“Kita harus berani mengakui bahwa UU Pendidikan Kedokteran Tahun 2013 yang seyogyanya dimaksudkan untuk menjaga mutu pendidikan kedokteran, ternyata telah menimbulkan gejolak disana-sini dan menunjukkan ketidakharmonisan dengan peraturan perundang-undangan lainnya.”
- dr Mahmud Ghaznawie SpPA PhD -
(Ketua AIPKI/Asosiasi Institusi Pendidikan
Kedokteran Indonesia, periode 2017-2019)
--------
Kamis, 02 Agustus 2018
MAKASSAR, (PEDOMAN KARYA). Forum
Dekan Fakultas Kedokteran (FK) se-Indonesia menyambut baik rencana revisi
Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2013, tentang Pendidikan Kedokteran , karena
undang-undang tersebut telah menimbulkan gejolak di kalangan dunia kedokteran,
khususnya perguruan tinggi yang memiliki fakultas kedokteran.
“Kita
harus berani mengakui bahwa UU Pendidikan Kedokteran Tahun 2013 yang seyogyanya
dimaksudkan untuk menjaga mutu pendidikan kedokteran, ternyata telah menimbulkan
gejolak disana-sini dan menunjukkan ketidakharmonisan dengan peraturan
perundang-undangan lainnya,” kata Ketua Asosiasi Institusi Pendidikan
Kedokteran Indonesia (AIPKI) periode 2017-2019, dr Mahmud Ghaznawie SpPA PhD,
kepada wartawan di Makassar, Kamis, 02 Agustus 2018.
Mahmud
Ghaznawie yang sehari-hari menjabat Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, mengatakan, ciri lex specialis pendidikan kedokteran, yang menjadi landasan
diperlukannya UU yang khusus mengatur pendidikan kedokteran tersebut, belum
terakomodasi dalam UU Pendidikan Kedokteran Tahun 2013.
Bahkan justru
berbagai isu yang kontraproduktif telah muncul sejak disahkannya UU Pendidikan
Kedokteran 2013, antara lain isu DLP
(Dokter Layanan Primer), isu Uji Kompetensi menjadi exit exam dan merupakan satu-satunya penentu kelulusan, serta penghapusan
ijazah dokter yang kemudian diganti sertifikat profesi.
“Program
DLP telah menimbulkan kontroversi yang berkepanjangan antar-berbagai pemangku kepentingan, dan
juga telah menguras tenaga dan pikiran, serta biaya. Kita harus berani meninjau ulang apa yang pernah
disepakati. Kalau seandainya itu lebih banyak mudharat dibandingkan manfaatnya,
kita harus dengan hati lapang meninjau kembali,” tegas Mahmud.
Penggantian
ijazah dokter menjadi sertifikat profesi, katanya, hanya karena program profesi
dokter (rotasi klinik) dianggap sebagai pendidikan profesi murni tanpa melihat
substansi proses pendidikan yang terjadi, tentu sangat merugikan peserta didik.
“Penggunaan
Uji Kompetensi sebagai exit exam dan
merupakan satu-satunya penentu kelulusan juga menimbulkan masalah dan menjadi
pertanyaan besar pagi para pendidik, karena hal tersebut tidak sesuai dengan
kaedah-kaedah pendidikan,” kata Mahmud.
Dia
mengatakan, dukungan terhadap rencana revisi UU Pendidikan Kedokteran juga
telah ia sampaikan dalam sambutan tertulisnya pada Pertemuan Forum Dekan FK
se-Indonesia, di Hotel Best Western Plus, Kemayoran, Jakarta, 29-30 Juli 2018.
“Saya
juga sudah menyampaikan secara tertulis dukungan terhadap usulan revisi Undang-Undang
Pendidikan Kedokteran pada Pertemuan Forum Dekan FK se-Indonesia, di Jakarta,
akhir Juli kemarin,” kata Mahmud. (zak)