"Ketika saya tiba di depan masjid, seorang anak muda yang baru seusia anak SMA keluar dari rumah. Tanpa ABC, dia langsung menyerahkan hape saya. Alhamdulillah. Saya senang menemukan kembali hape saya, bukan soal harganya tapi banyak data di dalamnya yang sangat penting bagi saya." (Foto: Haidir Fitra Siagian)
-------
PEDOMAN
KARYA
Ahad,
22 Juli 2018
Karena Saya
Orang Mandar
Oleh:
Haidir Fitra Siagian
(Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin
Makassar)
Hampir tidak ada yang tahu celah negatif
seorang almarhum Prof Baharuddin Lopa, mantan Menteri Kehakiman era Presiden
Abdurrahnan Wahid. Sebaliknya, yang banyak adalah kita ketahui dari berbagai
literatur tentang kejujuran dan keberanian beliau. Juga keseriusan dan
kesederhanaannya.
Suatu ketika, seorang wartawan pernah
bertanya kepada almarhum. Mengapa begitu jujur dan berani? Singkat saja
jawabannya saat itu : “Karena saya orang Mandar!”
Siapa orang Mandar itu? Dalam satu
kesempatan, mantan Camat Sendana Majene, Irhamnia Muis Mandra, mengatakan bahwa
yang dimaksud dengan orang Mandar adalah orang yang sudah pernah tinggal di Tanah
Mandar, makan makanan orang Mandar, dan meminum airnya tanah Mandar, maka itu
berhak mengaku sebagai orang Mandar.
Tetapi tidak berhenti sampai di situ.
Orang Mandar adalah orang jujur dan berani dalam kebenaran, menghormati
nilai-nilai budaya, kesopanan, dan pengamalan ajaran-ajaran agama Islam. Jadi,
sesungguhnya inilah ciri khas orang Mandar yang dapat membedakannya dengan
orang lain dari budaya yang berbeda.
Tentang kejujuran orang Mandar, ada tiga
kasus yang akan saya utarakan di sini. Baik yang tidak terkait dengan saya,
maupun yang terkait dengan saya, yang baru saja kualami.
Kisah pertama, sekitar tahun 2002,
terjadi kecelakaan mobil mewah yang ditumpangi oleh pejabat penting dari
Kabupaten Bulukumba bersama keluarganya. Mobil tersebut meluncur ke sungai di
Kecamatan Sendana. Tenggelam hingga ke dasar sungai. Tak lama kemudian, warga
datang beramai-ramai hendak membantu.
Karena memang sungai cukup dalam, jadi
terdapat kesulitan dalam mengevakuasi korban. Singkat cerita, semua korban
dapat dikeluarkan dari mobil. Innalillahi wainna ilaihi raji’un. Jika tidak
salah ingat, semua penumpang mobil itu meninggal dunia. Kira-kira 4-5 orang
terdiri dari ayah yang seorang pejabat penting, istrinya, anaknya, dan
sopirnya.
Setelah itu, semua korban dibawa kembali
ke Bulukumba. Beberapa waktu kemudian, datanglah perwakilan keluarga korban
menemui warga desa setempat. Mengucapkan terima kasih karena telah membantu
mengevakuasi korban.
Hal yang paling indah kedengaran adalah
menurut pihak keluarga, semua harta: perhiasan, emas, uang, jam tangan, dan
lain-lain utuh ditemukan, tak ada satu pun yang hilang. Satu rupiah pun. Satu
kejujuran orang Mandar!
Kisah kedua, sekitar lima tahun lalu di
sebuah rumah sakit di kota Majene. Seorang ibu dari keluarga yang cukup berada
dirawat dalam satu kamar kelas. Setelah sembuh, mereka pulang dengan membawa
semua barang-barangnya. Lalu seorang anak muda yang baru menikah, yang berprofesi
sebagai petugas kebersihan, menemukan sebuah tas perempuan, yang ternyata
berisi uang puluhan juta rupiah. Lalu sang anak muda ini justru melaporkan
keberadaan tas itu kepada pimpinan rumah sakit.
Singkat cerita, sang pemilik tas
tersebut dipanggil. Dia menghitung uangnya yang tertinggal bersama tasnya.
Lengkap, tak ada selembar pun yang hilang. Lalu dia ingin memberikan sebagian
uang sebagai hadiah kepada anak muda yang pertama kali menemukan tas tersebut.
Ternyata anak muda itu menolaknya.
“Saya tidak ingin mendapat hadiah. Yang
penting uangnya kembali dalam keadaan lengkap, saya sudah senang,” kata anak
muda tersebut.
Kisah kejujuran yang ketiga, ini saya
alami sendiri, hari ini Sabtu, 21 Juli 2018. Ketika saya hendak shalat dhuhur,
saya sengaja mencari masjid kampung yang jauh dari kota Malunda. Sekitar lima
kilometer saya naik motor mencari masjid. Akhirnya saya dapati masjid mungil nan
sederhana.
Walaupun waktu dhuhur sudah masuk, tidak
ada orang yang datang. Karena memang agak sunyi keadaan sekitarnya. Saya adzan
sendiri, iqamah sendiri, dan shalat pun sendiri.
Setelah shalat, saya kembali ke rumah
lagoku (ipar dari isteri, red) tempat saya nginap di Malunda. Setelah makan
siang dengan ibu mertua, saya merasa ada sesuatu yang janggal.
Mana hape saya? Cari sana sini tidak
ditemukan. Coba dipanggil, ada nada dering tapi tak dijawab. Saya sudah agak
pasrah. Mungkin terjatuh di jalanan. Tapi kok masih ada nada dering. Mungkin
tertinggal di masjid yang kosong itu?
Satu jam lebih mencari dalam rumah, tak
ditemukan. Alhamdulillah, tiba-tiba hape adik yang dipakai memanggil tadi
bunyi. Tampak dalam layar namaku. Ternyata betul, seseorang telah menemukan
hapeku dalam masjid. Dia meminta saya datang mengambilnya, di rumah persis
samping masjid.
Ketika saya tiba di depan masjid,
seorang anak muda yang baru seusia anak SMA keluar dari rumah. Tanpa ABC, dia
langsung menyerahkan hape saya. Alhamdulillah. Saya senang menemukan kembali
hape saya, bukan soal harganya tapi banyak data di dalamnya yang sangat penting
bagi saya.
Lebih dari itu, saya justru lebih senang
lagi. Karena baru saja menemukan mutiara Mandar. Anak muda Mandar yang jujur
atas nama agama dan budaya. Anak muda yang masih memegang teguh kehormatan.
Kehormatan orang Mandar sebagaimana diperpegangi orang tua kita, almarhum Baharuddin
Lopa. Wassalam.
Malunda,
Majene, Sabtu sore, 21 Juli 2018