-----
PEDOMAN KARYA
Selasa, 12 Desember 2017
Pinisi Jadi Budaya
Tak Benda Warisan Dunia-Unesco
Oleh:
Shaifuddin Bahrum
(Budayawan)
Setelah Unesco (badan dunia untuk urusan
kebudayaan) menetapkan sejumlah Budaya Tak-Benda menjadi Warisan dunia yang
harus dilindungi, maka tibalah giliran Perahu Pinisi melewati penilaian dan
persidangan yang rumit di Sidang Tahunan Unesco di Kota Jeju, Korea Selatan,
pada 4-6 Desember 2017.
Untuk sampai ke persidangan di Jeju,
Pinisi telah melakukan perjalanan panjang untuk mendapatkan predikat Warisan
Dunia ini.
Perjalanan itu dimulai pada tahun 2010
ketika Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata melalui Balai Penelitian Sejarah
dan Nilai Tradisional Makassar yang waktu itu dipimpin oleh Bapak Suriadi
Mappangara melakukan pencatatan dan inventarisasi Budaya Tak-benda yang ada di
daerah-daerah di Sulawesi Selatan. Saat itu, penulis terlibat sebagai pencatat
dan pengisi formulir awal tersebut.
Tiga tahun kemudian (2013) Pinisi
diusulkan oleh Balai Penelitian Sejarah dan Nilai Tradisi Makassar, bersama
Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sulawesi-Selatan untuk menjadi Warisan
Budaya Tak Benda Nasional. Tentu saja bersama dengan karya budaya lainnya.
Oleh sebuah tim penilai dan
verifikasi dari Direktorat Kebudayaan Kementerian
Kebudayaan dan Pariwisata RI yang beranggotakan sejumlah pakar budaya dan
diketuai oleh Dr Muklis Paeni, menetapkan Pinisi sebagai Warisan Nasional 2013.
Tentu dengan dengan berbagai pertimbangan dan penilaian yang disesuaikan dengan
penilaian Unesco.
Perjalanan Pinisi tidak berhenti di
sana, tim Kementerian RI kemudian mengusulkannya ke Unesco untuk dijadikan
Warisan Budaya Tak Benda Dunia (Intangeble Culture Heritage/ICH).
Maka pada tahun 2014 dimulailah
pengisian formulir Unesco. Pengisian dan Pengusulan Formulir ke Unesco bukanlah
hal yang mudah, karena berbagai aspek yang harus diperhatikan dalam penilaian
Unesco, terutama pada nilai dan materi budaya yang akan diwariskan. Untuk
itulah tim kemudian melibatkan sejumlah ahli dan masyarakat pendukung
kebudayaan (Pinisi) untuk membuat rumusan-rumusan dalam formulir isian.
Di tahun itulah berkumpul sejumlah pakar
budaya terutama yang konsen pada dunia maritim dan perkalapan, dan juga
sejumlah tokoh masyarakat dan budayawan dari Bulukumba di Makassar, untuk
menyatukan visi dan rumusan dalam pengisian formulir tersebut. Maka lahirlah
sebuah judul “ Pinisi; The Art of Boatbuilding in South Sulawesi'.
Persidangan UNESCO semestinya
berlangsung setiap tahun dan menetapkan warisan-warisan dunia, akan tetapi pada
tahun 2015 terjadi kebijakan baru di Unesco dan persidangan dilakukan secara
regional.
Tahun 2016 semestinya Pinisi sudah masuk
persidangan akan tetapi persidangan untuk Regional Asia-Pasifik baru bisa
terlaksana ditahun 2017 ini. Maka barulah Pinisi ditetapkan sebagai Warisan
Budaya-Tak-Benda Dunia menyusul warisan budaya yang sudah lolos terlebih
dahulu, yakni: Keris (2008), Wayang (2008), Batik (2009), Best Practice Batik
(2009), Angklung (2010), Tari Saman (2011), Noken Papua (2012), Tiga Genre
Tarian Tradisional Bali (2015), dan tahun ini Perahu Pinisi (2017)
Budaya Benda
atau Tak-Benda?
Secara harfiah kita melihat dengan mata
telanjang perahu Pinisi adalah sebuah hasil karya (budaya) manusia yang terdiri
dari sejumlah susunan kayu dan di pakai berlayar di lautan samudera dengan
menggunakan 7 helai layar.
Lalu apa luar biasanya perahu pinisi
dibanding perahu-perahu lainnya yang dibuat oleh suku bangsa lain?
Ternyata, setelah dilakukan kajian, yang
luar biasa pada Perahu Pinisi adalah proses pembuatannya. Di sinilah terkan dung
sebuah ilmu pengetahuan dan teknologi
tradisional yang dimiliki oleh para Panre Lopi, yang bisa bersaing dan
bertahan dengan sistem pembuatan perahu modern.
Pengetahuan dan teknologi itu telah termiliki
sejak dahulu oleh nenek-moyang orang Bugis-Makassar, khususnya yang berada di
Bulukumba. Selain itu, dalam pembuatannya mereka masih berpatokan pada sistem
kepercayaan tradisional yang ada, sehingga dalam pembuatannya selalu ditemukan
ritual-ritual.
Kemudian ketika perahu pinisi sudah
lahir/ maujud, perahu ini pun dilayarkan oleh-pelaut ulung dengan sistem
navigasi tradisional dan sangat sederhana, akan tetapi mampu mengarungi samudera
luas hingga merapat ke dermaga yang paling jauh.
Semua aspek yang tidak terjamah
(intangible) yang menjadi lebih penting untuk diwariskan ketimbang sebuah fisik
sebuah perahu Pinisi yang terlalu mudah untuk dilapukkan oleh waktu…
Akan tetapi ilmu pengetahuan-teknologi,
ilmu navigasi, astrologi, system kepercayaan, tradisi, dan lain-lainnya, telah
teruji oleh zaman dan bisa bertahan hingga saat ini melalui pewarisan secara
turun temurun.
Sesungguhnya nama “Pinisi” adalah
merupakan “general name” untuk sistem pembuatan badan (lambung) perahu. Pinisi
hanya mewakili sistem budaya-tak benda dalam pembuatan lambung perahu
tradisional di Sulawesi Selatan, ia juga mewakili sistem pembuatan perahu palari, lambo, baqgoq, pattorani,
padewakkang, pajala,dll, yang masing-masing bentuk lambungnya berbeda. Hanya
saja perahu tradisional yang paling popular dari Sulawesi Selatan adalah
‘Pinisi.
“Orang hanya tahu Pinisi…Ya, nama itu
saja…” Kata kawanku Horst Liebner, yang orang Jerman ahli perkapalan itu….