DILARANG BERJUALAN. Ketua Yayasan Masjid Agung, H Syamsul Kamar Dg Timung, yang dikonfirmasi mengenai pelarangan menjual bagi PKL di halaman masjid dan di trotoar jalan raya depan Masjid Agung, mengakui bahwa pihaknyalah yang menyurat kepada Bupati Takalar untuk menertibkan para PKL. (Foto: Hasdar Sikki / PEDOMAN KARYA)
-------
Senin, 07 Januari 2019
Dilarang
Berjualan di Masjid Agung Takalar, Pedagang Kaki Lima Mengadu ke Bupati
TAKALAR,
(PEDOMAN KARYA). Para pedagang kaki lima (PKL) yang
biasanya berjualan di halaman masjid dan di trotoar pinggir jalan raya Masjid
Agung Takalar setiap hari Jumat, kini tidak bisa lagi melakukan aktivitas
tersebut, karena Satpol PP sudah mensterilkan tempat tersebut sejak Jumat terakhir
Desember 2018.
Mereka sebenarnya tidak
diarahkan untuk menggelar dagangan atau jualannya di halaman Islamic Centre
Takalar yang berseberangan jalan dengan Masjid Agung Takalar, tetapi para PKL tidak
puas karena kurangnya pembeli yang mau menyeberang jalan dari Masjid Agung ke
Islamic Centre.
Karena tidak puas
dengan pelarangan dan pemindahan tempat berjualan tersebut, para PKL kemudian mengadukan
nasibnya kepada Bupati Takalar, namun karena Bupati Takalar Syamsari Kitta
sedang tidak berada di Kantor Bupati Takalar, maka perwakilan PKL diterima oleh
Wakil Bupati Achmad Daeng Se’re.
Setelah mendengar
keluhan para PKL, Haji De’de–sapaan akrab Achmad Daeng Se’re–kemudian mengatakan
akan berkoordinasi dengan berbagai pihak, termasuk pengurus yayasan Masjid Agung,
untuk mencari solusi terbaik atas masalah pelarangan berjualan di trotoar
Masjid Agung Takalar.
“Kami
ini orang Takalar yang juga mau hidup dan mencari penghidupan di Takalar. Kami
juga tidak keberatan membayar retribusi sebesar Rp5.000 setiap kali berjualan.
Kami juga tidak lama berjualan, hanya sekitar tiga empat jam. Setelah itu, kami
membubarkan diri dan ini pun hanya satu kali seminggu, yaitu hanya pada hari
Jumat kasihan,” kata Daeng Lira, salah seorang PKL, kepada Pedoman Karya,
Jumat, 04 Januari 2019.
Ketua
Yayasan Masjid Agung, H Syamsul Kamar Dg Timung, yang dikonfirmasi mengenai pelarangan
menjual bagi PKL di halaman masjid dan di trotoar jalan raya depan Masjid Agung,
mengakui bahwa pihaknyalah yang menyurat kepada Bupati Takalar untuk
menertibkan para PKL.
Haji
Timung–sapaan akrab H Syamsul Kamar Dg Timung–mengatakan, ada beberapa hal yang mendasari pelarangan tersebut, antara
lain di tempat itu memang bukan peruntukan pedagang kaki lima, melainkan
sebagai lahan parkir kendaraan bagi para jamaah.
“Arus
lalu lintas di jalan poros juga selalu terganggu dan sering menimbulkan
kemacetan karena kendaraan jamaah terpaksa banyak yang diparkir di badan jalan,
karena lahan parkir dipakai oleh pedagang kaki lima,” kata Haji Timung.
Dia
menambahkan bahwa Masjid Agung merupakan salah satu masjid kebanggaan
masyarakat Takalar dan pihaknya merasa bertanggung-jawab menjaga ketertiban dan
keamanannya.
“Kami
juga sudah sering menerima keluhan dari para jamaah soal kesemrawutan arus lalu
lintas akibat banyaknya pedagang kaki lima yang berjualan di halaman masjid dan
di trotoar jalan raya depan Masjid Agung,” tutur Haji Timung.
Mantan
Dirut PDAM Takalar itu mengaku tidak pernah melarang para pedagang kaki lima
berjualan, tetapi tempat berjualannya sebaiknya jangan di halaman masjid atau
di trotoar, karena akan mengganggu jamaah yang membawa kendaraan dan juga
menimbulkan kemacetan arus lalu lintas.
“Kami
memang menyurat kepada Bupati Takalar untuk menertibkan PKL karena keberadaan
mereka sangat mengganggu, tetapi kami juga memberikan solusi bagi para PKL
yaitu menggelar dagangannya di halaman Islamic Centre yang bersebelahan dengan
Masjid Agung. Hanya bergeser beberapa meter dan saya kira di tempat itu lebih
baik, lebih aman dan tidak mengganggu arus lalu lintas,” tutur Haji Timung.
Tidak Ada
Pembeli
Beberapa
pedagang yang ditemui di Halaman Islamic Centre mengaku tempat berjualan
tersebut memang agak bagus, tetapi tidak ada jamaah shalat Jumat yang mau
menyeberang jalan dari Masjid Agung ke Islamic Centre.
“Hari
ini kami coba berjualan di sini, tapi tidak ada pembeli yang mau datang ke
sini, karena biasanya para jamaah begitu keluar dari masjid langsung
melihat-lihat dagangan kami. Kalau di sini, mereka tentu akan berpikir untuk
menyeberang jalan. Kalau di halaman masjid atau di trotoar, mereka bisa
langsung melihat-lihat jualan kami, tapi kalau di sini nakunjungipi kodong, jari battalaki nasa’ring (mereka harus sengaja
berkunjung, sehingga mereka merasa berat, red),” ungkap salah seorang pedagang.
Pinjaman Bank
Mereka
juga mengaku mendapat pinjaman dari bank untuk menggelar dagangannya setiap
hari Jumat di sekitar Masjid Agung, sehingga dengan adanya pelarangan berjualan
tersebut, mereka khawatir tidak akan bisa membayar kreditnya di bank.
“Kami
juga penjual rata-rata pakai modal pinjaman dari Bank, sehingga kami sangat
kesulitan lagi untuk dapat membayarnya. Kita’ tau’mi susahnya cari hidup pak, kalau
kita’ berharap dari pemerintah untuk mencarikan hidup tentu sangat sulit,
malahan kami yang selama ini berinisiatif untuk mencari sesuap nasi untuk bisa
bertahan hidup dengan keluarga, justru dihalang-halangi. Dimana perasaannya
semua itu?” tutur salah seorang PKL. (Hasdar Sikki)