SWAFOTO. Penulis (kiri) berswafoto bersama Franky Weno, di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, pada 23 Desember 2017. Franky Weno yang mantan pemain PSM Makassar, meninggal dunia Kamis, 11 Oktober 2018. (Foto: M Dahlan Abubakar)
------
PEDOMAN KARYA
Jumat, 12 Oktober 2018
Selamat
Jalan Franky Weno, Bangkeng Tongolo’-na
PSM
Kamis, 11 Oktober 2018,
saya membaca postingan rekan Yopie Lumoindong di akun Facebook yang
mengawalinya dengan kata Rest In Preace (RIP) lalu diikuti nama Franky Weno.
Nama ini pernah saya rilis di ruang ini pada 23 Desember 2017.
Hari itu, saya baru
saja kembali dari meninjau Kampung KB pertama diresmikan Presiden Joko Widodo,
di Kota Cirebon, dan bertemu Franky di Bandara Halim Perdanakusuma Jakarta. Dia
juga ke Makassar saat magrib, dan kami bertemu sekitar pukul 19.15 WIB. Saya
mengangkat kembali tulisan menjelang tutup tahun 2017 setelah dipermak
seperlunya.
Lelaki berkumis ini
sudah puluhan tahun tidak pernah saya jumpa. Namanya selalu saya ingat bila
mata ini mencari buku di rak-rak perpustakaan pribadi di rumah. Namanya kerap
terkenang, saat mata saya menyapu satu jejer buku tentang operasi dan kisah
spionase dari sejumlah negara.
Di antara deretan buku
itu, ada satu buku warna merah setebal 300-an halaman yang ditulis oleh seorang
perwira intelijen Israel, Mossad, yang di akhir kariernya memilih kabur dari
negara Yahudi itu. Dia akan menjadi orang yang paling dicari pemerintah Yahudi,
karena buku kisah hidupnya telah menelanjangi proses rekrutmen hingga
pendidikan, latihan, praktik, dan teknik operasi seorang anggota Mossad.
Buku yang ditulis oleh
seorang yang namanya sangat sulit saya ingat karena mungkin nama buatan dan
samaran, saya pinjamkan ke Franky Weno dalam pelayaran Tanjung Perak
Surabaya-Pelabuhan Soekarno Makassar. Kami waktu itu sama-sama mengikuti Pekan
Olahraga Mahasiswa Nasional (POMNas) di Yogyakarta tahun 1991.
Dia termasuk salah
seorang pemain sepakbola. Posisinya sebagai bek, ketika di PSM, saya juluki dia
dan almarhum Hafid Ali sebagai Bangkeng
Tongolo’ (kaki goblok).
Tanggal 23 Desember
2017 malam, di ruang tunggu Bandara Halim Perdanakusuma Jakarta, tiba-tiba saja
seorang berkulit gelap duduk dan berbincang-bincang dengan seorang temannya
dengan postur dan warna kulit sama dengan dia. Saat saya duduk setelah usai
salat magrib gabung isya, temannya bangun dan berpindah tempat. Kemudian saya
tahu dari dia, pergi merokok.
Saya bangun dan maju
dua langkah ke depannya dam duduk di kursi kosong di sampingnya. Saya
memberanikan diri menyapanya. “Maaf, apakah bapak ini.....ya?” tanya saya
sembari menyebut namanya lengkap, yang membuat dia beralih pandang ke arah saya
dengan pandangan selidik.
Mata kami saling tatap.
“Iya,” jawabnya pendek. Pandangannya mengisyaratkan dia menduga-duga siapa
gerangan yang mengusik keasyikannya ini. Tak mau berlama-lama membuatnya
penasaran, saya pun menyebut nama. Dia langsung merangkul saya dengan akrab
begitu mendengar nama disebut. Saya pun menonjok perutnya pelan.
“Saya selalu ingat nama
Anda jika melihat buku spionase itu di rumah,” kata saya.
Dia pun berkisah kalau setelah
pension sebagai pemain sepakbola di Jakarta selalu ke Senen mencari buku.
Ternyata dia penggemar buku spionase. Ketika saya menyebut “The Lady
Conspiration”, buku tentang kisah konspirasi pembunuhan berencana atas Lady
Diana yang diskenariokan oleh badan intelijen lima negara (Inggris, Israel,
China, AS, dan Prancis), dia langsung nyeletuk kalau sudah membacanya separuh.
Franky Weno terakhir
main di PSM, saat PSM keluar sebagai juara Perserikatan PSSI tahun 1992. Dia
cedera waktu itu, tapi diterbangkan juga ke Jakarta sebagai penggembira oleh
Pak Ande Latief yang jadi gembong suporter PSM bermarkas di Jl Mappanyukki,
Makassar.
Kini, setelah meraih
sarjana teknik sipil di UKI Paulus Makassar, dia bekerja sebagai kontraktor di
Jakarta. Sekali sebulan dia diberi cuti oleh kantornya untuk menjenguk
keluarganya di Blok 1 Perumnas Antang, Makassar.
“Saya sering joging
pagi lewat di dekat rumah Anda,” kata ayah dua anak bernama lengkap Franky Weno
ini.
Kini, sosok itu telah
tiada. Hanya tinggal nama. Dia memang pernah memberitahu saya, kalau dirinya pernah
terserang stroke ringan, dan itu cukup membuatnya berhati-hati dalam mencicipi
menu yang bisa saja berpotensi kembali menyerang dirinya.
“Hati-hati Frank jika
mencicipi menu,” pesan saya waktu itu dan ternyata kata paling buntut dalam
jumpa terakhir kami seminggu sebelum tutup tahun itu.
Selamat jalan kawan.
Semoga engkau tenang di sana. Aamiin!!!! (*)