MAHAR POLITIK. BKPRMI Sulsel menggelar Diskusi Panel bertajuk “Pilkada Syariah, Tanpa Mahar, Mungkinkah?”, di RM Wong Solo, Jl Sultan Alauddin, Makassar, Ahad, 28 Januari 2018, dengan menampilkan empat pembicara, yaitu Iqbal Parewagi (Anggota DPD RI), Aswar Hasan (pengamat politik Unhas), Andi Luhur Prianto (pengamat politik Unismuh Makassar), dan Hasid Hasan Palogai (Ketua BKPRMI Sulsel). (ist)
--------
Ahad, 28 Januari 2018
Mahar Politik, Fakta
Tanpa Data
MAKASSAR,
(PEDOMAN KARYA). Mahar
politik itu fakta tanpa data. Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tanpa mahar
politik adalah sesuatu yang mustahil. Di sisi lain, mahar politik tergolong
suap dan suap-menyuap itu dilarang dalam Islam.
“Allah dan Rasulullah melaknat orang yang
menyuap dan orang yang disuap, termasuk orang yang jadi perantara, tapi
sekarang suap-menyuap dalam politik itu sudah dianggap biasa. Orang Islam tahu
hukumnya, tapi kenapa dilanggar. Ini ada semacam anomali keimanan dalam
berpolitik,” kata pakar komunikasi dan pengamat politik dari Universitas
Hasanuddin (Unhas) Makassar, Aswar Hasan.
Hal itu dikemukakan saat tampil sebagai
salah seorang pembicara pada Diskusi Panel bertajuk “Pilkada Syariah, Tanpa
Mahar, Mungkinkah?”, yang digelar Badan Koordinasi Pemuda remaja Masjid Indonesia
(BKPRMI) Sulsel, di RM Wong Solo, Jl Sultan Alauddin, Makassar, Ahad, 28
Januari 2018.
Masalahnya sekarang, lanjut Aswar Hasan,
umat Islam harus ambil bagian dalam politik praktis, karena kalau umat Islam
tidak ikut berpolitik, maka orang jahat yang akan menguasai dunia politik.
“Pilihannya, kita harus ikut, tinggal
bagaimana meminimalisir. Pilkada tanpa mahar itu mustahil, tinggal bagaimana
supaya tidak berlebihan,” kata Aswar.
Tentang mahar politik dalam Pilkada, Ketua
BKPRMI Sulsel, Hasid Hasan Palogai mengatakan, salah satu permasalahan politik
saat ini adalah mindset tentang mahar politik.
“BKPRMI menginisiasi calon anggota
legislatif dan yudikatif perlu untuk berkonsultasi dengan ulama sebelum mencalonkan
diri. Umat Islam perlu memilih pemimpin yang amanah dan memperjuangkan aspirasi
umat,” kata Hasid.
Munculnya Mahar
Politik
Pendapat yang sama dikemukakan pengamat politik
dari Universitas Muhamamdiyah (Unismuh) Makassar Andi Luhur Prianto. Dia mengatakan,
iklim dan praktek demokrasi di dunia belum bisa dikatakan sudah bagus.
“Kalau demokrasi itu audah baik, maka
tidak mungkin orang seperti Donald Trump terpilih sebagai Presiden Amerika
Serikat,” kata Luhur.
Di sisi lain, katanya sambil meminta
agar dirinya dikoreksi bila salah, mungkin tidak ada risalah-risalah Islam tentang
bagaimana memilih pemimpin yang baik.
“Demokrasi kita masih dalam tahap
transisi. Ciri-ciri demokrasi transisi yaitu terbentuknya lembaga-lembaga baru,
termasuk parpol, tetapi pemainnya orang-orang lama. Wiranto dulu di samping
Soeharto, sekarang Wiranto masih di samping presiden,” sebut Luhur yang membuat
para peserta diskusi terseyum.
Meskipun demikian, lanjut, demokrasi
yang diterapkan di Indonesia tetap memiliki kelebihan, yaitu karena kita bebas
memperlakukan demokrasi sekehendak hati.
“Parpol tidak punya kader, tidak ada
sistem perkaderan yang jelas, maka masuklah kader luar memanfaatkan parpol dan disitulah
muncul mahar politik,” ujar Luhur.
Masalah lain dengan adanya mahar
politik, katanya, yaitu belum tentu orang yang setorannya paling besar yang
mendapatkan rekomendasi untuk diusung dalam Pilkada.
“Ada juga calon yang setorannya lebih
besar, tapi bukan dia yang mendapat rekomendasi, karena salah dalam memilih
orang yang mengantar mahar. Ada yang saya dengar begitu,” ungkap Luhur.
Jalur Ormas
Sementara itu, Anggota Dewan Perwakilan
Daerah Republik Indonesia (DPD RI) AM Iqbal Parewangi, pada kesempatan yang
sama mengemukakan bahwa sekarang ini sudah ada dua jalur yang dapat ditempuh
untuk pengajuan atau mengajukan diri sebagai calon bupati (cabup), calon
walikota (cawali), calon gubernur (cagub), maupun calon presiden (capres),
yaitu jalur partai politik (parpol) dan jalur independen.
Namun kenyataannya, kedua jalur tersebut
memiliki banyak kelemahan. Jalur parpol rawan politik uang, antara lain dengan
adanya mahar politik untuk mendapatkan rekomendasi dari parpol, sedangkan jalur
independen rawan pemalsuan dan pembajakan KTP (Kartu Tanda Penduduk).
Untuk itulah, Iqbal Parewangi
mengusulkan jalur organisasi kemasyarakat (Ormas) untuk pengajuan capres,
cagub, cawali, dan cabup.
“Jalur Ormas menghindarkan mahar politik
dalam Pilkada maupun Pilpres, karena Ormas tidak mungkin disogok atau meminta
mahar kepada calon bupati, calon walikota, calon gubernur, maupun calon
presiden,” katanya.
Menurut Iqbal, Ormas adalah pemegang
rincik demokrasi, karena Ormas-lah yang sejatinya memiliki konstituen. Ormas Islam
misalnya memiliki konstituen sebanyak 87 persen penduduk Indonesia, karena 87
persen penduduk Indonesia beragama Islam.
“Pengajuan calon presiden, calon
gubernur, calon walikota, dan calon bupati melalui jalur Ormas tentu jauh lebih
demokratis, karena Ormas-lah yang sejatinya memiliki konstituen,” kata Iqbal.
Jika jalur Ormas dibuka, katanya, maka
Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Wahdah Islamiyah, Darud Da’wah wal Irsyad
(DDI), dan Ormas-ormas Islam lainnya, dapat duduk bersama untuk membahas calon bupati,
calon walikota, calon gubernur, can calon presiden yang akan diusung.
Sekum BKPRMI Sulsel Amruddin Ambo Enre, kepada
wartawan menjelaskan, pihaknya mengundang berbagai elemen masyarakat dalam
diskusi panel tersebut, antara lain dari unsur parpol, Ormas Islam, akademisi,
dan wartawan, dalam diskusi yang dipandu oleh Wakil Ketua BKPRMI Sulsel Anwar
Cece. (win)