LOMBA KALIGRAFI. Beberapa murid mengikuti lomba kaligrafi lontara Bugis - Makassar, di SD Negeri Borong, Makassar, Sabtu 27 April 2019. (Foto: Rusdin Tompo)
----
Rabu, 01 Mei 2019
Murid SD Berpidato Pakai Bahasa Makassar dan Bahasa Minang
MAKASSAR, (PEDOMAN KARYA). Decak kagum sesekali terdengar, begitu anak yang berada di panggung mampu berbahasa daerah secara fasih. Apalagi, anak-anak itu dengan retorika yang baik, juga menyelipkan pesan-pesan tentang pentingnya menjaga kebersihan dan lingkungan hidup.
"Punna bajiki pa'rasangang ta’, tantu baji tongi sallang ikatte ngaseng," begitu yang disampaikan Muhammad Nebu, saat berpidato dalam bahasa Makassar.
"Punna bajiki pa'rasangang ta’, tantu baji tongi sallang ikatte ngaseng," begitu yang disampaikan Muhammad Nebu, saat berpidato dalam bahasa Makassar.
Dalam pidatonya, Nebu menegaskan bahwa jika lingkungan kita baik, maka kita juga yang akan merasakan manfaatnya.
Murid kelas V ini bahkan mampu berpidato dalam bahasa Makassar tanpa teks dengan fasih. Maklum, Nebu memang piawai bercerita dan mendongeng. Nebu merupakan salah satu peserta lomba pidato berbahasa daerah.
Lomba ini merupakan bagian dari kegiatan Bulan Kebudayaan Kota Makassar, yang diadakan SD Negeri Borong, pada Sabtu, 27 April 2019.
Lomba ini merupakan bagian dari kegiatan Bulan Kebudayaan Kota Makassar, yang diadakan SD Negeri Borong, pada Sabtu, 27 April 2019.
Selain lomba pidato berbahasa daerah, juga diadakan lomba lagu daerah, dan kaligrafi lontara. Sekolah yang berada di Kecamatan Manggala ini, sebelumnya ikut menghelat pencanangan Hari Kebudayaan Kota Makassar, tanggal 1 April 2019.
"Kami ingin anak-anak sadar lingkungan, sekaligus dekat dengan budaya lokal. Karena itu, tema kegiatan ini adalah penguatan sekolah adiwiyata berbasis nilai-nilai budaya," kata Kepala Sekolah SD Negeri Borong Makassar, Dra Hj Hendriati Sabir MPd.
Itulah mengapa pesan--pesan yang disampaikan peserta sarat dengan ajakan untuk menjaga kebersihan, baik itu kebersihan diri, rumah dan tempat tinggal, lingkungan sekolah, maupun kebersihan kota.
"Kami ingin anak-anak sadar lingkungan, sekaligus dekat dengan budaya lokal. Karena itu, tema kegiatan ini adalah penguatan sekolah adiwiyata berbasis nilai-nilai budaya," kata Kepala Sekolah SD Negeri Borong Makassar, Dra Hj Hendriati Sabir MPd.
Itulah mengapa pesan--pesan yang disampaikan peserta sarat dengan ajakan untuk menjaga kebersihan, baik itu kebersihan diri, rumah dan tempat tinggal, lingkungan sekolah, maupun kebersihan kota.
Para peserta menekankan bahwa jika suasana sekolah bersih dan nyaman maka akan mendukung proses belajar mengajar. Peserta juga mengajak hadirin untuk memilah sampah dan melakukan daur ulang sampah.
"Lingkunganta’ parallu nikatutui baji-baji, jagai katangkasannna sikolata’," ajak peserta yang lain. Maksudnya, kira-kira, lingkungan itu perlu dijaga baik-baik, dan jaga kebersihan sekolah kita.
Bukan hanya pidato dalam Bahasa Makassar dan Bahasa Bugis, bahkan ada peserta berpidato dalam bahasa Minang.
"Lingkunganta’ parallu nikatutui baji-baji, jagai katangkasannna sikolata’," ajak peserta yang lain. Maksudnya, kira-kira, lingkungan itu perlu dijaga baik-baik, dan jaga kebersihan sekolah kita.
Bukan hanya pidato dalam Bahasa Makassar dan Bahasa Bugis, bahkan ada peserta berpidato dalam bahasa Minang.
Azkia, murid kelas VI, yang memang berdarah Minang tampil berpidato lengkap dengan busana tradisional Sumatra Barat. Lomba ini memang terbuka bagi setiap murid untuk membawakan pidato sesuai bahasa ibunya.
Beberapa guru mengaku kagum meski ada anak yang terbata-bata membacakan naskah pidatonya. Begitu ada kalimat-kalimat yang terdengar "asing", mereka mengaku tidak mengerti bahasa daerah yang dibawakan oleh peserta lomba pidato. Apalagi anak-anak milenal yang tinggal di kota, sudah sangat jarang kita mendengar mereka menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pergaulan.
Tak kalah uniknya adalah lomba kaligrafi lontara. Peserta meniru pappasang turiolo atau pesan-pesan orang tua yang berbunyi, "rampea’ golla, na kurampeko kaluku". Ini adalah Bahasa Bugis yang artinya, kenanglah aku semanis gula dan aku akan mengenangmu seenak kelapa. Kalimat ini hendak berpesan bahwa ingatlah kebaikan seseorang supaya dibalas dengan kebaikan pula.
Keunikan lomba kaligrafi lontara ini karena peserta menggunakan pewarna dari bahan-bahan alami.
Beberapa guru mengaku kagum meski ada anak yang terbata-bata membacakan naskah pidatonya. Begitu ada kalimat-kalimat yang terdengar "asing", mereka mengaku tidak mengerti bahasa daerah yang dibawakan oleh peserta lomba pidato. Apalagi anak-anak milenal yang tinggal di kota, sudah sangat jarang kita mendengar mereka menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pergaulan.
Tak kalah uniknya adalah lomba kaligrafi lontara. Peserta meniru pappasang turiolo atau pesan-pesan orang tua yang berbunyi, "rampea’ golla, na kurampeko kaluku". Ini adalah Bahasa Bugis yang artinya, kenanglah aku semanis gula dan aku akan mengenangmu seenak kelapa. Kalimat ini hendak berpesan bahwa ingatlah kebaikan seseorang supaya dibalas dengan kebaikan pula.
Keunikan lomba kaligrafi lontara ini karena peserta menggunakan pewarna dari bahan-bahan alami.
Seorang ibu yang tengah menyaksikan sekelompok anak meramu warna, mengakui lomba seperti ini sangat baik. Supaya anak-anak tahu ada banyak tumbuhan di sekitarnya bisa dimanfaatkan. Bukan itu saja, anak-anak juga terlihat saling membantu. Ada usaha untuk bisa mendapatkan warna seperti diharapkan.
"Warna kuning ini dari kunyit, sedangkan yang warna hijau dari daun pandan," jelas Rezki Amelia, murid kelas V sembari memperlihatkan wadah bekas minuman.
Lain lagi dengan Alif. Murid kelas V ini membuat warna ungu dari buah naga, sedangkan warna hijau dari daun suci. Ada juga anak yang menggunakan daun biyana, arang dan daun-daunan yang mereka tidak kenali namanya.
Namanya anak kekinian yang akrab dengan gawai, rupanya mereka tak bisa lepas dari mesin pencari Google. Beberapa anak terlihat mengunduh contoh gambar untuk mengembangkan ide kaligrafi lontaranya. (din)
"Warna kuning ini dari kunyit, sedangkan yang warna hijau dari daun pandan," jelas Rezki Amelia, murid kelas V sembari memperlihatkan wadah bekas minuman.
Lain lagi dengan Alif. Murid kelas V ini membuat warna ungu dari buah naga, sedangkan warna hijau dari daun suci. Ada juga anak yang menggunakan daun biyana, arang dan daun-daunan yang mereka tidak kenali namanya.
Namanya anak kekinian yang akrab dengan gawai, rupanya mereka tak bisa lepas dari mesin pencari Google. Beberapa anak terlihat mengunduh contoh gambar untuk mengembangkan ide kaligrafi lontaranya. (din)