Penulis, M Dahlan Abubakar (kiri) berswasfoto bersama Firmansyah, di depan Kantor KONI Sulawesi Selatan, Makassar, Jumat sore, 24 Mei 2019.
-------
PEDOMAN KARYA
Ahad, 26 Mei 2019
Firmansyah, Anak SD Penjual Telur Puyuh
Dia tergeletak pulas di atas beton penyanggah tiang ATM “drive
thru” Bank Sulselbar di depan Kantor KONI Sulawesi Selatan, Makassar, Jumat
sore, 24 Mei 2019. Lonceng buka puasa tinggal satu jam. Jam-jam begini memang
termasuk situasi rawan. Apalagi bagi sosok bocah berusia 11 tahun yang kini
duduk di kelas 6 SD Layang 72, Jl Tinumbu, Makassar, yang lagi terlelap
kecapean tersebut.
Saya melangkah menuju pria mungil itu berbaring. Di
sampingnya, tegak keranjang plastik berisi 20 dos kecil telur burung puyuh yang
ternyata belum ada yang laku.
Saya menggoncang-goncang pelan tubuh kerempengnya. Tubuhnya
berbalut kaos garis-garis hitam, berrkerah dan berbis lengan merah dan terlihat
kebesaran. Baju tersebut tertulis Captain Divisi di dada sebelah kiri.
Kepalanya tertutup oleh songkok musiman Ramadan. Celananya setengah buntung
berwarna hijau muda mirip abu-abu.
“Ehh...bangun..bangun..., Nak,” kata saya sembari
menggoncang-goncang pelan tubuh kecilnya.
Dia kaget. Sambil menggosok matanya, dia segera bangun karena
merasa ada yang mengusiknya. Ketika matanya terbuka, selembar uang warna biru
sisa pembeli bensin di SPBU Jl.G.Bawakaraeng yang tidak jadi dibelanjakan, saya
serahkan.
“Nak, kau simpan ini baik-baik. Ini bukan harga telur
puyuhmu, melainkan harga tidurmu yang telah saya ganggu, “ saya menggumam
sembari menatapnya.
Dia tampak malu-malu, bersanding dengan iba hati saya melihat
wajahnya yang kusut. Beberapa saat saya belum bertanya apa-apa. Seolah hati
saya berkecamuk, berlawanan dengan nurani. Antara mau memberondongnya dengan
pertanyaan dengan rasa kasihan yang menghadang. Ah, saya kuatkan bertanya
dengan sangat pelan beraroma membujuk.
Remaja ini, Firmansyah, sejak empat tahun terakhir ini
menjadi tulang punggung kehidupan keluarganya. Bersama ibu dan seorang adiknya
yang berusia 5 tahun, dia ditinggal ayahnya yang konon ke Jawa. Tidak jelas
bagaimana status ayah dengan ibunya, tetapi sang ibu hanya tinggal di rumah
mengurus si gadis kecil, Ayodya yang siap-siap masuk taman kanak-kanak.
Sapaan yang indah, terbayangkan nama para perempuan tepi
Sungai Gangga, India, negara yang pernah saya sambangi tahun 1982 ketika
meliput Asian Games IX New Delhi bersama 10 wartawan Indonesia lainnya.
Firman, panggilannya, mulai menjajakan telur burung puyuh
setelah pulang sekolah. Biasanya pukul 15.00, dia mulai meninggalkan rumahnya
di Jl Tinumbu 142, merambah sejumlah ruas jalan kota yang padat. Menyusuri tepi
jalan, sambil mata menatap tajam dan kuping tetap awas, kalau-tampak dan
terdengar kata “telur puyuh.”
Dia juga menyinggahi kerumunan-kerumunan orang, berharap ada
yang berminat pada jualan telur puyuh yang se-kotaknya seharga 5.000 perak.
Jika jualannya laris manis, Firman akan membawa pulang uang 100 ribu perak.
Dari jumlah itu, bosnya akan memberinya komisi Rp 30.000. Lumayan.
Kalau tidak ada yang laku, biasa bosnya iba juga. Ongkos capek
Firman dia hargai dengan Rp10.000. Mungkin sang bos merasa kasihan juga, anak
ini sudah berusaha setengah hari mencari pembeli.
Tetapi, saban hari, kalau untung betul dia mampu meraup
Rp30,000 - Rp50.000 saja. Itu pun tidak tentu. Apalagi di bulan Ramadan, saat
sebagian besar orang memilih lauk yang lain untuk menikmati buka puasa yang
lezat.
Anak ini merondai pembeli kadang hingga pukul 01.00 dinihari.
Untung si begal tak pernah mengganggunya. Syukur.
“Firman, jangan pulang, ya. Kau buka puasa dan makan di sini,”
kata saya sebelum bergabung dengan para undangan pada jejeran kursi di depan
kantor KONI Sulsel karena rangkaian acara buka puasa bersama akan segera
dimulai.
Ketika ustaz yang membawakan ceramah buka puasa diikuti akhir
ujung doanya yang bersamaan dengan para undangan bangun menyerbu meja, tempat
kolak pisang tersedia, saya pun bangun. Saya juga takut stok kolak tidak cukup.
Ah..dugaan saya meleset ternyata, Stoknya banyak. Saya ambil
dua gelas lengkap dengan sendok plastik warna putih. Saya berjalan kembali ke
tempat Firman dan memberinya satu gelas plastik kolak.
“Sebentar kau makan nasi ya, saya pergi shalat dulu,” pinta
saya yang dibalasnya dengan anggukan.
Usai shalat, banyak undangan yang menyerbu makanan prasmanan
di ruang depan Kantor KONI Sulsel “mementalkan” niat saya untuk segera ikut
antre. Saat agak longgar, saya pun ikut berbaris dan antre. Saya mengambil
sepiring nasi dengan dengan sayur dan ayam goreng dua kerat. Saya berjalan
keluar, melepaskan pandangan ke arah depan ATM. Firman tidak ada.
“Ke mana anak itu?,” sempat juga saya membatin gelisah.
Mata saya jelalatan mencarinya. Sebab, kalau dia tidak ada,
terpaksa saya sendiri yang “embat” nasi ini. Saya berniat akan menyantap nasi
di rumah setelah salat tarawih. Jatah saya serahkan kepada si cilik Firman. Toh
kolak pisang sudah cukup membuat perut “siuman”, bebas lagi dari keroncongan.
Eee.. ternyata Firman duduk di pojok selatan deretan kursi
bagian belakang. Nasi di piring itu berpindah setelah saya mendekat. Saya pun
meninggalkannya setelah memberinya satu gelas air mineral. Saya tidak sempat
melihatnya pergi, karena harus "nebeng" dengan Prof Musakir, pergi
menunaikan shalat tarawih di Masjid RRI Makassar malam itu. (M Dahlan Abubakar)