MENANGGAPI. Dosen Unibos Makassar, Mas’ud Muhammadiyah (kiri) menanggapi pernyataan Ketua KPK Agus Rahardjo, tentang bimbingan belajar di luar kelas terhadap siswa yang dilakukan gurunya sendiri di sekolah.
---------
Ahad, 13 Januari 2019
Dosen
Unibos Tanggapi Pernyataan Ketua KPK Soal Bimbel di Sekolah
MAKASSAR, (PEDOMAN
KARYA).
Ketua KPK Agus Rahardjo menyinggung tentang bimbingan belajar (Bimbel) di luar
kelas terhadap siswa yang dilakukan gurunya sendiri yang menerima uang karena
berpotensi sebagai gratifikasi.
Hal
itu ia kemukakan saat menjadi pembicara dalam acara “Penguatan Tata Kelola Pelaksanaan
Anggaran Tahun 2019”, di Graha Utama Kemendikbud, Jalan Jenderal Sudirman,
Jakarta Selatan, Rabu, 09 Januari 2019.
Pernyataan
Ketua KPK tersebut langsung mendapat respons dari berbagai pihak, khususnya
dari kalangan pendidik. Salah seorang di antaranya dari dosen Universitas
Bosowa (Unibos) Makassar, Dr Mas’ud Muhammadiyah MSi.
“Jika
guru membuka Bimbel di sekolah, tentu saja secara hukum salah, bertentangan dengan
kode etik guru, dan bisa terjadi adanya benturan kepentingan, karena guru
merupakan pemberi nilai kepada siswa,” kata Ma’ud yang mantan Dekan FKIP dan
kini menjabat Wakil Rektor II Unibos, kepada Pedoman Karya, Sabtu, 12 Januari 2019.
Meskipun
demikian, katanya, jika dilakukan secara profesional oleh guru di luar sekolah
atau tidak ada kaitannya dengan sekolah, maka kegiatan Bimbel tersebut sah-sah
saja, dengan catatan, Bimbel tersebut mendapat izin dari pejabat berwenang,
karena Bimbel termasuk jenis kegiatan pendidikan non-formal sebagaimana terdapat
dalam Pasal 1, angka 12, Undang-Undang Nomor 20, Tahun 2003, tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
Kalau
Bimbel dilakukan guru di sekolah, lanjut Mas’ud, pada dasarnya secara hukum
belum ada ketentuan atau undang-undang, baik pidana maupun perdata, yang
spesifik mengaturnya.
“Jadi
kalau guru membuat perjanjian dengan pihak sekolah, maka ketentuan dalam
perjanjian itu merupakan undang-undang bagi yang membuatnya sesuai
undang-undang hukum perdata. Jadi sekolah atau dinas pendidikan harus membuat
perjanjian tertulis atau larangan Bimbel oleh guru di sekolah,” kata Mas’ud.
Mas’ud
yang juga mantan wartawan Harian Pedoman Rakyat mengatakan, setiap perjanjian
yang dibuat oleh guru dan pihak sekolah, secara otomatis mengikat guru
tersebut, sehingga apabila ia melanggar ketentuan dan kewajiban dalam
perjanjian tersebut, maka dapat diberi sanksi sesuai yang tertera dalam
perjanjian yang telah disepakati.
Dalam
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UU
14/2005), katanya, dijelaskan definisi guru bertugas mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik.
Guru
merupakan profesi yang mempunyai kode etik sebagai pedoman dalam menjalankan
pengabdiannya terhadap peserta didik, orang tua, teman sejawat, dan dalam
masyarakat.
Dalam
Kode Etik Guru Indonesia disebutkan kewajiban guru terhadap peserta didik yaitu
bertindak profesional sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1) Kode
Etik Guru Indonesia. Dalam Pasal 20 UU 14/2005, juga diatur kewajiban guru.
“Kesimpulannya,
dalam hukum positif di Indonesia, belum diatur secara terang mengenai larangan
guru yang membuka bimbingan belajar. Namun permasalahan ini juga perlu dilihat
dari akibat yang ditimbulkan oleh guru tersebut. Guru diwajibkan untuk
profesional,” kata Mas’ud. (ima)