Penulis, Abdul Rahman Rahim (kanan) foto bersama Menristek-Dikti, Prof Muhammad Natsir.
----
PEDOMAN KARYA
Jumat,
28 Desember 2018
Peran
Perempuan dalam Mencetak Generasi Ulama di Era Milineal
Oleh: Dr H Abdul Rahman Rahim SE MM
(Rektor Universitas
Muhammadiyah Makassar)
Arus globalisasi yang terjadi
di era sekarang, telah mengantarkan kehidupan masyarakat kepada akulturasi
(proses beradaptasi dari budaya lokal ke budaya global). Dampak arus
globalisasi ini tidak dapat dihindari lagi. Akhirnya segala aspek kehidupan
masyarakat Indonesia terhegemoni mengikuti trend budaya global (global
culture) dan gaya hidup (life style) yang kekinian.
Globalisasi juga telah
melahirkan generasi gadget, yaitu generasi yang segala aktivitas kehidupannya
banyak bersinggungan dengan penggunaan teknologi dan informasi. Istilah
generasi gadget inilah yang menjadi penanda munculnya generasi milenial.
Di masa modern ini, “era
milenial” adalah suatu istilah yang begitu familiar dalam kehidupan sehari-hari
kita. Millennial adalah istilah cohort (kelompok demografis),
yang diartikan sebagai pengikut atau kelompok. Bencsik, Juhász, &
Horváth-Csikós (2016) mengkategorisasikan generasi dengan mengklasifikasi
generasi dalam 6 kelompok hasil adaptasi karya Zemke et al. (2000), yaitu
generasi veteran (lahir 1926–1946), baby boomers (1946-1960), generasi X
(1960-1980), generasi Y (1980-1995), generasi Z (1995-2010), dan generasi Alpa
(2010+).
Millennial generation atau generasi Y dikenal juga dengan istilah generation me atau
echo boomers adalah cohort (kelompok demografis) yang lahir
setelah Generasi X. Para ahli menggolongkan generasi ini dengan pendekatan
tahun awal dan akhir kelahiran. Generasi Y atau Millennials ini lahir pada
rentang tahun 1982 hingga 2002. Dengan kata lain, generasi millennial ini adalah
anak-anak muda yang saat ini berusia antara 17-36 tahun.
Kehidupan generasi milenial
ini sangat akrab dengan teknologi digital dan internet. Bahkan, generasi
milineal ini dianggap telah hidup dalam dua dunia yaitu dunia nyata dan dunia
maya. Generasi ini juga dengan mudah tehubung ke seluruh dunia secara online.
Mereka pun
memiliki kesempatan luas
untuk mendapatkan informasi, dan berkreasi tanpa batas. Peluang keberhasilannya
dimasa mendatang telah mereka genggam, jika teknologi termanfaatkan dengan baik.
Namun, di sisi lain generasi
ini begitu rawan memiliki potensi karakter negatif seperti tergerusnya kepekaan
sosial, sikap yang cenderung individualistik, pola hidup bebas, kurang bijak
dalam penggunaan internet dan media sosial, narsis, eksis, kerawanan mental dan
lain sebagainya. Betulkah generasi milineal ini mengalami degradasi moral?
Di era modern ini,
masyarakat menjadi konsumtif dan ketergantungan terhadap teknologi, informasi,
dan internet sebagai media atau alat untuk mempermudah aktivitasnya. Hasil
survey lembaga We Are Social (2018)4, menyebutkan, jumlah pengguna
internet pada tahun 2018 adalah 4,021 miliar, naik 7 persen tahun ke tahun.
Pengguna media sosial pada
2018 adalah 3,196 miliar, naik 13 persen tahun ke tahun, dan jumlah pengguna telepon
seluler pada tahun 2018 adalah 5,135 miliar, naik 4 persen tahun ke tahun.
Kondisi ini mempengaruhi posisi generasi milenial sebagai bahan perbincangan
dalam segala aspek, baik dari segi pendidikan, norma-norma, kesadaran sosial,
kondisi mental, termasuk ketergantungan terhadap penggunaan teknologi.
Hal inilah yang menjadi
suatu ancaman dan tantangan besar bagi perempuan (ibu) dalam melahirkan
generasi ulama yang faqih fiddin (orang yang memahami agama Islam). Degradasi
moral yang dialami generasi milenial saat ini, tidak menyulut titipan harapan
besar kepada generasi milineal. Hadirnya diharap membawa peluang untuk membuktikan
Islam Rahmatan Lil Alamiin, kebenaran ajaran islam secara kaffah dan
universal.
Dalam surat Al-Anfal (53)
dan Ar-Ra’d (11) tersirat makna bahwa dalam Islam, perubahan adalah sebuah
keniscayaan. Maka diperlukan siasat mengolah strategi, dan mengarahkan suatu
perubahan ke arah yang lebih beradab, berbudaya, dan berkemajuan. Lahirnya
generasi
ulama yang faqih fiddin di
era milineal ini tergantung seperti apa perempuan muslim (ibu) dalam memainkan
perannya sebagai Ummu Wa Robbatul Bait dan Al-Madrasatu Al-Ula.
Peran Perempuan sebagai Ummu
Wa Robbatul Bait dan Al-Madrasatu Al-Ula.
Posisi perempuan adalah
sebagai ummu wa robbatul bait (ibu dan manajer rumah tangga). Disebutkan dalam
hadist yang diriwayatkan oleh Buchari Muslim:
وَالْمَرْئَةُ رَاعِيَةٌ فِى بَيْتِ
زَوْجِهَا وَهِىَ مَسْؤُلَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا
“Dan istri adalah pengatur
dalam rumah tangga suaminya, dan dia bertanggung jawab atas pengaturannya”.
(HR. Buchari Muslim).
Sebagai Ummu Wa Robbatul
Bait, peran seorang perempuan tidak dibatasi sekedar menjadi manajer dapur
rumah tangga saja. Tetapi mengembang peran penting terhadap eksistensi
peradaban Islam.
Perempuan adalah madrasah
utama dan pertama bagi anak (almadrasatu al-ula ), dimana karakter anak
didesain menjadi pemimpin, hingga lahirlah generasi ulama yang faqih fiddin.
Generasi pemimpin yang senantiasa berjihad di jalan Allah.
Lahirnya tokoh ulama besar
dan mujahidin seperti Sufyan Ats-Tsaury; Imam Malik bin Anas; Imam Asy-Syafi’i;
Imam Ahmad bin Hanbali; Imam Al-Bukhari; Ibnu Taimiyah; Imam Ibnu Hajar
Al-Asqalani; Abdurrahman bin An-Nashir; Sultan Muhammad Al-Fatih dll, tidaklah terlepas
dari peran penting seorang perempuan (Ibu) sebagai pendidik dalam keluarga.
Jika laki-laki adalah
pemimpin, maka perempuan adalah pencetak generasi. Jika sebelumnya,
problematika yang terjadi sejak kemunculan ide emansipasi dan pemberdayaan
perempuan adalah pergeseran peran perempuan.
Perempuan sebagai manajer
rumah tangga yang diistilahkan sebagai sektor domestik, bertransformasi ke
sektor publik. Pergesaran ini berdampak pada peran ganda perempuan yang mengakibatkan
peran perempuan sebagai ummu wa robbatul bait perlahan-lahan tergerus.
Era generasi milineal ini
merupakan suatu tantangan baru yang dihadapi perempuan dalam mencetak generasi
ulama. Di era ini, berperan sebagai (al-madrasatu al-ula ) atau peran
dalam melahirkan generasi ulama tidaklah semudah membalikkan telapak tangan.
Ilmu dan iman perlu dipadu-padankan agar bajik dan bijak dalam mendidik
generasi yang notabene interaksi kehidupannya sangat akrab dengan teknologi
digital dan internet.
Mencetak Generasi Ulama di
Era Milineal
Persoalan di era milineal
tidak sekedar persoalan digital. Tapi, bagaimana segala aspek dimensi ruang
kehidupan seperti aspek sosial, budaya, ekonomi dan politik hingga pendidikan
telah dipengaruhi dalam sistem digitalisasi. Proses demokrasi yang terjadi juga
tidak bisa dilepaskan dari digital, telah berhasil membuat netizen mampu memengaruhi
proses demokrasi.
Menyikapi persoalan ini,
lahirnya generasi ulama-ulama di era milineal adalah sebuah pengharapan besar
terhadap eksistensi peradaban Islam di dunia. Perempuanlah yang memiliki peran
besar dalam melahirkan generasi ulama ini. Islam menetapkan bahwa peran
utama perempuan adalah
sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Ia menjadi al-Madrasah al-Ula bagi anak-anaknya.
Allah menciptakan wanita dengan
kemampuan reproduksi yang tidak bisa digantikan oleh kaum lakilaki. Meskipun
banyak aktivitas lain yang dibebankan kepada perempuan, tetapi haruslah baginya
menjalankan fungsi sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Kewajiban ini adalah
sebuah amanah yang mulia dan penting bagi umat, karena kemajuan umat berangkat
dari berhasilnya organisasi terkecil yakni sebuah keluarga.
Hafidz Ibrahim5 dalam Sya’ir al-Nil bersenandung:
Ibu laksana sekolah
Jika disiapkan (dengan baik)
maka lahir generasi berperangai
(berkepribadian) baik.
Ibu bagaikan taman.
Jika rajin disiram
maka daunnya akan bertumbuh
lebat.
Ibu seperti gurunya guru
pertama,
yang prestasinya menyebar ke
segenap ufuk.
Aku tidak pernah melihat
tempat makhluk (yang paling pas),
untuk mendidik anak
seperti pangkuan ibu.
Pangkuan ibu adalah madrasah
yang bisa (membuat) baik
pendidikan anak lelaki dan
perempuan.
Akhlak bayi dinilai baik,
berdasarkan akhlak wanita
yang melahirkannya.
Menghayati sya’ir Hafidz
Ibrahim, walaupun dalam era desrupsi sekalipun. Perempuan (ibu) masih punya
peluang besar dalam mencetak generasi ulama di era milineal ini. Generasi ulama
adalah mereka yang kelak akan memimpin negara dimasa depan, dan perlu disiapkan
agar memiliki jiwa spiritualis, kapasitas intelektualitas, memiliki daya saing,
visioner dan tentu melek media digital.
Olehnya itu, Perempuan perlu
memaksimalkan perannya sebagai Ummu Wa Robbatul Bait dan Al-Madrasatu Al-Ula.
Sosok perempuan dikenal sebagai seorang yang penuh kasih sayang, cerdas
emosional dan intelektual, bersikap penyabar, berjiwa keibuan, berani dan mau
bekerja keras.
Itulah mengapa seorang
perempuan mempunyai peran yang besar dalam menghadapi era millennials (era
kekinian).
Perempuan wajib meng-update
wawasan keilmuannya dengan mengutamakan ‘ulumuddin, pendidikan akhlak,
ilmu-ilmu yang berkenaan dengan tabiat, tugas dan kewajiban perempuan dalam
hidupnya serta pengetahuan tentang perkembangan dan tantangan zaman di era milineal.
Perempuan juga diwajibkan
untuk selalu meng-upgrade keimanannya. Senantiasa menjaga keteguhan iman
dan jiwa sebagai bentuk manivestasi lahirnya generasi yang berkarakter dan
berpegang teguh kepada tali agama Allah swt, ditengah degradasi moral yang
terjadi pada generasi era milinieal ini.
Perempuan Tauldan, Ibu dari
Para Ulama
Ibu-ibu agung seperti Ibunda
Zaid bin Tsabit, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Rabi’ah, Sufyan
Ats-Tsauri, Imam Syafi’i. Imam Ahmad, dan Imam Bukhari dll, bisa dijadikan teladan untuk melahirkan ulama dari seorang rahim
perempuan (ibu).
Salah satu kisah peran
seorang ibu dalam mencetak generasi ulama ialah kisah ibu Zaid bin Tsabit
(disadur dari rubrik Uswah Majalah Tabligh edisi Rajab – Sya’ban 1433). Zaid
bin Tsabit adalah pencatat wahyu yang saat itu masih berusia belasan tahun,
juga delegasi bagi perundingan yang dilakukan negara Madinah dengan
kerajaan-kerajaan asing, dan sebagai sekretaris pribadi Rasulullah SAW.
Saat Zaid bin Tsabit berusia
tiga belas tahun, dirinya sangat ingin berpartisipasi dalam gelanggang jihad
Badar Kubra. Gelora semangat yang membara tidaklah cukup menjadi mujahid di medan
perang. Usia yang begitu belia dan postur tubuh Zaid yang masih kecil membuat
Rasulullah SAW tidak bisa menerimanya untuk bergabung dengan pasukan perang
Badar. Rasa sedih yang dialaminya membuat Zaid menagis tersedu-sedu.
Beliau menghampiri ibunya
lalu berkata: “Rasulullah SAW melarangku berjihad.”
An-Nawar binti Malik adalah
seorang ibu yang bijaksana, ia paham betul bahwa di dalam jiwa anaknya sedang
berkobar semangat untuk bisa memberikan sesuatu bagi agamanya, ia tahu dengan
pasti bahwa putranya sangat ingin mengabdi demi tegaknya kalimatullah. Namun sahabiyah
yang mulia itu juga mengerti dengan jelas penolakan Rasulullah terhadap
anaknya. Zaid jelas masih terlalu belia untuk terjun ke dalam suatu peperangan.
An-Nawar binti Malik secara
bijak menyemangati anaknya dengan berkata: “Jangan bersedih, engkau bisa
membela Islam dengan cara lain. Jika tidak mungkin dengan jihad ke medan
perang, cobalah berjihad melalui lisan atau tulisan.”
Potensi yang dimiliki Zaid
yang diperkenalkan oleh ibundanya mampu dibaca dan dimanfaatkan sebaik-baiknya
oleh Rasulullah SAW. Para sejarawan atau penulis thabaqat sahabat seperti Ibnu
Atsir, Ibnu ‘Abdil Barr dan lainnya mencatat bahwa Zaid diperintahkan oleh Rasulullah
untuk mempelajari bahasa Suryani.
Bahasa ini termasuk bahasa
yang populer pada zaman itu. Bahasa Suryani dapat dikuasai oleh Zaid kurang
dari dua puluh hari. Sejak saat itu Zaid bin Tsabit aktif sebagai penerjemah
bagi pemerintahan Islam Madinah, penulis wahyu, penulis surat, peserta
perundingan antara kabilah-kabilah atau negara asing dengan negara Islam
Madinah.
Sekali lagi, semua itu mulai
dia lakukan ketika ia berusia 13 tahun. Beliau tetap tekun melaksanakan semua
amanah itu hingga masa kenabian berakhir, beralih kepada masa Khulafa Rasyidin.
Bukan hanya handal di dalam bidang di atas, Zaid bin Tsabit juga dikenal sebagai
sahabat yang ahli dalam faraidh dan imam fikih penduduk Madinah.
Peran an-Nawar binti Malik
di dalam kegemilangan karir, amal, dan jihad intelektual Zaid bin Tsabit tentu
sangatlah besar. An-Nawar lah yang mampu membaca potensi anaknya, mengarahkannya
dan mendukung anaknya semaksimal mungkin.
Ia bahkan mengajak beberapa
anggota kabilahnya menghadapkan anaknya kepada Nabi Muhammad SAW, seorang
kepala negara, pemimpin ummat untuk menunjukan kemampuan anaknya. Tentu hal itu
membangkitkan kepercayaan diri putranya. An-Nawar binti Malik adalah seorang single
parent, tetapi itu tidak menjadi alasan baginya untuk menelantarkan anaknya
demi mencari uang.
Sebagai kesimpulan,di era
manapun perempuan berada, jika dasar pendidikan dalam keluarga berpegang teguh
pada ajaran agama Islam maka lahirlah generasi rabbani, generasi yang tidak
sekedar cerdas intelektual tetapi juga cerdas dalam memahami agama Islam.
Era milineal adalah tantang
berat dalam mendidik generasi ulama. Pendidik diperhadapkan oleh kecanggihan
teknologi, yang saat ini sedang membuat candu generasi milineal. Tentu,
situs-situs yang mengandung unsur negatif dan infomasi hoaks akan dengan mudah diterima
tanpa cerna. Maka, disini perempuan (ibu) perlu menghayati dan memaksimalkan
perannya sebagai Ummu Wa Robbatul Bait dan Al-Madrasatu Al-Ula.
Kehadiran seorang ibu dalam
hati seorang anak akan menjadi pelengkap jiwa bagi anak-anaknya. Tapi,
ketidakhadirannya akan menjadi keganjilan rasa dalam hidup seorang anak. Ibarat
anak yang kehilangan induknya.
----------
Referensi
Referensi
1. Ali, H., & Lilik
Purwandi. (2017). Millennial Nusantara Pahami Karakternya, Rebut Simpatinya.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
2. Bencsik, A., Juhász, T.,
& Horváth-Csikós, G. (2016). Y and Z Generations at Workplaces. Journal
of Competitiveness, 6(3), 90–106.
https://doi.org/10.7441/joc.2016.03.06
3. Zemke, R., Raines, C.,
& Filipczak, B. (2000). Generations at work : Managing the Clash of
Boomers, Gen Xers, and Gen Yers in the Workplace. New York: AMACOM.
4. https://wearesocial.com/blog/2018/01/global-digital-report-2018
5. Uwaidah, Kamil Muhammad Muhammad. 1993. Biografi Penyair-Mesir. Bairut:
Dar al-Kutub al-ilmiyah
----------
Pengumuman
Pengumuman
- Redaksi Majalah PEDOMAN KARYA, menerima kiriman artikel ilmiah untuk dimuat di web www.pedomankarya.co.id
- Untuk artikel ilmiah yang termuat tidak disediakan honorarium