SEDERHANA. Wartawan senior dan Pemred SKM Perintis Nusantara, Ismail Jafar, meninggal dunia di Makassar, Jumat, 05 Januari 2018.
Almarhum adalah anggota PWI Sulsel dan juga salah seorang pengurus
Yayasan Lembaga Pers Sulawesi Selatan (YLPSS). (Foto: Asnawin)
Yayasan Lembaga Pers Sulawesi Selatan (YLPSS). (Foto: Asnawin)
-------
PEDOMAN
KARYA
Rabu,
10 Januari 2018
In-memoriam
Sobat Ismail Jafar
Jurnalis Senior
yang Sederhana
Oleh:
M Dahlan Abubakar
(Wartawan
Senior/Mantan Pemred Harian Pedoman Rakyat)
Masih pagi benar, beberapa orang teman
menelepon saya yang pulas sejak pascasalat subuh. Ada satu dua yang tertulis “panggilan
tak terjawab”. Belum sempat saya membuka satu layanan pesan pendek (short
message service/SMS), telepon dari rekan Razak Kasim berdering di ponsel tua
saya.
“Pak Ismail Jafar sudah berpulang,” kata
Aca, panggilan akrab teman yang satu ini.
Saya merenung. Dua hari sebelumnya, di
acara arisan Keluarga Bima Antang di kediaman Dr Syafiuddin MS, saya dapat
kabar kalau Mo’i sudah keluar dari RS Unhas.
(Mo’i, panggilan buat yang lebih tua
atau sapaan hormat di antara kami warga Bima. Moi berasal dari kata “Ma’i”–potongan
kata “Samai” yang diturunkan dari kata “Ismail”. Bahasa Bima yang vokalis,
memangkas semua konsonan di akhir kata).
Saya pikir, dia sudah baikan, seperti
yang dia ungkapkan ketika pertama dirawat di rumah sakit yang sama ketika saya
bezuk beberapa waktu sebelumnya bahwa dia memerlukan banyak istirahat.
Ternyata, Mo’i pada tanggal 5 Januari
2018, menghembuskan nafasnya yang penghabisan setelah dirawat di RSUP Dr Wahidin
Sudirohusodo, Makassar. Sulawesi Selatan kehilangan seorang
wartawan senior, sepeninggal Dahlan Kadir 6 September 2017.
Almarhum yang juga anggota Persatuan
Wartawan Indonesia (PWI) Sulsel ini wafat pada pukul 03.55 Wita karena penyakit
jantung. Mayatnya kemudian dibawa ke rumah duka di Jalan Kemakmuran Blok H Bumi
Tamalanrea Permai (BTP), Makassar, sebelum jenazahnya dimakamkan di Sudiang
Makassar.
Semasa hidupnya, Ismail Jafar dikenal
sebagai salah satu wartawan senior Sulawesi Selatan yang memiliki segudang
pengalaman di dunia jurnalistik, khususnya di Sulawesi Selatan.
Bersama beberapa orang sahabatnya, dia
mengabdikan diri memimpin surat kabar mingguan “Perintis Nusantara”, satu koran
mingguan yang masih eksis di tengah serbuan media daring (online) yang cukup
viral.
Almarhum termasuk salah satu pengurus
Yayasan Lembaga Pers Sulawesi Selatan (YLPSS) yang saya ketuai dan didirikan
tahun 2015. Hampir setiap rapat YLPSS almarhum selalu hadir. Justru saya selaku
ketua sering absen karena kesibukan menyelesaikan sekolah.
Beberapa tahun lalu, almarhum meminta
izin nama saya dimasukkan ke dalam boks redaksi. Saya langsung meng-iya-kan.
Saya pun diposisikan sebagai “penasihat redaksi” tunggal dan “staf redaksi”.
Salah satu nasihat saya kepadanya adalah
agar selalu menerapkan Kode Etik Jurnalistik, di antaranya pasal 1 (Wartawan
Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan
tidak beritikad buruk), dan pasal 4 (Wartawan Indonesia tidak membuat berita
bohong, fitnah, sadis, dan cabul).
“Mohon selalu melakukan konfirmasi dan
peliputan dua sisi (cover both side),”
kata saya suatu saat.
Kepadanya saya minta kolom khusus di
halaman depan untuk tulisan khas. Kolom itu tetap terisi dan menjadi bacaan
yang sangat khas bagi pembaca “Perintis Nusantara”. Isinya, saya istilahkan
tulisan yang bergenre “esai jurnalistik”, yakni tulisan faktual langgam
jurnalistik.
Isinya, berupa catatan perjalanan saya
ke suatu daerah (acara) dan catatan kritis terhadap suatu masalah dan realitas
yang terjadi di tengah masyarakat. Tulisan ini disajikan dengan sederhana,
tidak membuat kerut kening saat membacanya.
Jika “Perintis Nusantara” akan terbit,
saya selalu dikontak. Almarhum cukup mengetik dua kata melalui SMS lalu dikirim
ke ponsel saya.
“Kirim naskah”. Kalimatnya benar-benar
singkat dan saya sangat maklum. Mengirim SMS dengan cuma kata “Naskah!” saja,
saya sudah mengerti.
Jika saya menerima pesan seperti ini,
saya membalasnya dua kali. Pertama, berbunyi “malam (nanti) saya kirim”. Kedua,
“Naskah terkirim”. Mo’i membalas juga dengan pendek, “terima kasih.”
Saya masih ingat, almarhum terakhir
mengirim SMS meminta naskah pada 11 Desember 2017. Saya pun mengirim naskah
berjudul “Siaga Satu” (Refleksi Keprihatinan Atas Penyerangan Kantor Polisi).
Tulisan ini sebenarnya menekankan agar
aparat kepolisian selalu waspada dan siaga satu menjaga kantornya sepanjang
waktu terhadap kemungkinan penyerangan yang dilakukan oleh orang-orang yang
tidak bertanggung-jawab atau terduga teroris.
Ternyata “warning” dan kekhawatiran saya
ini kemudian terjadi dengan adanya serangan berupa pelemparan mercon ke Kantor
Polsek Bontoala Makassar pada saat pergantian tahun 20017 ke 2018.
Dalam mengelola media “Perintis
Nusantara”, almarhum tidak pernah kehabisan semangat di tengah kondisi fisiknya
yang sering terganggu. Semangat hidupnya melawan penyakit yang menderanya. Dia
seolah tidak mau takluk dengan penyakit. Meski sudah dua kali masuk rumah
sakit, dia tetap bekerja secara profesional dan berdedikasi tinggi terhadap
dunia jurnalistik.
Dia sosok yang sangat sederhana dan
pendiam, tetapi pekerja keras. “Perintis Nusantara” yang dikelolanya menawarkan
informasi yang santun, sesuai dengan mottonya “Penyalur Aspirasi Masyarakat.”
Pria kelahiran Bima, Nusa Tenggara Barat,
61 tahun silam ini juga dikenal keluarga sebagai ayah dan kakek, orangtua yang
bertanggung-jawab kepada keluarga.
“Bapak orangnya sabar sama anak dan
cucu. Bapak keluar kerja pagi sampai sore, bahkan dalam beberapa kesempatan
sering pulang malam. Bapak ‘kan hobinya nonton berita, makanya kalau mau nonton
pasti berebut dengan cucu yang maunya nonton (film) kartun. Tetapi bapak tetap
mengalah kepada cucu,” tutur Hj Nurhaeni, istri Mo’i, seperti ditulis “kabarmakasssar.com”.
Ayah dari empat anak ini sejak lulus
perguruan tinggi, langsung jatuh hati kepada dunia jurnalistik. Pada masanya,
wartawan belum sebanyak “zaman now”. Media pun didominasi media cetak tanpa
media daring.
Mo’i meninggalkan seorang istri, empat anak,
plus 8 cucu yang sangat disayangi dan dicintainya. Selamat jalan Mo’i. Kita
tidak bisa lagi bercanda, bergurau, dan bertukar kisah tentang segala hal,
termasuk mengenai kabar kampung halaman kita yang sudah ditinggalkan puluhan
tahun silam. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun!
Surga tempat ta pak
BalasHapus