BEDAH BUKU. Guru Besar Tetap di Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA Jakarta, Ade Hikmat (kanan) membedah buku Kumpulan Puisi Karya Maman A Majid Binfas (kiri).
------
PEDOMAN KARYA
Kamis, 17 Januari 2019
Bedah
Buku Karya Maman A Majid Binfas:
Gaya Bahasa dan Religiusitas Kumpulan Puisi Aku dan Engkau, Siapa?
Oleh: Ade Hikmat
(Guru
Besar Tetap di Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA Jakarta)
Puisi merupakan bentuk karya sastra yang
banyak dipilih untuk mengekspresikan diri. Hal itu terlihat dari banyaknya
jumlah penyair dan karya puisi
yang telah dipublikasikan.
Jika dibandingkan dengan jenis karya sastra lain, seperti novel, cerpen, dan
drama, maka tentu secara kuantitatif karya puisi dan penyairnya jauh lebih
banyak.
Pilihan tersebut juga
dilakukan oleh Maman A Majid Binfas, selanjutnya disebut Maman. Dalam buku kumpulan puisinya ini, ia
mengekspresikan berbagai tema, di antaranya tema religiusitas, politik, nasionalisme,
hingga perasaan romantik. Keragaman tema ini membuat puisi-puisi Maman menjadi
semacam biografi kehidupan penulisnya yang kaya akan beragam perasaan batin.
Dalam puisinya ini tergambar jelas perasaan batin,
bahagia sekaligus pula sedu penuh airmata, mengada sekaligus juga tersia.
Ekspresi ini tertuang dalam 240 puisi. Jumlah yang tidak sedikit yang dengan
begitu menunjukkan intensitas dan pergulatan Maman dengan puisi tidak diragukan
lagi.
Dengan jumlah puisi
yang banyak tersebut, maka dengan begitu pula membuka ruang tafsir dan kajian
terhadap puisi-puisi Maman menjadi begitu luas. Pembahasan ini difokuskan pada
aspek gaya bahasa dan religiusitas dalam kumpulan puisi Maman.
Kedua aspek ini telah
disinggung dalam pengantar penerbit tentang bagaimana latar belakang pengarang
mempengaruhi diksi penulisnya, dengan kata-kata sebagai berikut, “Pergolakan
batin dan pikiran semasa kuliah S3 di Malaysia dan saat pulang pergi, serta
kembali ke
Indonesia, sehingga sangat mempengaruhi gaya penulisan masing-masing puisi,
mulai dari pemilihan kosa kata, diksi, sampai alur puisi (Binfas, 2017: 3).”
Dengan demikian, kajian
ini akan membahas bagaimana pola kebahasaan dalam puisi Maman dan bagaimana
pola tersebut berpengaruh pada bentuk puisinya.
Sementara itu, aspek
religiusitas puisi Maman disinggung oleh Taufik [sic!] Ismail dalam prolog buku puisi. Dalam pandangannya itu, ia
menyebut puisi-puisi Maman sebagai puisi religius (Binfas, 2017:32). Namun,
pembahasan tersebut tidak terlalu mendalam. Taufiq Ismail hanya membahas sisi
ini dalam beberapa paragraf saja, oleh karena itu, tulisan ini akan mencoba membahasnya secara
lebih mendalam.
Pembahasan gaya bahasa
dan religiusitas puisi Maman ini merupakan upaya penelusuran esensi dasar karya
sastra yaitu dulce dan utile. Dalam karya sastra, hendaknya
kedua hal ini tidak tertinggal atau dihilangkan sebagaimana disebut oleh Wellek
dan Warren (2014: 23), bahwa karya sastra harus menghibur dan memberi makna.
Aspek hiburan sebuah puisi adalah pada keindahan bahasanya, sementara
kebermaknaan sebuah puisi terletak pada makna yang tersirat dari susunan kata
indahnya.
Gaya
Bahasa Kumpulan Puisi Aku dan Engkau,
Siapa?
Gaya bahasa merupakan
salah satu penciri seorang pengarang dengan pengarang lainnya. Keunikan gaya
bahasa yang dipilih penyair akan membedakan penyair yang satu dengan penyair
lainnya. Menurut Wiyatmi (2006:42) gaya bahasa merupakan ungkapan seseorang yang khas. Gaya meliputi
penggunaan diksi (pilihan kata), imajeri (citraan), dan sintaksis (pola kalimat).
Berdasarkan hal tersebut,
maka gaya bahasa antar-penyair berbeda. Hal ini dapat dirasakan pada saat
membaca puisi Sutarji Calzoum Bachri dan Chairil Anwar. Kedua penyair ini
memiliki cara pengungkapan yang khas dan tidak dapat dipersamakan satu sama
lainnya.
Bagaimana dengan puisi
Maman? Pada puisi-puisinya ini, ekspresi gaya bahasa yang disampaikan sangat
beragam. Pola-pola kebahasaan yang disampaikan oleh Maman tidak sama antara
satu puisi dengan puisi lainnya.
Di satu sisi, Maman
mengolah puisinya dengan gaya bahasa konotatif dengan kiasan, hiperbola,
metafor, maupun personfikasi. Perhatikan puisi Berhati Tuhan, ia menyebut Tuhan sebagai cahaya dalam baris puisi Ada Tuhan menjadi cahaya/cahaya terang dalam
ingatan.
Dalam puisi Mencintai Negeri, ia menyebut bencana
besar sebagai ‘debu’ bagi kekuasaan Tuhan,
Manakala, debu bencana bagian ujian-Mu/mampukan batin kami menempuh. Puisi
lainnya, Detak Dukamu, menggunakan
diksi personifikasi untuk membangun perasaan duka, Detak dukamu juga dukaku/duka berkalam/nan terdalam. Tiga baris ini
diulang dalam empat bait puisi ini.
Di sisi lain, Maman membuat
puisinya terang benderang dengan uraian kata yang sangat mudah dipahami. Puisi-puisi
yang mudah dipahami ini umumnya merupakan tanggapan terhadap realitas sosial
yang terjadi, sehingga mungkin puisi ini dimaksudkan sebagai pandangan politik,
religius, dan lainnya terhadap fenomena yang sedang terjadi. Misalnya, saat
Pilkada DKI Jakarta, ia menyinggung isu-isu hangat dengan bahasa tegas dan
jelas, seperti
berikut..
DKI Adalah Milik Kita 1
Memang
DKI rindu ‘kan pamong
_di
samping
cerdas
juga tegas bertindak tiada mengawang
_terpenting
lagi hangat dan santun
tak
hanya sombong ‘tuk menggonggong
DKI
memang bukan milik asing
namun,
isi dan lahan
_telah
dilelang
di
samping
melakoni
hingga muda dikenang
DKI
memang bukan milik asing
Namun,
isi dan lahan
_telah
dilelang
di
samping
siap
bertanding juga jadi benteng
DKI
memang bukan milik asing
namun,
isi dan lahan
_telah
dilelang
di
samping
apabila
ini tanda DKI berpayung
_kenapa
tidak ‘tuk berpanggung
daripada
bringas buas bertaring
Dalam puisi tersebut,
Maman menyinggung isu pilkada
yang berkembang pada saat itu, yaitu tentang kepemilikan aset DKI Jakarta yang
berusaha dimiliki oleh orang
asing.
Dalam puisi tersebut, semua kata mudah dipahami terlebih jika pembaca
mengetahui isu tersebut, maka tafsir puisi tersebut menjadi terang benderang.
Puisi berikutnya, tentang isu Pilkada DKI Jakarta juga disampaikan dengan
bahasa yang mudah dipahami,
DKI Adalah Milik Kita 2
Kita
mesti melangkah pasti, dengan
menyatukan
tekad yang tinggi
jangan
sampai DKI berjejak bagaikan negeri Jiran
juga
kalau tidak air mata pribumi akan bercucuran
pada
jurang yang sama bak sediakala
dikarenakan
arogan meraja saling berebutan
di
antara partai merasa militan
kita
dukung satukan langkah demi kemerdekaan sejati
satu
untuk Indonesia
DKI
adalah milik Kita
Keragaman cara
pengungkapan tersebut, terlihat pula dari permainan rima dan irama dalam
puisinya. Maman tidak memiliki bentuk yang baku, puisinya kadang memiliki
bunyi-bunyi yang teratur, namun kadang bunyi-bunyi tersebut dibiarkan lepas
dari baitnya. Dalam puisi Ada atau Juga,
bunyi puisi sangat teratur, dengan pola yang sangat jelas seperti tampak pada
puisi berikut,
Ada Atau Juga
Ada
duka membawa bahagia
Ada
bahagia membawa duka
Ada
rencana membawa bencana
Ada
bencana membawa rencana
Atau
Boleh
juga cinta
Di
sini mesti berganti
di
sana mesti abadi
Juga
_tanpa
mesti merayu
Dan
malu-malu
Kini
hanya rindu-merindu
Dalam puisi tersebut,
terlihat bahwa Maman membangun puisinya dengan bunyi-bunyi yang eufoni.
Keindahan bunyi tersebut terlihat dari bagaimana akhir baris puisi pada
masing-masing bait dibuat serupa, a-a.
Sementara itu, baris
puisi dibuat dengan pola nada yang seimbang, terutama pada bait pertama dan
bait kedua, Ada duka membawa bahagia/Ada
bahagia membawa duka//Ada rencana membawa bencana/Ada bencana membawa rencana.
Hal sebaliknya,
terdapat dalam puisi Puasa Kita. Puisi
ini tidak memperhatikan bunyi-bunyi bahasa. Sepertinya, puisi ini lebih
mengedepankan pesan yang akan disampaikan penyair, dari pada membuai pembaca
dengan keindahan bahasa. Bunyi-bunyi akhir dalam baris dibiarkan tidak
serangkai, demikian juga susunan barisnya, dibuat bercerai-berai dari susunan
iramanya. Untuk lebih jelasnya, perhatikan puisi utuhnya berikut ini.
Puasa Kita
Dunia
makna saling menghargai
_dan
memberi
minimal
senyum dalam menyapa
Berjabat
salam antara kita
Tanpa
beban saat berjumpa
Hakikat
batin suci berjiwa
Pada
kefitrian kesejatian diri
Pertanda
insan telah ditempa
Puasa
sebulan karena Tuhan
Bila
berbalik hanya simbolik
_tiadalah
arti
kata
mutiara dihafal mati
Minal
aidzin Wal faidzin
Tiap
tahun bulan berlebaran
tetap
kita hinggap kuburan
Berdasarkan
pemaparan tersebut, maka puisi Maman tidak memiliki karakteristik tertentu yang
khas. Ia hanya meluapkan pikiran dan perasaan dalam bait-bait puisi sebagai
bentuk ekspresi terhadap persoalan realitas yang terjadi. Namun demikian, bukan
berarti puisi-puisi Maman tidak memiliki kekhasan dibanding puisi-puisi penyair
Indonesia lainnya.
Maman
dengan latar belakang kepenyairannya, yang mengenyam pendidikan di Makasar dan
Malaysia, dan kini bekerja di Jakarta membuatnya memiliki diksi yang kaya. Ia
tidak hanya melakukan pengucapan dalam diksi bahasa Indonesia, namun juga
dengan diksi Jakarta, Makasar, dan Malaysia.
Di
dalam konsep linguistik, hal ini disebut sebagai penyimpangan dialek (Leech,
1969: 42-51). Penyimpangan dialek merupakan penggunaan bahasa daerah atau
bahasa lainnya dalam pengucapan sebuah puisi. Misalnya, dalam puisi Ada Yang, dengan santainya Maman
menggunakan diksi Jakarta, yaitu enjoi
aja dan semau gue.
Ada Yang
Ada
yang ketar-ketir
ada
yang hura hura
ada
yang lontang lantur
Ada
yang ragu-ragu
ada
yang huru-hara
ada
yang berlaga-laga
ada
yang berlagu-lagu
lalu
engkau lagi apa
lagi
mau
_semau
gue
Terpenting
enjoi aja
tanpa
kurang ajar
mari
kita belajar
Dalam
bahasa Makasar/Bima (?), Maman menggunakan satu buah kalimat
yang menjadi dasar dari puisinya yang berjudul Sedana Mbojo Kita Bersaudara, yaitu sedana mbojo ya dana doro ‘mbuha. Kalimat ini menegaskan tentang
bagaimana persatuan seharusnya dipupuk, yaitu untuk saling menjaga perdamian
satu sama lain, meski dengan suku berbeda. Tidak sebaliknya, saling membunuh.
Sementara bahasa Malaysia terlihat pada kata hentian, dalam puisi Belum Sempat Hentian dan Kawan saya sungguh girang... dalam puisi
Surat Kegirangan. Sayangnya, kekayaan
bahasa yang dimiliki Maman tidak serta merta membuat Maman menyusun dinamika
bunyi yang eufonik dalam mengekspresikan puisi-puisinya tersebut. (bersambung)
--------
Artikel terkait:
Puisi Maman A Majid Binfas Memiliki Cita Rasa Tersendiri
--------
Artikel terkait:
Puisi Maman A Majid Binfas Memiliki Cita Rasa Tersendiri