KLARIFIKASI. Ketua YLPSS Dahlan Abubakar (kanan) foto bersama Sekretaris Dewan Kehormatan PWI Pusat Sasongko Tedjo, di Gedung PWI Pusat, Jakarta, Rabu, 16 Januari 2019. (Swafoto Dahlan Abubakar)
------
Sabtu, 19 Januari 2019
PWI
Pusat: Keberadaan YLPSS di Sulsel Sudah Klir, Tidak Ada Masalah
MAKASSAR,
(PEDOMAN KARYA). Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)
Pusat menyatakan tidak ada masalah dengan keberadaan Yayasan Lembaga Pers Sulawesi
Selatan (YLPSS) di Sulawesi Selatan.
YLPSS yang didirikan
sejumlah wartawan senior di Sulawesi Selatan dan diketuai Dr Muhammad Dahlan Abubakar
(mantan Pemred Harian Pedoman Rakyat dan
mantan Sekretaris PWI Sulsel) itu bukanlah sempalan atau saingan PWI dan
bukanlah organisasi wartawan yang merekrut anggota sebagaimana PWI, sehingga
keberadaannya tidak perlu dipermasalahkan.
“Kalau begitu yayasan (YLPSS)
tidak ada masalah. Sudah klir. Makanya, kami juga mengundang pengurus JOIN
untuk klarifikasi laporan Pengurus PWI Cabang Sulsel, tetapi tidak hadir,” kata
Sekretaris Dewan Kehormatan PWI Pusat, Sasongko Tedjo, kepada Dahlan Abubakar,
di Gedung PWI Pusat, Rabu, 16 Januari 2019.
Pernyataan Sasongko
Tedjo itu diungkapkan setelah mendengar penjelasan Dahlan Abubakar selaku Ketua
YLPSS tentang keberadaan dan aktivitas YLPSS yang dilaporkan Pengurus PWI
Sulsel.
Dahlan Abubakar
kemudian menuliskan di akun Facebook-nya, Jumat, 18 Januari 2019, tentang kronolis
kehadirannya di Gedung PWI Pusat untuk memenuhi undangan klarifikasi keberadaan
YLPSS atas laporan PWI Sulsel, termasuk pertemuannya dengan Ketua PWI Pusat
Atal S Depari yang merupakan kawan lamanya sebagai sesama mantan wartawan olahraga.
Berikut tulisan Dahlan
Abubakar yang ia beri judul “VERIFIKASI YAYASAN DAN SUA KETUA PWI PUSAT.”
Pada (Rabu) tanggal 16
Januari 2019 saya bertemu dengan kawan lama dan banyak teman lama di PWI Pusat.
Salah seorang di antaranya, Atal Sembiring Depari (foto atas) yang kini
menjabat Ketua Umum PWI Pusat periode 2018-2024.
Sebenarnya saya sudah
lama merencanakan bertemu dengan dia jika ke Jakarta. Pertemuan kali ini pun
“secara kebetulan”. Kok kebetulan padahal sudah direncanakan?
Ceritanya begini. Usai
mengambil testimoni Wakil Presiden M Jusuf Kalla di Jl Veteran III Jakarta
untuk penerbitan edisi revisi buku “A. Amiruddin, Nakoda dari Timur” 14 Januari
2019 siang, dilanjutkan dengan mewawancarai Kak Syafri Guricci (Ketua Dewan
Mahasiswa Unhas 1972-1974) di Tanjung Priok, teman di Jakarta sudah
mem-“booking” tiket saya untuk pulang 15 Januari malam. Nomor “booking: sudah
di tangan, melalui gawai.
Tidak berapa lama,
masuk telepon dari Wina, Staf Sekretariat PWI Pusat, yang menginformasikan
bahwa ada surat dikirim ke Makassar, bahwa saya diundang memberi verifikasi
berkaitan dengan Yayasan Lembaga Pers Sulawesi Selatan (YLPSS) yang saya bentuk
bersama teman-teman tahun 2015.
Saya akan diterima pada
pukul 10.00 Waktu Indonesia Barat (WIB) di Gedung Dewan Pers, Jl Kebon Sirih,
tempat PWI Pusat berkantor di lantai IV.
Memperoleh informasi
tersebut, saya segera menyampaikan ke teman untuk mengubah jadwal kepulangan
saya ke Makassar dari 15 Januari ke 16 Januari malam, dengan pesawat dan jam
yang sama. Teman itu kemudian menyampaikan, sudah diubah dengan nomor kode
“booking” yang sama.
Saya tiba lebih awal,
pukul 09.00 Wita di Kantor PWI Pusat setelah cabut dari hotel pukul 08.30. Saat
tiba, ternyata baru petugas ruangan yang ada di kantor PWI Pusat. Saya pun
dipersilakan duduk seorang diri di sofa ruang tamu, sambil membuka gawai,
karena tas berisi buku dititip di Kantor Perwakilan Pemprov Sulsel.
“Ehhh...Pak Dahlan!!!,”
tiba-tiba terdengar seorang ibu berkulit hitam manis mengenakan jilbab hitam
dipadu dengan baju abu-abu melangkah menyalami saya yang juga segera berdiri.
Ibu tersebut, Elly Sri
Pujianti, staf PWI Pusat yang pernah menghadiri acara ujian kompetensi wartawan
(UKW) yang saya laksanakan bersama teman-teman di Hotel The One, Makassar tahun
2015.
Menjelang pukul 10.00,
karyawan/wati PWI Pusat pun berdatangan, termasuk Ibu Taty, perempuan setengah
umur yang selalu berkomunikasi dengan saya jika ada urusan dengan PWI Pusat.
Pak LE Manuhua, almarhum, pun selalu mengontak Ibu Taty jika ada urusan dengan
PWI Pusat.
“Nanti Pak Sasongko (Sekretaris
Dewan Kehormatan PWI Pusat, red) yang menerima Pak Dahlan,” kata Ibu Taty
sambil menjelaskan bahwa Pak Ilham Bintang selaku Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat
yang seharusnya menerima saya, berhalangan karena kurang sehat.
Begitu Pak Sasongko
datang, saya pun diantar ke ruangannya. Kepada Pak Sasongko, saya menjelaskan
bahwa yayasan yang dibentuk itu (YLPSS) memang diinisiasi oleh para wartawan
senior sebagai wadah untuk melaksanakan kegiatan pendidikan dan pelatihan untuk
membantu meningkatkan kualitas sumber daya manusia wartawan, yang dalam
beberapa tahun tidak lagi dilaksanakan oleh organisasi kecuali oleh media
kampus.
Yayasan (YLPSS) tidak
merekrut anggota. Tidak mengeluarkan kartu identitas apa pun. Semua wartawan
anggota PWI di yayasan, meliput atas nama medianya masing-masing.
“Kami pun sama sekali
tetap sebagai anggota PWI dan tidak pernah keluar dari organisasi profesi ini,”
ujar saya.
Yayasan adalah
organisasi nirlaba. Hanya memang, kegiatan yayasan ini cukup aktif. Sejak
berdiri akhir 2015, YLPSS sudah tiga kali melaksanakan pendidikan dan lokakarya
pers, termasuk Jambore Pers pada tahun 2018.
Pada tahun 2017,
Yayasan pun meluncurkan buku Dr.H.Syahrul Yasin Limpo, S.H., M.Si, M.H.,
Gubernur Sulsel waktu itu. Buku tersebut berisi testimoni sejumlah wartawan
tentang sosok SYL, singkatan namanya. Setelah itu, Pengurus Yayasan diterima
beraudiensi oleh Gubernur Sulsel di ruang kerjanya.
“Terakhir, Yayasan
menyelenggarakan sarasehan dan caramah pendidikan politik atas sponsor seorang
senator dan diikuti peserta dari Sultra, Sulteng, Kaltim, Sulbar, dan Sulsel
sendiri,” kata saya.
”Sumber dana
penyelenggaraan kegiatan dari mana,?” potong Pak Sasongko.
“Saya kebetulan dari
kampus dan memiliki jaringan alumni yang rata-rata pejabat. Saya tinggal
berkomunikasi menawarkan kerja sama kemitraan dengan mereka. Yayasan
menyesuaikan saja dengan program kerja mereka,” kata saya.
“Ada berapa anggota PWI
di yayasan?,” tiba-tiba saja Pak Sasongko terus mengejar saya seperti
mewawancarai seorang nara sumber.
Saya sangat Pede
(percaya diri), karena sebelumnya sudah menjelaskan kepadanya, saya pemegang
Kartu Uji Kompetensi Wartawan (UKW) kategori tertinggi, Wartawan Utama (DW)
dengan nomor urut 183 dari Dewan Pers.
Saya termasuk salah
seorang alumni Yayasan Lembaga Pers Dr.Sutomo (LPDS) karena pernah “belajar”
beberapa hari di situ tahun 2011. Kartu Wartawan Utama tersebut diperoleh atas
usulan dan legitimasi dari LPDS.
Saya satu angkatan
menerima kartu UKW-WU itu dengan Atal S Depari, Ketua Umum PWI Pusat sekarang.
Makanya, kalau teman-teman di PWI Pusat bertemu dengan saya (bukan
menyombongkan diri) selalu diperkenalkan sebagai tokoh pers Sulawesi Selatan
(apalagi senior saya tinggal beberapa orang).
Saya mengatakan kepada
Pak Sasongko, terdapat sedikitnya 8 atau 9 orang anggota PWI di yayasan. Dua
orang meninggal dunia, Dahlan Kadir dan Ismail Jafar, Tetapi intinya, kami di
yayasan tidak pernah meninggalkan dan tetap komitmen menjadi anggota PWI. (Saya
anggota PWI seumur hidup, sama dengan KTP. Jadi, jika akan dipecat karena
dianggap melanggar dengan mendirikan yayasan yang pakai embel-embel “pers”,
jelas tidak bisa).
Kepada Pak Sasongko
juga saya katakan, setiap kegiatan yayasan selalu mengirim surat undangan
kepada Pengurus PWI Cabang Sulsel menghadirinya, tetapi tidak pernah hadir. Itu
bukti kata saya, “kami di yayasan itu tetap memiliki organisasi induk, PWI”.
“Bagaimana dengan JOIN
(Jurnalis Online Indonesia), ada hubungan dengan yayasan,” usut Pak Sasongko
lagi yang pembicaraan ini saya rekam semuanya.
Saya juga tahu dari
berita salah satu harian di Makassar. Waktu membaca itu, -- karena saya tahu di
dalamnya ada anggota PWI yang ketuanya --, ini bakal terkena “sempritan” PWI
ini. Kalau pun ada personel yayasan yang terdaftar, itu atas nama pribadi.
Yayasan tidak terlibat
sama sekali dan tidak ada hubungan dengan organisasi wartawan online tersebut.
Bahkan, yayasan itu, tidak menerima anggota baru. Kecuali pengurus yang diganti
karena ada yang meninggal dunia atau mengundurkan diri.
“Kalau begitu yayasan
tidak ada masalah. Sudah klir. Makanya, kami juga mengundang pengurus JOIN
untuk klarifikasi laporan Pengurus PWI Cabang Sulsel, tetapi tidak hadir,” kata
Sasongko yang setelah itu minta saya juga menjelaskan perkembangan terkini
mengenai persoalan yang berkembang di Sulawesi Selatan.
Saya juga menyarankan
kepada Pengurus PWI Pusat agar lebih arif dan akurat melihat permasalahan yang
terjadi, apakah itu berkaitan dengan masalah kelembagaan/organisasi atau persoalan
pribadi.
Setelah mendengar
penjelasan saya, Pak Sasongko menyampaikan terima kasih atas kehadiran saya
memenuhi undangan PWI Pusat dan sumbang saran saya.
Saya menambahkan,
sebenarnya sudah lama saya meniatkan bertemu pengurus PWI melaporkan keberadaan
yayasan yang saya pimpin. Pas kebetulan juga saya berada di Jakarta untuk suatu
urusan dan ditelepon.
Usai bertemu Pak
Sasongko, saya pun kembali ke sofa tamu, bergabung dengan Pak Marah Sakti
Siregar, salah seorang penguji UKW yang saya selenggarakan. Saat bertemu pun,
justru Pak Marah Sakti yang lebih dulu menegur saya yang dia lihat tidak
bereaksi ketika melihat dirinya.
“Kaca mata saya ini
minusnya mungkin sudah berubah. Jadi kurang mengenal lagi orang jika jarak
jauh,” seloroh saya sambil bangkit menyalaminya. (asnawin / bersambung)
Tags
Liputan Utama