CERAMAH UMUM. Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Din Syamsuddin, membawakan ceramah umum pada Munas Tarjih Muhammadiyah, di Balai Sidang Muktamar 47 Kampus Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, Rabu sore, 24 Januari 2018. (Foto: Asrijal Bintang)
--------
Kamis,
25 Januari 2018
Politik Transaksional
di Indonesia Bersifat Politik Dagang
MAKASSAR,
(PEDOMAN KARYA).
Istilah politik transaksional tidak selamanya berkonotasi negatif. Politik
transaksional dapat bersifat netral, dapat bersifat positif, dan juga dapat
bersifat negatif, tergantung transaksi apa yang ada antara rakyat dengan calon
pemimpin politik.
Namun, jika dikaitkan dengan politik
transaksional di Indonesia belakangan ini, maka politik transaksional ialah
istilah lain dari politik uang, yang bersifat politik dagang, yang kemudian
menimbulkan seseorang harus memiliki uang dengan jumlah yang besar ketika ingin
terjun ke dunia politik.
“Jika aktor politik berhasil menang di
dalam perlombaan demokrasi itu, maka ia harus mengembalikan uang yang telah
digunakannya, maka ini akan membawa keburukan, sehingga membuka peluang
korupsi, kolusi, maupun praktek buruk lainnya,” kata mantan Ketua Umum Pimpinan
Pusat Muhammadiyah Prof Din Syamsuddin.
Membawakan ceramah umum pada acara Musyawarah
Nasional (Munas) ke-30 Tarjih Muhammadiyah, di Balai Sidang Muktamar 47 Kampus Universitas
Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, Rabu sore, 24 Januari 2018, Din Syamsuddin mengatakan,
selain adanya politik transaksional, sang aktor politik mempunyai kewajiban
untuk memperjuangkan nilai-nilai orang yang mendukungnya.
“Aktor politik mempunyai kewajiban untuk
memperjuangkan nilai-nilai orang yang mendukungnya, dan ini kemudian yang
mengurangi kualitas dari tanggung jawab yang ada, baik pada diri anggota
legislatif, maupun eksekutif, yang terpilih lewat politik transaksional. Inilah
lingkaran setan yang harus diubah menjadi lingkaran kebajikan, maupun lingkaran
keutamaan,” kata Din yang juga mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat.
Din yang kini menjadi Utusan Khusus
Presiden untuk Dialog dan Kerjasama Antaragama dan Peradaban, mengatakan, dari
sudut pandang umat Islam, politik transaksional, politik uang, maupun politik
dagang masuk dalam kategori rasuah, sogokan, atau suapan, yang mana perilaku
tersebut sangat dikecam oleh Nabi Muhammad SAW.
“Dalam hadist Rasulullah mengatakan
bahwa Allah SWT dan Rasulullah melaknat
penyuap dan yang disuap,” ungkap Din.
Yang harus dilakukan dalam mencegah
terjadinya politik transaksional tersebut, katanya, yaitu bagaimana
mensosialisasikan kepada masyarkat, khususnya umat Islam, agar mau mengubah
politik transaksional yang bersifat uang tersebut.
“Jika praktek politik transaksional ini
meluas, dan terus dilakukan, maka laknat Allah SWT akan menimpa perangkat
kehidupan di negeri ini,” tegas Din.
Di hadapan peserta Munas Tarjih, ia mengatakan
Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah perlu membuat panduan yang bisa
dijadikan rujukan masyarakat dalam memandang persoalan yang sudah meluas di tengah
masyarakat.
“Fatwa, rekomendasi, seruan, saya kira
relevan dikeluarkan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah,” kata Din.
Munas Tarjih Muhammadiyah dibuka secara
resmi oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir, pada Rabu
pagi, 24 Januari 2018. Acara pembukaan dihadiri Ketua Umum Majelis Ulama
Indonesia (MUI) Sulsel KH Sanusi Baco, Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah
Sulsel Prof Ambo Asse, Gubernur Sulsel, Pangdam XIV/Hasanuddin, Kapolda Sulsel,
Rektor Unismuh Makassar Dr Abdul Rahman Rahim, serta sejumlah undangan lainnya
bersama para peserta Munas dari seluruh Indonesia. (win)