WISATA MANGROVE. Kota Makassar rupanya punya potensi wisata mangrove. Letaknya di Kelurahan Bira, Kecamatan Tamalanrea, sisi kiri jalan tol jika kita dari arah kota. Untuk menemukan lokasinya terbilang mudah. Ada plang nama bertuliskan Mangrove Center Makassar, Lantebung, sebagai penunjuk, begitu kita memasuki wilayah Bira.
---------
PEDOMAN KARYA
Jumat,
02 Maret 2018
Kota Makassar
rupanya punya potensi wisata mangrove. Letaknya di Kelurahan Bira, Kecamatan
Tamalanrea, sisi kiri jalan tol jika kita dari arah kota. Untuk menemukan
lokasinya terbilang mudah. Ada plang nama bertuliskan Mangrove Center Makassar,
Lantebung, sebagai penunjuk, begitu kita memasuki wilayah Bira.
Hutan bakau di
sini memanjang sekira dua kilometer ke laut lepas, tepat menghadap ke Selat
Makassar. Meski terkesan luas, namun kawasan yang diapit Sungai Tallo dan
Sungai Maros ini masih butuh penanaman lagi.
Selmi, penyuluh
perikanan dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kota Makassar, mengatakan, untuk
ketebalan hutannya, mereka masih butuh penanaman.
“Kami butuh
pengembangan lagi kira-kira 100 meter sampai di surut terendah,” jelas Selmi.
Kehadiran hutan
bakau sangat dirasakan manfaatnya oleh warga Bira yang sebagian besar hidup
sebagai nelayan. Apalagi setelah dibangunnya jalur tracking sepanjang 270
meter. Di jalur ini para nelayan memanfaatkannya untuk menambatkan
perahu-perahu mereka.
Jalur jalan
menuju pantai ini terlihat kontras karena dicat warna-warni. Sehingga
pengunjung bisa menikmati pemandangan pantai dan hutan bakau dengan leluasa.
Jalur ini dilengkapi juga dengan Pondok Informasi dan sebuah gazebo. Pengunjung
bisa memanfaatkan kedua tempat ini untuk duduk-duduk beristirahat atau sebagai
spot foto.
Pengembangan mangrove di kawasan ini, menurut Saraba yang giat memotivasi warga untuk menanam bakau dan mengembangkan aspek ekonomi dari hutan bakau di kampungnya, sudah cukup lama.
Sayangnya,
pengembangan mangrove masih digarap secara swakelola. Belakangan mendapat
pembinaan dari DKP Kota Makassar.
Setelah itu, ada
program dari IFAD yang melakukan pendampingan dan pemberdayaan masyarakat, termasuk
memfasilitasi pembentukan kelompok usaha bersama (KUB). Ada KUB nelayan
rajungan, KUB nelayan bakau dan KUB nelayan kepiting. Ada juga Pokdakan, yakni
kelompok tani tambak.
“Warga antusias
ikut kegiatan karena mereka sadar ini masa depan kampung saya. Jadi yang semula
mereka menebang bakau, sekarang malah menanam dan ikut merawatnya,” kisah
Saraba.
Pengumpul Kepiting
Bakau boleh
dikata merupakan rumah yang nyaman bagi kepiting. Karena kepiting dipengaruhi
oleh kehadiran bakau. Di sanalah tempat kepiting rajungan itu bertelur dan
berkembang biak.
“Erat kaitan
antara mangrove dengan karang. Tempat bertelur di mangrove, pembuahannya di
terumbu karang,” kata Saraba.
Selain itu,
fungsi mangrove juga untuk menahan abrasi dan menghisap limbah-limbah kiriman
dari kapal dan lain-lain.
Ibu Hasnah,
Ketua Poklahsar Bina Lestari, menjelaskan ada dua Poklahsar atau Kelompok
Pengolahan dan Pemasaran yang sudah dibentuk.
Pertama,
Poklahsar Bina Lestari, dengan usaha kacang kepiting krispi, kerupuk bandeng,
kepiting kambu, ikan kambu. Kedua, Poklahsar Insan Mandiri, dengan usaha
kerupuk kepiting, abon kepiting, kue nastar kepiting.
Di Bira ini, ada pengumpul kepiting yang tergabung dalam Kelompok Melati. Kepiting yang tidak masuk kategori ekspor karena ukurannya di bawah 15 cm kemudian diolah menjadi berbagai penganan yang gurih dan enak.
Untuk keperluan
ekspor ukuran kepiting berada pada kisaran 15-25 cm. Pada musim kepiting, yakni
bulan April-Mei, per orang bisa peroleh 7 kilogram dalam 1 kali tarik.
Sementara dalam sehari dia bisa 2 kali tarik. Jadi minimal bisa dapat 10
kilogram.
Kini manfaat
mangrove sangat dirasakan karena sudah membantu
peningkatan ekonomi warga. Kawasan ekowisata mangrove Lantebung ini masih
diharapkan untuk dikembangkan. Masih butuh beberapa spot menarik agar orang
tertarik ke daerah ini. Apalagi sekarang era selfie di medsos akan sangat
membantu promosi kawasan bakau ini.
“Kami berencana
membuat jalur track di tengah-tengah hutan bakau, biar pengunjung bisa berjalan
sambil menikmat bunyi dan suara-suara burung. Lebih mengasyikkan lagi kalau
nanti ada kafe di sela-sela hutan bakau ini,” harap Saraba.
Impian Saraba
dan warga di kawasan mangrove Lantebung perlu didukung oleh Dinas Pariwisata Kota
Makassar, serta pelaku usaha lainnya melalui berbagai program pemberdayaan
masyarakat. (rusdin tompo)