MASYARAKAT ADAT. Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi, tampil sebagai pembicara utama pada Workshop Penelitian Masyarakat Adat, di Ruang Senat Kampus Universitas bosowa (Unibos) Makassar, Kamis, 06 Desember 2018. (ist)
-----
Sabtu, 08 Desember 2018
Artefak
Masyarakat Adat Indonesia Banyak Dibawa ke Luar Negeri
MAKASSAR,
(PEDOMAN KARYA). Artefak masyarakat adat Indonesia yang
seharusnya dijaga dan dirawat di Indonesia, justru banyak yang dibawa ke luar
negeri. Artefak-artefak tersebut mudah ditemukan pada berbagai museum di
Amerika, di Amsterdam (Belanda), dan museum-museum mancanegara lainnya.
“Penakluk
masyarakat adat ialah negara, modal, dan agama. Contohnya ketika agama Kristen
masuk ke Toraja, mereka melarang upacara adat seperti upacara penyembuhan,
upacara pengusiran hama, bahkan pembuatan artefak. Artefak, katanya, harus
dibakar padahal tidak dibakar tapi dibawa pulang ke negaranya. Coba ke Amerika,
Amsterdam, tengok museumnya. Pasti ada,” ungkap Sekjen AMAN (Aliansi Masyarakat
Adat Nusantara), Rukka Sombolinggi.
Hal
itu ia ungkapkan saat menjadi pembicara utama pada Workshop Penelitian
Masyarakat Adat yang bertajuk Beyond Native: Trajectory of Indigenous
Perspective in International Relations, Studium Generale yang bertajuk Voice of
Global Indigeneity: Recognizing the Struggle of Indigenous People in Indonesia,
di Ruang Senat Kampus Universitas bosowa (Unibos) Makassar, Kamis, 06 Desember 2018.
Workshop
dan diskusi yang diselenggarakan oleh Program Studi Hubungan Internasional (HI)
Unibos Makassar, juga dirangkaikan dengan Seri Kuliah Tamu yang mengusung tema “Mendengarkan
Pasang Ri Kajang.”
“Terminologi
masyarakat adat itu sendiri lahir ketika para ketua dari setiap masyarakat adat
yang ada, bermusyawarah untuk menentukan istilah penyebutan mereka sebagai
korban pembangunan negara saat itu,” ungkap Rukka.
Karena
masyarakat adat ini beragam atau bermacam-macam, lanjut perempuan asal Toraja
itu, maka istilah masyarakat adat jadi sulit didefinisikan.
“Ini
menjadi tugas negara untuk menentukan definisi sesuai situasi dan kondisi
negara masing-masing. Di Indonesia pun tidak ada definisi mengenai masyarakat
adat,” kata Rukka.
Selain
Rukka Sombolinggi, panitia menampilkan Eko Rusdianto yang seorang jurnalis dan
peneliti serta memiliki pengalaman dalam hal masyarakat adat, sebagai penanggap,
sementara Arman Muhammad dan Sardi Razak menjadi fasilitator kegiatan.
Untuk
seri kuliah tamu, panitia menghadirkan Topo, Perwakilan Masyarakat Adat Ammatoa
Kajang, Kabupaten Bulukumba. (ima)