Saat ini penduduk Indonesia hampir mencapai 300 juta jiwa orang. Jika rakyat Indonesia yang membeli petasan diambil dengan jumlah minimal misalnya, sebanyak seratus juta orang. Jika rata-rata per orang mengeluarkan uang untuk membeli petasan sebesar Rp50.000,00, maka akan diperoleh jumlah sebanyak Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah).
--------
PEDOMAN KARYA
Ahad, 30 Desember 2018
Menyelamatkan Uang Rakyat dari Pembakaran Satu Malam
Oleh: Haidir Fitra Siagian
Dalam perkuliahan
terakhir semester ganjil (Jum’at, 28 Desember 2018) dengan para mahasiswaku,
saya bertanya: apakah mereka tahun lalu
ikut merayakan pergantian tahun dengan menyalakan petasan dan kembang api?
Dari 37 mahasiswa yang
hadir, semua menjawab ikut. Berapa anggaran yang dipakai untuk membeli petasan
tersebut? Nominalnya bervariasi. Ada yang menjawab dua puluh ribu, ada yang
lima puluh ribu, ada juga yang menjawab seratus ribu rupiah. Seorang mahasiswa
yang berjilbab biru menjawab dengan nilai yang membuat saya kaget bukan main.
Satu juta rupiah. Sekali lagi, satu juta
rupiah.
Jika dirata-ratakan
jumlahnya, maka saya ambil nominal Rp50.000,00 per mahasiswa menggunakan
uangnya membeli petasan dan kembang api tahun lalu. Kalau dikalikan dengan 37
orang mahasiswa, maka diperoleh nilai Rp1.850.000,00 atau satu juta delapan
ratus lima puluh ribu rupiah. Artinya apa, ada uang sebanyak itu dibakar oleh
37 mahasiswa dalam satu malam untuk menyambut tahun baru.
Sebagai perbandingan, bulan
Oktober lalu, saya memprovokasi para mahasiswaku tersebut untuk menyumbang
korban bencana alam di Palu dan Donggala. Diperoleh dana sekitar Rp1.300.000,00
(satu juta tiga ratus ribu rupiah), dari seluruh mahasiswa di kelas tersebut
dengan sistem sukarela atau tanpa ditentukan nominalnya.
Dengan demikian dapat
dilihat bahwa, jumlah uang yang mereka bakar dengan membeli petasan dan kembang
api untuk merayakan tahun baru dalam satu malam, lebih banyak dari jumlah
sumbangan mereka untuk misi kemanusiaan.
Manakala kita coba
perbandingkan dengan jumlah rakyat Indonesia yang merayakan pergantian tahun
dengan menyalakan petasan dan kembang api, maka jumlahnya tentu akan jauh lebih
banyak lagi.
Saat ini penduduk
Indonesia hampir mencapai 300 juta jiwa orang. Jika rakyat Indonesia yang membeli
petasan diambil dengan jumlah minimal misalnya, sebanyak seratus juta orang.
Jika rata-rata per orang mengeluarkan uang untuk membeli petasan sebesar Rp50.000,00,
maka akan diperoleh jumlah sebanyak Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah).
Jadi dapat dibayangkan
pada tahun lalu, jumlah uang yang dibakar di negeri ini untuk satu malam minimal
adalah sebanyak lima triliun rupiah. Angka yang sangat fantastis dan luar
biasa.
Hebat benar kita bangsa
Indonesia bangga membakar uang sebanyak itu dalam satu malam. Apakah ini dapat
diartikan bahwa tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia sudah meningkat? Apakah
bangsa kita sudah maju, modern dan setara dengan bangsa-bangsa lain, sehingga
tak merasa merugi jika ikut membakar uang sebanyak itu?
Tentu itu semua
disebutkan atas nama hiburan, kebebasan, mengikuti perkembangan masyarakat
dunia, sekedar refreshing, hanya sekali-sekali, suka-suka, uangku adalah
urusanku, bukan urusanmu, dan seterusnya.
Masih banyak argumen
lain dari berbagai pihak untuk membenarkan tindakan tersebut. Bahkan banyak
diantara kita yang senang dan bangga. Para orang tua, tak segan-segan
menggelontorkan uang ratusan ribu untuk membeli petasan. Alasannya supaya
anak-anaknya senang dalam satu malam.
Tidak kurang pemerintah
daerah menganggarkan dana dari APBD atau APBN, untuk melakukan pesta perayaan
tahun baru. Memang tidak ada tertulis anggaran membeli petasan dan kembang api.
Yang ada adalah anggaran perayaan tahun baru dan atau kalimat lain yang tujuannya adalah sejenis.
Demikian pula dengan
pihak swasta dan perusahan-perusahaan terkemuka, menyediakan anggaran untuk
perayaan tahun baru. Saya pernah dengar ada satu perusahaan mengganggarkan Rp150.000.000,00
(seratus lima puluh juta rupiah) untuk membeli petasan dan kembang api. Itu selesai dibakar dalam satu malam.
Tak banyak pihak yang
merasa itu adalah sesuatu yang mubazzir atau perbuatan sia-sia, ditinjau dari
sudut pandang agama apa pun. Baik dari kalangan politisi Islam, akademisi
Islam, cendekiawan non-muslim, maupun tokoh masyarakat, jarang ada yang
menyuarakan hal tersebut.
Boleh dikata, tidak ada
pula yang mengganggap bunyi petasan sampai tengah malam sebagai sesuatu yang
mengganggu ketentraman masyarakat sebagaimana suara pernah dituduhkan untuk
suara mengaji dari masjid. Tidak ada seminar atau diskusi tentang bagaimana
upaya mengantisipasi hal itu.
Kalaupun ada yang
menyuarakannya, hampir tak terdengar kecuali pada lingkup yang sangat kecil dan
terbatas. Itupun dianggap angin lalu. Padahal dilihat dari berbagai aspek,
hampir tidak ada kaitan antara pesta tahun baru itu dengan peningkatan kualitas
kesejateraan rakyat, peningkatan mutu pendidikan anak-anak sekolah, perbaikan
pendidikan karakter, nilai akreditasi sekolah, penghargaan dari pemerintah
pusat, apalagi dapat meningkatkan kualitas iman dan taqwa kepada Tuhan Yang
Maha Kuasa.
Sebab apa, karena itu
adalah perbuatan sia-sia, perbuatan mubazzir yang tidak ada gunanya. Yang ada
adalah kebanggaan sesaat karena telah menyamai pesta perayaan tahun baru di
luar negeri.
Ketika saya menyatakan
kepada mahasiswa bahwa uang sebanyak lima triliun itu, jika dikumpulkan, akan
dapat dipakai untuk membangun lapangan sepak bola di setiap desa dan kelurahan
seluruh Indonesia dengan ukuran lapangan standar internasional. Mereka tertawa
dan bingung.
Kok lapangan sepakbola?
Ya, lapangan sepakbola yang nyaman sudah langka di negara ini. Sebagian besar
sudah dibanguni perumahan, gedung pencakar langit, dan sebagian lainnya
ditanami pohon mangga dan coklat. Ada juga yang dikavling untuk rumah pribadi
pihak-pihak tertentu.
Tidak ada lagi tempat
anak-anak main bola. Mereka terpaksa main bola di jalan raya. Ada yang sampai
tertabrak kendaraan, meninggal dunia. Anak-anak tak punya lapangan untuk
latihan main bola. Akibatnya, jarang ada lagi pemain rakyat Indonesia yang
berkualitas. Makanya dipakailah pemain asing dengan bayaran yang mahal.
Setiap kesebelasan di
Indonesia memiliki pemain asing. Gajinya berlipat-lipat dibanding pemain lokal.
Sedangkan kualitas permainan mereka pun tak sebagus yang diharapkan. Bahkan
sering main kasar dan dapat kartu merah. Prestasi sepak bola Indonesia bahkan
masih belum dapat dibanggakan.
Mudah-mudahan tahun ini
perayaan tahun baru dengan menggunakan petasan dan kembang api mulai berkurang,
kalau sama sekali tak bisa dihindari. Beberapa gubernur dan bupati / walikota
sudah mengimbau agar menghindari perayaan yang demikian. Justru dihimbau untuk
melaksanakan kegiatan keagamaan untuk merayakannya.
Ini perlu mendapat
sambutan positif. Sudah ada kesadaran kolektif dari para pemimpin, terutama
setelah adanya bencana alam di berbagai daerah. Demikianlah seharusnya sikap
pemimpin, memiliki kepekaan sosial dan sensitivisme terhadap nasib rakyat yang
memilihnya. Wassalam
Bakung Samata Gowa, 30
Desember 2018
*Haidir Fitra Siagian adalah
dosen Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Alauddin
Makassar