Selasa, 10 Januari 1995, kurang lebih 50 mahasiswa yang menyesaki tangga gedung DPRD Sulsel, tempat yang dipakai untuk berorasi, berpuisi, memamerkan pamplet dan menggelar spanduk. Mereka mengadakan peringatan 28 tahun Tritura. Mereka merupakan perwakilan dari Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT) Unhas, SMPT 45, IKIP Makassar, dan para fungsionaris lembaga kemahasiswaaan se-Makassar lainnya.
-------
PEDOMAN KARYA
Jumat, 11 Januari 2019
Isradi
Zainal Unggah Kembali Sepuluh Tuntutan Rakyat (2):
Bersihkan
Parpol dari Unsur-unsur PKI
Selasa,
10 Januari 1995, kurang lebih 50 mahasiswa yang menyesaki tangga gedung DPRD
Sulsel, tempat yang dipakai untuk berorasi, berpuisi, memamerkan pamplet dan
menggelar spanduk. Mereka
mengadakan peringatan 28 tahun Tritura.
Mereka merupakan perwakilan dari Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT) Unhas, SMPT 45, IKIP Makassar, dan para fungsionaris lembaga kemahasiswaaan se-Makassar lainnya. Unit Penerbitan dan Penulisan UMI, plus mahasiswa yang tak terkait dengan kelembagaan secara resmi.
Mereka merupakan perwakilan dari Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT) Unhas, SMPT 45, IKIP Makassar, dan para fungsionaris lembaga kemahasiswaaan se-Makassar lainnya. Unit Penerbitan dan Penulisan UMI, plus mahasiswa yang tak terkait dengan kelembagaan secara resmi.
“Kembalikan
Makassar Menjadi Ibukota Sulsel” merupakan spanduk utama dan tuntutan
terpenting tingkat lokal dalam peringatan tersebut. Sebelum naik menuju tangga,
selama 15 menit mereka berorasi di halaman depan gedung. Orasi itu dilakukan
sambil menunggu kesiapan DPRD Sulsel untuk menerima AMPD.
Di
lantai dua, di depan pintu masuk, mereka menyanyikan lagu Indonesia Raya. Lagu
yang menunjukkan bagaimana sebaiknya manusia Indonesia yang ‘raya’ membangun
lebih dulu jiwanya sebelum badannya. Sepultura adalah tuntutan untuk membangun
jiwa bangsa yang luhur dan tangguh maupun bermoralitas tinggi.
Tuntutan
pertama berupa pembersihan parpol dan Golkar dari unsur-unsur PKI yang
ditengarai masih banyak bercokol di Indonesia. Tuntutan teratas ini menunjukkan
bahwa tak seorang pun anggota AMPD yang pernah berurusan dengan gagasan PKI.
Tuduhan
yang pernah diarahkan ke AMPD berkaitan dengan PRD, sudah terbantahkan dalam
tuntutan itu. PRD masih sangat permisif dengan gagasan yang berkaitan dengan
PKI atau ide-ide yang mengarah ke Komunisme. Meski anggota AMPD juga mengkaji komunisme
secara terbuka, tapi kajian itu sama muatan intelektualnya dengan pengetahuan
apapun terhadap beragam ideologi dan berbagai isme.
Tuntutan
ini lebih terkait kepada komunis-komunis elit yang memang kuat secara
ideologis. Kecenderungan mereka untuk berpotensi menghalalkan segala macam cara
bisa memperburuk negeri ini. Apalagi praktek-praktek politik di kedua parpol
dan Golkar juga mengarah metodologi komunisme.
AMPD
bersikap adil dan bijak terhadap kalangan rakyat jelata dan keturunannya yang
mendapat diskriminasi tanpa ampun dari pemerintah, karena tuduhan sebagai
komunis. Hak-hak mereka sebagai warga negara dicabut dalam bidang politik
ataupun untuk bekerja sebagai ABRI dan Polri.
Mereka
terdaftar sebagai anggota komunis bukan di level ideologis, tapi hanya karena
berada di tempat keliru dan waktu yang salah, lalu bertemu dengan orang jahanam.
Mereka tertuduh sebagai komunis, hanya karena mendapat peralatan pertukangan,
pertanian dan perikanan berupa palu, arit, cangkul dan sebagainya.
Di
masa Orba, ketika hak mereka dimusnahkan, justru dimanfaatkan untuk pemenangan
Golkar. Soeharto menetapkan level terbawah anggota komunis tersebut sebagai
‘massa mengambang’.
Pemanfaatan
‘massa mengambang’ yang tidak terdidik dan serba bisa dikendalikan, masih
digunakan oleh partai demi partai pasca Orba. Keberadaan ‘massa mengambang’
terlihat jelas, karena mudah digerakkan cuma dengan memberikan kaos oblong dan
nasi bungkus, plus uang sekurang-kurangnya Rp50.000,-.
Pemberangusan
Partai Komunis dan aliran ideologis dilakukan secara sistematis dan
terorganisir sejak Pemberontakan G 30 S PKI. Para elit pelakunya yang bebas
dari hukuman mati dan tembak di tempat, masih menjadi warga negara.
Di
tingkat massa, para anggota PKI menjadi buruan secara administrasi
kependudukan. Hal itu karena ada kekhususan dalam KTP, yang menunjukkan sebagai
mantan anggota partai terlarang. Diskriminasi dalam KTP, membuat harkat dan
martabat mereka sebagai warga negara menyusut ke tingkat nol.
Korupsi
dan kolusi yang saat itu menjadi virus raksasa di segenap bidang, meski masih
memusat pada lingkaran Soehartois. AMPD menjadikan tema perusak negara berupa
KKN, untuk mendapat sorotan setajam pisau bedah.
Elit-elit
negara sangat kurang memiliki daya moralitas yang tinggi, karena terenakkan
oleh korupsi dan ternyamankan oleh kolusi. Kabinet dan lembaga negara yang
ditengarai menjadi sarang para koruptor, harus dibersihkan secepat mungkin.
Korupsi
dan kolusi sangat merugikan rakyat Indonesia, ketika Eddy Tanzil mendapat
fasilitas berlebihan dari perbankan atas katebelece Soedomo. Eddy Tanzil
kemudian mangkir dalam pembayar semua utangnya. Kabarnya tak pernah terdengar
lagi, hilang begitu saja di luar kemampuan inteljen Indonesia yang hanya mampu
menangkap dimanapun aktivis beraksi.
RAPBN
merupakan masalah mendasar karena berkaitan dengan pengelolaan uang rakyat
untuk membiayai kegiatan pemerintahan dan apa saja untuk menjalankan kekuasaan
negara. AMPD memasukkan RAPBN dalam tuntutan karena ada kecenderungan betapa
anggaran negara tidak dipakai untuk menyejahterakan rakyat.
RAPBN
juga sering diiisi dengan angka-angka fiktif, agar uang rakyat terkuras oleh
koruptor. Koruptor sudah banyak pada tahun 1995, cuma tak terpantai oleh media
yang masih belum bebas untuk menyampaikan berita bertaraf bahaya itu. Berita
tentang korupsi bertaraf bahaya karena jangan sampai menguak skandal korupsi
keluarga Cendana. Tuduhan makar, bisa dipakai bila korupsi super-elit berani
diungkap wartawan.
Kenaikan
gaji anggota ABRI dan pegawai sipil dalam RAPBN, otomatis memicu kenaikan harga
bahan pokok. Harga yang sudah merangkak, meski kenaikan gaji belum diterima.
Kenaikan harga merupakan rutinitas yang kerap terjadi bila RAPBN telah
dibacakan untuk diketahui publik.
Masalah
mendasar dari sikap DPR/MPR yakni mereka seperti sekumpulan burung beo di
sangkar emas. Belum pernah sekalipun burung-burung itu bersikap pro-aktif dalam
penolakan terhadap RAPBN.
Orba
menjadi sangat kuat, karena sikap pasif berlebihan semua anggota DPR/MPR yang
selalu diam seperti kuburan. Para zombi yang bersidang itu, menurut AMPD sama
sekali tak bisa diharapkan untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat, terutama
mudahnya terjadi lonjakan harga setelah pembacan RAPBN.
Kenaikan
gaji sebesar 10 persen, sama sekali tak bisa mengikuti naiknya semua harga
kebutuhan pokok. Spekulan histeris mendapat mendapat keuntungan berlebihan bila
RAPBN telah sampai pada pembacaan kenaikan gaji. (bersambung)
-----
Artikel terkait:
Isradi Zainal Unggah Kembali Sepuluh Tuntutan Rakyat
-----
Artikel terkait:
Isradi Zainal Unggah Kembali Sepuluh Tuntutan Rakyat