“Setahun setelah menikah, selagi masih berstatus mahasiswa pada tahun 1977, sebagai wartawan saya mengikuti lokakarya tentang Keluarga Berencana (KB) di Hotel Marjan, Jl Masjid Raya (di depan Kampus Unhas Baraya) Makassaru.”
- M Dahlan Abubakar -
(Ketua
Ikatan Penulis Keluarga Berencana Sulsel)
---------
PEDOMAN
KARYA
Senin,
15 Oktober 2018
Merencanakan Keluarga Berencana
(Catatan Tercecer Hari Kontrasepsi se-Dunia)
Oleh: M. Dahlan Abubakar
(Ketua
Ikatan Penulis Keluarga Berencana Sulsel)
Memperingati
Hari Kontrasepsi se-Dunia, Oktober 2018, rasanya menarik juga jika saya ungkit
dan ungkap kembali perihal ber-Keluarga Berencana (KB) pasangan saya hampir 40
tahun silam ini. Meskipun benar-benar lestari, namun saya dan istri tidak
pernah memperoleh penghargaan sebagai pasangan KB Abadi yang lazim diberikan
pada masa itu. Mungkin soal administrasi saja, sebab dipasang alat
kontrasepsinya di Rumah Sakit Umum Dadi waktu itu. Jadi, tidak ada catatan
yuridis ber-KB.
Setahun setelah
menikah, selagi masih berstatus mahasiswa pada
tahun 1977, sebagai wartawan saya mengikuti lokakarya tentang Keluarga
Berencana (KB) di Hotel Marjan,
Jl Masjid Raya (di depan Kampus Unhas Baraya) Makassar.
Lokakarya itu
diselenggarakan oleh Kantor Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional – kini
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Provinsi Sulawesi
Selatan. Kepala BKKBN Sulsel waktu itu, Drs.H.Abd. Hakim, seorang pria yang
meskipun dengan usia di atas kepala enam,
masih mampu berkeliling ke sejumlah daerah di Sulawesi Selatan.
Mengendarai
mobil Toyota kanvas DD 9 H warna hijau, saya–beberapa tahun kemudian–menjadi satu-satunya wartawan
yang selalu diajak berkeliling hingga ke Mangkutana melintasi Tana Toraja,
maupun ke Polewali Mamasa.
Bermodalkan
pengetahuan ber-KB melalui lokakarya tersebut plus istri yang pegawai negeri
sipil (PNS) di Departemen (Kementerian) Kesehatan, dua tahun setelah menikah dan
memiliki dua anak (satu laki-laki
dan satu perempuan), saya meminta “mantan pacar” menjadi akseptor KB.
Saya pikir, jika
tidak ber-KB, boleh jadi saban tahun istri akan melahirkan. Sebab, anak pertama
pria lahir 20 Mei 1978,
dan momongan kedua perempuan lahir 28 September 1979. Bayangkan saja, jika
tidak dikendalikan, boleh jadi selama 20 tahun istri saya akan menghadirkan
tiga tim bola voli. Wow!
Alat kontrasepsi
(alkon) yang dipilih adalah intrauriner
device (IUD) atau alat kontrasepsi dalam rahim. Saya meminta istri memilih
alkon ini karena dianggap aman dan tidak berisiko. Biar pun saya tetap
melaksanakan tugas sebagai seorang suami, “situasi” akan aman dan
terkendali terhadap kemungkinan hadirnya anak ketiga dan seterusnya.
Setelah 40 hari
melahirkan anak kedua, istri akhirnya resmi menjadi akseptor KB yang alkonnya
dipasang di RSU Dadi Ujungpandang (Makassar), tempat dia bekerja. Hingga kini
alkon itu berusia 39 tahun. Saya tidak pernah bertanya kepada istri, apakah “barang” itu masih ada.
Selama 40 tahun
terakhir, Program Kependudukan Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga
(KKBPK) secara signifikan telah mampu menurunkan angka kelahiran rata-rata 5,6
anak per wanita usia subur pada tahun 1960-an menjadi 2,6 pada tahun 2012.
Berdasarkan
hasil Survei Demografi dan Kependudukan Indonesia (SDKI) tahun 2012, angka kelahiran total (total fertility rate –TFR) secara nasional cenderung menurun dari
2,6 menjadi 2,4 anak per perempuan usia reproduksi.
Angka ini belum
sepenuhnya mencapai sasaran pembangunan bidang kependudukan dan KB yang 2,33
sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, tetapi
menunjukkan capaian yang lebih baik dari tahun sebelumnya.
Angka penggunaan
kontrasepsi pun mengalami peningkatan dari 61,9% (SDKI 2012) menjadi 63,6%
sesuai laporan pendahuluan SDKI 2017.
Sementara
peserta KB aktif per April 2018,
meningkat sebanyak 607.252 dibandingkan peserta aktif pada periode yang sama
tahun 2017. Yang juga perlu mendapat perhatian, jumlah pasangan usia subur
(PUS) yang tidak ber-KB cenderung meningkat 12.291.530 per April 2017 menjadi
13.268.760 per April 2018. Tentu saja keberhasilan pencapaian program KKBPK
sangat ditentukan oleh partisipasi masyarakat.
Selain kesadaran
sendiri dan seorang pekerja, istri menjadi akseptor KB karena membayangkan
kemungkinan sulitnya mendidik anak lantaran kami bekerja. Ketika usia 1 sampai
2 tahun dengan dua anak, pengasuhan masih dipercayakan kepada neneknya.
Ketika neneknya
berpulang ke rakhmatullah tahun 1983, saat anak laki-laki berusia 5 tahun dan perempuan 4
tahun, kami mulai merasakan kesulitan memelihara dua momongan itu. Solusi
sementara, karena keduanya belajar di Taman Kanak-Kanak di dekat rumah kakak
istri, jadilah kediamannya sebagai “rumah
tunggu”. Kondisi ini
berlangsung hingga keduanya tamat SMP karena ketika dijenjang SMA kami sudah
pindah ke timur kota dan anak-anak sudah mulai dapat mengurusi dirinya sendiri.
Setelah kedua
anak kami menikah, ternyata mereka juga mengikuti jejak orangtuanya. Juga
menjadi akseptor KB. Yang pria memiliki dua anak, laki dan perempuan, sementara
yang perempuan juga memiliki dua anak, meskipun semua perempuan.
Anak pria yang
beberapa tahun silam berpisah dengan istrinya, akhirnya memutuskan menikah lagi
September 2017. Kini (per 14 Juli 2018) dia memiliki dua anak laki-laki, istrinya
melahirkan kembar.
Ketika pada
tahun 1989 Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat bekerja sama dengan BKKBN
Pusat menyelenggarakan Lomba Karya Tulis KB Lingkaran Biru, saya pun
iseng-iseng ikut mengirim tulisan ke panitia.
Saya sudah lupa
judul tulisan itu, tetapi isinya menceritakan bagaimana saya mendorong istri
saya memasang alkon, setelah sebelumnya mengungkapkan proses merencanakan
keluarga berencana. Tulisan saya ini ternyata mampu “membius” para juri hingga
meraih juara I dan hadiahnya diserahkan bertepatan dengan Hari Pers Nasional
(HPN) di Ujungpandang tahun 1990.
Saya masih ingat
ketika itu menulis bahwa kami tidak saja merencanakan jumlah dua anak cukup,
tetapi juga “mengatur” jenis kelamin anak
kami. Ketika anak pertama laki-laki lahir, maka “rumus”
yang diterapkan memperoleh anak tersebut dibalik (diubah) untuk memperoleh anak
perempuan. Ternyata resep yang kami gunakan itu mujarab. Saya membagi resep ini kepada sedikitnya 5 atau 6
orang teman pria yang akan menikah dengan obsesi ingin memiliki anak pertama
laki-laki.
Ketika usai
mengikuti Lokakarya Wartawan Kebudayaan yang menghadirkan pembicara Rosihan
Anwar (alm.) di Hotel Raodah Jl.Chairil Anwar, seorang wartawati Surabaya Pos yang juga salah seorang
peserta mengungkapkan rencana pernikahannya kepada saya sambil mengatakan.
“Lan,
saya menikah tahun depan, apa kadonya?”
katanya bernada kelakar.
“Apa
ya, tapi jika Anda mau saya ingin memberi sesuatu,” jawab saya yang tentu
saja membuatnya penasaran.
“Apa
itu?” dia juga penasaran dan
balik bertanya.
“Saya
ingin bertanya, jika menikah, Anda ingin anak laki-laki atau perempuan,” tanya saya.
“Saya
ingin anak perempuan!” jawabnya
yang membuat saya jadi sedikit kurang percaya diri.
Pasalnya, resep
yang saya gunakan ketika menginginkan anak perempuan belum diujicobakan oleh
pria lain pada istrinya. Rata-rata mereka meminta anak laki-laki.
“Tetapi
resep saya ini baru dipraktekkan
sendiri, belum oleh orang lain. Namun demikian, insha Allah, dicoba saja,” ujar saya sembari
menjelaskan resep tersebut.
Komunikasi kami
tidak pernah tersambung setelah teman
itu menikah. Nanti ketika saya ke Surabaya, dia mengajak menginap di rumahnya.
Saat datang ke hotel menjemput, pertanyaan saya yang pertama adalah perihal
hasil resep yang diberikan tiga tahun sebelumnya.
“Bagaimana
you punya anak pertama, laki atau
perempuan?” tanya saya.
“Ya,
sesuai dengan yang saya sampaikan kepada Anda dulu kan? Perempuan!” sahutnya.
“Syukur
dan mujur, saya tidak dianggap sebagai dukun palsu,” ujar saya sembari
terkekeh. (*)