KEPALA SEKOLAH BERPRESTASI. Foto kiri atas Nurlaelah Zainuddin bersama suaminya, kanan atas Nurlaelah bersama Bupati Bulukuma Sukri Sappewali, kanan bawah spanduk SMP 2 Bulukumba saat mengikuti Festival Sains, Seni, Literasi SMP Rujukan Sulsel di Makassar, serta foto kiri bawah siswa SMP 2 Bulukumba saat mengikuti Ujian Nasional Berbasis Komputer.
-------
PEDOMAN KARYA
Sabtu, 09 Maret 2019
Nurlaelah Zainuddin, Kepsek Berprestasi “Dilempar” Jadi Guru Biasa
Oleh: Asnawin Aminuddin
(Pemerhati Pendidikan)
Sejatinya, orang yang
berprestasi akan diganjar dengan penghargaan. Guru berprestasi misalnya, jika sudah
memenuhi syarat, dapat diberikan penghargaan berupa promosi menjadi kepala
sekolah. Begitu pun dengan pegawai atau karyawan berprestasi, sejatinya akan
diganjar dengan penghargaan berupa hadiah atau promosi jabatan.
Namun di banyak tempat dewasa ini, orang-orang berprestasi bukannya diganjar dengan penghargaan atau hadiah, melainkan “dilempar” atau dimutasi ke tempat yang lebih rendah atau bahkan dinon-jobkan. Dan itulah yang dialami Nurlaelah Zainuddin.
Nurlaelah Zainuddin termasuk
kepala sekolah berprestasi, tapi di puncak berbagai capaiannya, ia justru “dilempar”
menjadi guru biasa ke sekolah yang juga pernah ia pimpin dan besarkan sebagai
kepala sekolah.
Jika ia melakukan
pelanggaran berat, maka “pelemparan” atau “pembuangan” yang dialaminya mungkin
bisa dimaklumi, tetapi jika tidak ada kesalahan atau pelanggaran apa-apa yang
dilakukannya, maka tentu saja “pelemparan” atau “pembuangan” yang dialaminya patut
dipertanyakan.
Maka sangat wajar kalau
kemudian Nurlaelah Zainuddin mengungkapkan kekecewaannya melalui
media sosial Facebook, sekaligus meluruskan beberapa hal terkait tudingan miring terhadap dirinya.
Nurlaelah Zainuddin awalnya terangkat menjadi guru di SMP 3 Kabupaten Bantaeng (1984-1994), kemudian pindah ke SMP 2 Bulukumba (1994-2007). Ia kemudian diangkat menjadi Kepala Sekolah di SMP Negeri 3 Bulukumba (2008-2015).
Di bawah
kepemimpinannya sebagai kepala sekolah selama tujuh tahun, perempuan kelahiran Bontobahari, 13 Desember 1962 ini berhasil membesarkan SMP 3 Bulukumba dari sekolah tipe kecil yang hanya
terdiri atas beberapa Rombel (rombongan belajar) menjadi 12 Rombel.
“Saat saya dimutasi
menjadi Kepala Sekolah di SMP Negeri 2 Bulukumba, Rombel di SMP 3 Bulukumba
berjumlah 12, tetapi sekarang Rombelnya malah berkurang menjadi tujuh Rombel,”
ungkap Nurlaelah saat berbincang-bincang dengan penulis.
Ironisnya, beberapa
tahun setelah menjabat Kepala Sekolah SMP Negeri 2 Bulukumba (2015-2018) dengan berbagai
prestasi dan capaian yang dihasilkannya, ia justru “dilempar” kembali ke SMP
Negeri 3 dengan status guru biasa.
Tentu saja menyakitkan
dan cenderung memalukan. Lebih ironis lagi, tunjangan profesinya atau yang
lebih dikenal dengan sebutan tunjangan sertifikasi, terancam tidak bisa
terpenuhi karena jumlah Rombel di SMP 3 hanya tujuh, sehingga tidak mungkin
terpenuhi jumlah jam mengajar guna pemenuhan tunjangan profesi tersebut.
Bahagia
dan Bangga
“Kalau menengok dari
sejarah perjalanan saya membina sekolah dan guru, maka seharusnya sayalah
manusia yang paling bahagia dan bangga, karena tiga orang guru yang pernah
menjadi binaan saya, bersamaan diangkat menjadi kepala sekolah,” ungkap
Nurlaelah yang bersuamikan Zainuddin Karim (mantan Kepala Sekolah SMP 4 Bulukumba di Ponre').
Ketiga guru dimaksud,
yaitu Drs Muhammad Yusuf (guru SMP 3 yang diangkat menjadi Kepala Sekolah di
SMP 3), Drs Sahiruddin (guru SMP 2 diangkat menjadi Kepala Sekolah di SMP 2),
serta Dra Andi Ratnawati (guru SMP 2 diangkat menjadi Kepala Sekolah di SMP 12).
Sayangnya, kebahagiaan
dan kebanggaan Nurlaelah atas terangkatnya ketiga guru itu menjadi kepala
sekolah, sirna oleh kebijakan pemerintah setempat yang mengembalikan dan “melemparkan”
dirinya dari jabatan kepala sekolah di SMP 2 Bulukumba menjadi guru biasa di
SMP 3 Bulukumba.
Ditendang
Seperti Bola
Nurlaelah Zainuddin
dimutasi dan diturunkan dari Kepala Sekolah di SMP 2 Bulukumba ke SMP 3
Bulukumba pada 07 Agustus 2018. Waktu itu, siswa kelas tiga sudah tamat, tapi
ijazah resmi belum terbit. Tapi Surat Keputusan (SK) mutasinya baru ia terima
pada Oktober 2018.
Belum genap sebulan data
Dapodiknya masuk di SMP 3, terbit lagi SK mutasi atas dirinya ke SMP 6, tapi
SK-nya lagi-lagi diserahkan belakangan, tepatnya pada 15 November 2018, padahal
penetapannya tertanggal 13 Agustus 2018.
“Layakkah seorang kepala
sekolah rujukan (SMP 2 Bulukumba adalah sekolah rujukan, red) diperlakukan
seperti bola yang ditendang kesana-kemari?” tanya Nurlaelah.
Menolak
Menandatangani Ijazah
Ijazah untuk siswa SMP
2 yang tamat tahun pelajaran 2017/2018 baru terbit saat Nurlaelah sudah
dimutasi ke sekolah lain, tetapi kepala sekolah nama yang tertera di dalam
ijazah tersebut masih atas namanya. Namun karena merasa bukan lagi sebagai
kepala sekolah, maka ia pun menolak menandatangani ijazah tersebut.
“Saya ingin meluruskan
bahwa masalah ijazah (yang ia tidak mau tandatangani) tidak ada kaitannya dengan
mutasi saya dari kepala sekolah di SMP 2 menjadi guru biasa di SMP 3. Saya
bukan menolak menandatangani, karena saya sebenarnya sudah menandatangani tiga
lembar ijazah, tapi saya menghentikan menandatangani ijazah yang lain karena saya
merasa diperlakukan tidak nyaman di sekolah,” ungkap Nurlaelah.
Ia berkesimpulan bahwa sebagai
orang yang pernah diberi amanah sebagai penanggungjawab, ia tidak lagi diberi
kewenangan mengelola sekolah, mengelola tenaga pendidik dan tenaga
kependidikan, mengelola proses pembelajaran.
“Maka saya pun merasa
tidak perlu juga bertanggungjawab pada ijazah, karena saya merasa tidak diberi
kewenangan,” papar ibu dari enam anak dan nenek dari empat cucu ini.
Prestasi
dan Penghargaan
Sebagai kepala sekolah,
Nurlaelah Zainuddin telah menorehkan berbagai prestasi dan memperoleh berbagai
penghargaan untuk sekolah yang dipimpinnya.
SMP Negeri 3 Bulukumba
yang dipimpinnya selama tujuh tahun, tepatnya dalam pada kurun waktu 2008-2015,
berhasil ia besarkan dari sekolah tipe kecil yang hanya
terdiri atas beberapa Rombel (rombongan belajar) menjadi 12 Rombel.
Setelah itu, ia
mendapat amanah sebagai Kepala Sekolah di SMP 2 Bulukumba. Dengan perhitungan
yang matang, ia memulai pelaksanaan Ujian Nasional Berbasis Komputer mulai tahun 2017, dan juga memulai
Pelaksanaan Penguatan Pendidikan Karakter, serta mengangkat nama Kabupaten Bulukumba
pada Lomba Tata Kelola Sekolah Tingkat Nasional Tahun 2017.
“Hanya tujuh sekolah di
Sulsel yang ditunjuk sebagai Sekolah Rujukan dan salah satunya yaitu SMP 2
Bulukumba,” ungkap Nurlaelah.
Penghargaan
yang diterima SMP 2 Bulukumba saat dipimpin Nurlaelah antara lain Sekolah
Adiwiyata Nasional Tahun 2015 dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
RI dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Selanjutnya,
Juara II Lomba Kebersihan dan Keteduhan Sekolah Titik Pantau Adipura (SMP/SMU)
dari Pemda Bulukumba, Juara I Lomba Sekolah sehat Tingkat SMP/MTs Kabupaten
Bulukumba tahun 2015 dari Pemkab Bulukumba, serta Juara I Lomba Perpustakaan
Sekolah Tingkat SMP se-Kabupaten Bulukumba tahun 2015. ***
Mutasi politik dlm dunia pendidikan itu keji dan teknologi manusiawi bagusnya kejadian ini diusuk
BalasHapusBongkar
HapusBetul itu kalau politik jangan dibawa dalam menentukan aparatur negara.
BalasHapusHeboh beritanya ini
BalasHapus