kampung pun segera menggotongnya pulang
menggunakan sarung. Ia sempat dilarikan ke rumah sakit tapi nyawanya tak
terselamatkan. Esoknya, suami Mak Wella dikuburkan di tepi hutan itu juga.
Tak pernah ada mimpi buruk lintas dalam
kehidupan Mak Wella sebelumnya, bahwa suaminya akan meninggalkannya dalam
keadaan mengenaskan seperti itu. Perempuan tua yang tak dianugrahi anak itu pun
tak membayangkan bahwa ia akan hidup sendiri setelah itu -- menempuh
tahun-tahunnya yang sisa.
Tapi Tuhan maha melindungi. Dalam menempuh
sisa kehidupannya, Mak Wella tak pernah kekurangan. Rezeki selalu datang
padanya, meski memang hanya selalu pas-pasan.
Karena itu ia tidak pernah merasa bosan
untuk hidup sendirian hingga usianya lanjut. Ia bekerja apa saja yang dapat
dikerjakan oleh seorang perempuan tua dengan kedua tangannya: memelihara
sapi-sapi sebagai ternak peninggalan suaminya, berkebun menanam sayuran
sebisanya di halaman untuk dikonsumsi sendiri, beternak itik yang
dikandangkannya di kolong rumah, memelihara ikan-ikan bawel, ikan gurami, ikan
nila di kolam samping rumahnya sendiri, dan membantu tetangga menyelesaikan
pekerjaan-pekerjaan rumah tangga yang biasanya mendapat imbalan apa saja berupa
makanan atau sedikit uang.
Pekerjaannya itu telah membuatnya betah
hidup sebagai seorang janda tanpa anak seorang pun juga. Hasil dari kucuran
keringatnya telah menjamin kehidupannya sehari-hari, membuat dapurnya tetap
mengepulkan asap. Ia dikenal sebagai janda tua yang ulet.
Jika ia merasa sepi yang memang
sekali-kali datang juga menyantroninya, maka ia menyambut kesepiannya dengan
shalat tahajjud, memohon perlindungan kepada Allah SWT. Dan biasanya jika Mak
Wella sudah selesai mengerjakan shalat tahajjud dua rakaat di dua pertiga malam,
maka lapanglah dadanya. Kesepiannya segera enyah, demikian juga dengan
ketakutan-ketakutannya yang sesekali datang menyambanginya sebagai tamu asing.
“Tak ada yang perlu kau takutkan dalam
kehidupan ini Mak, meski nantinya kau akan hidup sendirian,” kata suaminya Wak
Supu pada suatu ketika saat mereka sudah dalam kehidupan berumah tangga selama
dua puluh tahun dan mereka belum dikaruniai keturunan juga.
“Selalulah dekatkan dirimu pada Tuhan,
karena hanya pada-Nyalah kau berpasrah diri dan memohon pertolongan!”
Saat suaminya meninggal sepuluh tahun
yang lalu, Mak Wella pun telah mengunci erat-erat kata-kata itu di hatinya. Ia
tidak pernah takut kepada siapapun kecuali pada Tuhan. Mungkin karena keyakinan
itulah, Mak Wella tidak pernah terpengaruh oleh kepercayaan orang lain tentang
suaminya.
Konon tetangga-tetangganya yang dulu
membantu menggotong almarhum suaminya pulang dari hutan mengaku pernah melihat
secara kasatmata lelaki tinggi itu di tepi hutan sedang memegang kampak untuk
menebang pohon. Kesaksian seorang warga kampung itulah yang membuat banyak
orang kampung lainnya takut memasuki hutan tanpa membuat upacara atau sesajen
pada arwah Wak Supu.
Cerita itu mungkin memang tak bisa
dipertanggungjawabkan. Cerita itu diyakini Mak Wella sebagai cerita bohong.
Suaminya telah meninggal, telah dikuburkan di tepi hutan. Mana mungkin ia bisa
hidup lagi. Tapi gosip-gosip yang beredar membuat banyak orang di kampung
memercayainya.
Mereka yakin kalau Wak Supu memang masih
‘hidup’ dan dia hanya moksa. Hanya tubuh kasarnya yang hancur akibat kekelakaan
tempo hari. Tapi orang-orang sering menemukannya memegang kampak penebang
pohon.
Malah ada yang mengaku pernah kasatmata
berpapasan dengan lelaki tinggi memegang kampak yang diyakini tak lain dari Wak
Supu itu pada malam terang bulan di seputar rumah Mak Wella. Saat disapa Wak
Supu pun hilang, entah kemana.
Dan seperti gosip-gosip lainnya yang
renyah, orang-orang kampung banyak yang menambah-nambahi ceritanya, sehingga
dari tahun ke tahun cerita itu menjadi sebuah mitos.
Beruntunglah saat hidup Wak Supu memang
bukan orang jahat, sehingga orang-orang memercayai bahwa roh Wak Supu tidak
menjadi roh jahat yang sering datang mengganggu ketentraman kampung dan
mendatangkan malapetaka. Warga kampung meyakini bahwa roh Wak Supu adalah roh
yang baik, yang menjaga keselamatan kampung mereka.
Maka kuburan Wak Supu –di tepi hutan
itu-- kadang-kadang didatangi oleh penduduk kampung untuk meminta berkah atau
apa saja. Dan kuburan yang hanya diberi nisan sederhana dari sebuah batu biasa
itu kini diberi kijing dan batu nisan dari batu marmer entah oleh siapa. Di
nisan itu terukir halus nama Wak Supu, lengkap dengan hari dan tanggal wafatnya.
Dan dipangkal nisan berwarna prada itu bertaburlah rupa-rupa bunga dan
pedupaan.
Saat mengetahui kejadian itu Mak Wella
memang marah besar. Tapi ia tidak tahu kepada siapa ia meledakkan amarahnya.
Soalnya tak seorang pun yang berani mengatakan siapa yang telah memugar kuburan
suaminya menjadi sebuah makam yang dikeramatkan.
Ia mendatangi kuburan suaminya. Ia
melemparkan pedupaan itu, membuang bunga-bungaan itu. Lalu mencoba menggoyang
batu nisan sepemelukan itu sekuatnya. Tapi tentu saja batu nisan besar dan
tertanam kuat itu tak mampu ia goyang sendirian.
“Jangan ada yang pernah membuat
kemusyrikan di kuburanmu!” serunya.
Kemudian undur, meredakan amarahnya, dan
membacakan Surat Al-Fatihah, surat Yasin, Ayat Kursyi dan surat-surat lain yang
dihafalnya kepada arwah suaminya.
Saat senja turun ia meninggalkan kuburan
itu. Pergi, pulang ke rumahnya. Sejak itu ia tidak pernah lagi mengunjungi
kuburan suaminya, meski orang-orang masih didengarnya sering datang mensiarahi
kuburan laki-laki tinggi di tepi hutan itu.
***
Dan malam itu malam Jumat. Ia kembali
mendengar itik-itik peliharaannya di kolong rumahnya kembali gaduh pada dua
pertiga malam. Mak Wella menegur lagi.
“Ambillah seekor yang jantan, Mak
merelakan. Jangan ambil yang betina, karena ia akan bertelur nantinya. Meski di
bawah situ gelap, sangat gampang membedakan mana yang jantan dan mana yang
betina. Kau boleh mencium pantatnya. Kalau ada aroma telur keluar dari
pantatnya berarti itu itik betina, lepaskan dan tangkap lagi yang lain dan cium
lagi pantatnya. Jika itu jorok bagimu, kau boleh meraba bulu ekornya. Jika ada
bulu ekornya yang melengkung seperti daun pakis muda maka itu pasti itik
jantan, kau boleh mengambilnya seekor atau dua ekor saja. Itu halal bagimu.
Tapi kalau kau mengambilnya lebih dari dua ekor maka lebihnya tidak saya
halalkan.” Kata Mak Wella.
“Kami bukan mau mencuri itikmu, nenek
tua peyot! Kami mau merampok harta bendamu yang lain atau uang hasil penjualan
sapimu!”
Tiba-tiba Mak Wella mendengar suara
pencuri itu, agak sengau, terdengar seperti suara yang langsung keluar dari
perut tanpa melalui kerongkongan.
Tapi Mak Wella, perempuan tua yang tak
lagi mengenal rasa takut, malah tertawa terbahak-bahak. Ia sempat berpikir
untuk mengambil air panas dari termos yang baru saja diisinya di awal malam.
Jika ia menuang air setermos itu di atas kandang itiknya maka selesailah sudah.
Pencuri atau perampok atau apapun itu, akan menjerit kesakitan. Meski
itik-itiknya juga akan ikut menjadi korban.
Tapi tidak. Mak Wella tidak akan
melakukan itu, jika belum merupakan sebuah keterpaksaan untuk membela diri atau
membela harta bendanya. Air panas itu–yang memang selalu disiapkannya dari
malam-malam sebelumnya-- adalah sebuah senjata rahasia untuk melawan
orang-orang jahat yang berada di bawah kolong rumahnya.
“Harta benda apa yang mau kau curi
dariku? Tak ada benda peninggalan suamiku yang berharga di rumah ini selain aku
sendiri. Dan kau tahu aku bukan lagi perempuan muda yang dapat menggelorakan
syahwatmu. Aku sudah nenek tua peyot seperti katamu. Aku sama sekali tak
berharga lagi bagi seorang pemuda seperti kau. Kudengar suaramu di sini sangat
berwibawa, anak muda. Pergilah mencari rezekimu ke tempat yang lain.” Kata Mak
Wella.
Dua perampok tengik yang berada di
kolong rumah Mak Wella tengah malam itu geram. Ia sesungguhnya telah merampok
sebuah toko emas di kota dan kini dalam gendongan sarungnya dua puluh kalung
emas hasil rampokannya itu belum membuatnya puas malam itu.
Ia masih mencari uang tunai yang dapat
dibelanja langsung, atau jadi biaya transport untuk pergi jauh –menyembunyikan
kalung-kalung emas hasil rampokannya malam itu. Dan mereka mendengar Mak Wella
baru saja menjual sapinya kepada seorang pedagang di Kampung itu. Karena itulah
mereka akan merampoknya pula.
“Kami tak butuh dirimu yang sudah peyot.
Kami butuh uang hasil jualan sapimu tadi siang.” Kata perampok dari kolong
rumah.
Mak Wella kembali tertawa.
Terkekeh-kekeh. Suara tawanya seperti suara tawa Mak Lampir. Mak Wella kemudian
berseloroh.
“Oh, uang hasil jualan sapiku belum
kuterima semua anak muda tengik. Saya mengambilnya sedikit sedikit sesuai
kebutuhan sehari-hariku saja. Pergilah mencari rezekimu ke tempat lain dan
kalau kau perampok yang bijak, jangan lupa memberiku sebagian sebagai hadiah.
Semoga kau selamat di dunia saja!”
“Apa? Akan kubunuh kau malam ini juga
nenek tua jelek!”
Geram kedua perampok itu sambil memasang
topengnya lalu meraba pistol rakitan yang terselip di sabuk pinggangnya.
Suaranya kini lebih kentara. Nada-nadanya jelas. Bengis dan kasar.
Kedua perampok itu menaiki tangga rumah
Mak Wella dengan pistol rakitan yang terhunus di tangan. Mereka bermaksud mendobrak
daun pintu yang hanya terbuat dari kayu lapuk itu. Kemudian akan menghadiahi
Mak Wella dua butir peluru di kepala. Tapi sebelum mencapai pintu, sesosok
bayangan laki-laki tinggi memengang kampak penebang pohon keluar dari daun
pintu itu begitu saja.
Cahaya rembulan yang bersinar
redup-redup terang, menerangi wajahnya yang rata dan polos begitu saja. Ia
mengacungkan kampaknya ke kepala kedua perampok itu. Karena kaget luar biasa
kedua perampok itu pun melompat dari teras ke tanah, membiarkan hasil curiannya
lepas berhamburan begitu saja di teras rumah Mak Wella.
Mereka pun lari pontang-panting dikejar
bayangan laki-laki tinggi mengacungkan kampak. Mereka terus berlari tanpa
menghiraukan apa-apa. Dan “hantu” dalam sosok laki-laki tinggi itu terus juga
mengejarnya hingga ke perbatasan kampung di tepi hutan itu. Setelah kedua
perampok ke luar kampung bayangan laki-laki tinggi memegang kampak penebang
pohon itu pun hilang begitu saja di sana.
Pagi-pagi, Mak Wella ke luar membuka
jendela dan pintu rumahnya. Ia kaget menemukan puluhan kalung emas berhamburan
begitu saja di depan pintu rumahnya.
“Benar juga dia perampok yang bijak dan
mendengar kata-kataku. Dia menyimpankan sebagian hasil rampokannya untukku.
Wah, lumayan banyak dua puluh kalung emas. Padahal aku hanya berseloroh.”
Mak Wella memunguti kalung-kalung emas
itu, memeriksanya seolah-olah seorang pedagang emas yang memeriksa keaslian kalung-kalung
itu.
“Ini sungguh-sungguh emas asli. Ini
bukan imitasi. Mana mungkin perampok tengik mau mengambil emas imitasi,”
gumamnya.
“Huh sayang, ini pastilah harta yang
tidak halal. Bukan rezekiku. Saya akan membawanya ke masjid untuk diumumkan.
Saya akan mencari siapa pemiliknya.” Gumam nenek tua itu lagi membawa semua
kalung-kalung emas itu masuk ke dalam rumahnya.
Barru,
November 2017