Penulis, M Dahlan Abubakar (kiri) foto bersama Mualim I KM Tilongkabila, Zubair,di dekat tangga KM Tilongkabila. (ist)
-----
PEDOMAN KARYA
Kamis, 20 Juni 2019
Zubair,
Mualim I KM Tilongkabila (2-habis):
Dermaga Tenggelam, Pedomankan Tiang Listrik
Oleh: M Dahlan Abubakar
(Wartawan senior)
Unsur
pimpinan di KM Tilongkabila terdiri atas nakhoda, Mualim I, Mualim II, Mualim III,
dan Mualim IV. Di bawahnya lagi ada Masinis, Kepala Kamar Mesin (KKM), dan
sebagainya.
Tugas
Mualim I mengkoordinasi ketiga mualim lainnya dan melaporkannya ke nakhoda
hasil bidang tugas mereka jika ada yang perlu. Mualim II menangani masalah
navigasi, peta, buku navigasi.
Mualim
III menangani alat-alat keselamatan, sementara Mualim IV bertanggung jawab
terhadap alat-alat dan perawatannya, serta berkaitan dengan masalah darurat
seperti kebakaran dan sebagainya.
Menurut
salah seorang unsur pimpinan di anak perusahaan PT Pelni dalam percakapan
dengan saya di Bima, Zubair sebenarnya sudah harus masuk job nakhoda, karena
pernah menjabat Mualim II dan kini Mualim I.
“Paling
tidak, dia harus menjabat nakhoda di kapal sekelas Tilongkabila, tetapi Zubair
itu orang jujur. Tidak mau neko-neko,” kata Muhammad Ibrahim yang pernah
menjabat sejumlah Kepala Cabang PT Pelni di Indonesia, termasuk di Makassar dan
kini masuk lagi di Jakarta untuk kesekian kalinya.
Zubair
setamat SMP Negeri 17 Tamangapa Makassar tahun 1987, melanjutkan pendidikan ke
SMA Negeri 10 Makassar dan tamat pada tahun 1990. Dari sekolah ini dia langsung
masuk BPLP dan memperoleh ikatan dinas dengan PT Pelni pada tahun 1993.
Setelah
praktik lapangan setahun (1994), dia kembali ke kampus untuk menyelesaikan
pendidikan. Pada tahun 1995 dia menandatangani kontrak dengan PT Pelni.
Antara
tahun 1999-2000 Zubair bekerja di kapal
yang dioperasikan oleh PT Pelni dengan trayek sampai ke Singapura. Pada
saat seperti ini dia hanya dapat membaca informasi perkembangan Tanah Air
melalui surat kabar yang dikirim ke Kantor Duta Besar Republik Indonesia di
negara pulau itu.
“Jika
hendak mendengar informasi, saya sering menyetel radio di kapal yang sering
diputar tengah malam. Itu Programa Dua yang memang untuk di kapal. Melalui
radio inilah kita bisa mendengar berita mengenai Tanah Air,” kata pria yang
mengakui sering membaca harian Pedoman Rakyat langganan pamannya.
Pada
tahun 2006-2007, Zubair pernah menjabat Mualim II. Sebelum naik ke
Tilongkabila, dia pernah bertugas di KM Leuser dengan rute sampai ke Merauke,
Papua.
Ditanya
mengenai suka duka menjadi seorang pelaut, Zubair mengatakan, pada saat orang
sibuk berlebaran, dia dan ABK lainnya juga sibuk melayani mereka yang hendak
berlebaran.
Pada
lebaran tahun 2019 ini saja, KM Tilongkabila berkali-kali “mondar-mandir”
Makassar-Bima dan sebaliknya. Pada tanggal 30 Mei 2019 dia mengangkut sekitar
1.300 penumpang, di antaranya sekitar 600 penumpang gratis Semen Indonesia-Semen
Tonasa.
Kapal
yang biasanya memiliki kecepatan maksimal 15 knots tersebut, dalam pelayaran
menjelang akhir Mei 2019 itu meluncur dengan dengan kecepatan 11,5 knots.
Selain karena usia (sejak 1995), juga melaju memotong tabrakan samping kiri
kanan arus Laut Flores ke selatan.
“Pada
saat Lebaran ada dispensasi tambahan penumpang sekitar 30%,” kata Zubair.
Trayek
Makassar-Bima boleh dikatakan termasuk rute gemuk bagi KM Tilongkabila.
Bayangkan saja, setelah “membongkar” penumpang di Bima pukul 19.30 Wita pada 30
Mei 2019 itu, pada pukul 22.00 KM Tilongkabila kembali ke Makassar dan pada 2
Juni kembali lagi ke Bima.
Dari
Bima 4 Juni kapal dengan panjang-lebar 99,80m-18 m itu menyinggahi Labuan Bajo
ke Makassar, kemudian menyelesaikan rute normalnya ke Baubau, Raha, Kendari,
Luwuk, Gorontalo, dan Bitung (pp).
Pada
tanggal 13 Juni, kapal dengan berat kotor-bersih: 6.022 ton-1.806 ton ini tiba
di Makassar dan melanjutkan pelayaran ke Bima lagi via Labuan Bajo. Setiba di
Bima, 15 Juni langsung ke Makassar, lalu kembali ke Bima dan berangkat lagi 17
Juni 2019. Keesokan harinya, 18 Juni, via Labuan Bajo kembali lagi ke Bima.
Sesuai jadwal, 21 Juni dari Bima via Labuang Bajo ke Makassar.
Pada
tanggal 24 Juni tiba lagi di Bima berlayar ke Makassar. Keesokan harinya, 25
Juni meninggalkan Makassar menyinggahi Labuan Bajo mengikuti rute normal di
bagian selatan Indonesia dan 30 Juni berangkat dari Bima-Labuan Bajo dan
Makassar, mengakhiri trayek Lebarannya dan memasuki trayek normal.
Pedoman Tiang
Listrik
Salah
satu pengalaman yang sedikit “mengerikan” pernah dialami Zubair dengan KM
Tilongkabila pada akhir tahun 2016. Desember tahun itu, Kota Bima dihantam
banjir bandang yang menyapu bersih seluruh pemukiman warga di ibukota Bima itu
dengan ketinggian akhir sampai 2 m.
Kendaraan
sepupu saya yang diparkir di jalan di Kelurahan Salama, pun tergiring arus air
hingga ratusan meter dan kemudian terhalang oleh sebuah truk yang lebih dulu
mengalami nasib yang sama dan parkir melintang di areal pemakaman di ujung
barat kelurahan.
Banjir
ini “mengepung” dari dua arah. Pada tanggal 21 Desember 2016, banjir datang
dari arah timur. Setelah merendam Desa Maria dan Desa Kambilo di Wawo, daerah
dataran tinggi sekitar 25 km di timur Kota Bima, air bah yang mengaliri ruas
jalan bagaikan sungai itu melabrak kota yang sedang sibuk-sibuknya.
Dua
hari kemudian, banjir serupa menyerbu dari arah utara, kiriman daerah
ketinggian Kecamatan Wera yang hutannya sudah banyak yang “botak”.
Data
sementara dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Bima sebagaimana
dilaporkan media, 593 rumah rusak berat, 2.400 rumah rusak sedang, 16.226 rumah
rusak ringan. Tidak ada korban jiwa meninggal. Seorang anak yang dilaporkan
hilang sebelumnya, ditemukan dalam kondisi selamat.
Ternyata
banjir pada hari pertama, Rabu, 21 Desember 2016, bertepatan dengan KM
Tilongkabila merapat malam keesokan harinya. Waktu itu sekitar pukul
01.00-02.00 (22 Desember 2016), kapal dengan kecepatan maksimal 15 knots ini
memasuki Teluk Bima setelah melewati “Asa Kota” (mulut kota) yang sempit, lebar
sekitar 1 km.
Repotnya,
ketika terjadi banjir itu, listrik padam dan komunikasi seluler mati. Zubair
mencoba menelepon perusahaan (PT Pelni) – pasti -- gagal tersambung. Beruntung
ada komunikas melalui handytalky (HT) kapal dengan daratan,
“Mana
dermaga, sudah tenggelam. Akhirnya yang jadi patokan cuma tiang listrik. Banyak
penumpang terisolasi,” kata Zubair dalam wawancara ketika kami bertemu lagi
usai salat magrib di musala kapal.
Zubair mengatakan, Pelabuhan Bima sudah mengalami pendangkalan, karena pengaruh sungai yang bermuara di Teluk Bima. Jika KM Tilongkabila mau sandar, katanya, harus hati-hati.
“Kalau
sandar kiri, tidak boleh terlalu maju. Begitu pun kalau sandar kanan,” ujarnya.
Sebenarnya
berdasarkan berita yang saya baca, pada tahun 2018 dimulai perpanjangan dermaga
dari 50 m menjadi 150 m, sehingga kapal dengan tonase 5.000 dead weight ton
(DWT) bisa sandar.
Dermaga
pelayaran rakyat pun diperpanjang dari 50 m menjadi 200 m, sehingga kapal
dengan tonase 2.000 ton bisa sandar. Lapangan penumpukan pun dibangun seluas
1.600 m2 guna memuat 1.000 kontainer setiap tahun,
Kepala
Kantor Syahbandar dan Otoritas Pelabuhan (KSOP)
Bima, M Junaidin, saat mendampingi kunjungan Menteri Perhubungan Budi
Karya Sumadi 10 September 2017 – seperti diberitakan Kupang Pos– mengatakan,
Pelabuhan Bima merupakan pintu keluar pengiriman komoditas bawang merah dan
ternak sapi.
Sekali
kirim bisa mencapai 400 ton bawang dan dalam seminggu mencapai 800 ton. Tiap
bulan sekitar 1.500 ekor sapi keluar dari pelabunan ini dikirim ke Surabaya,
Kalimantan, dan Sulawesi.
KM
Tilongkabila mengakhiri pelayaran saya dan keluarga pukul 19.30 Wita sehari
menjelang penghujung Mei 2019. Saya pun menuruni tangga kapal bersesakan dengan
para buruh pelabuhan yang memburu penumpang yang ingin menggunakan jasanya.
Di
dermaga saya berhenti menunggu anggota keluarga yang lain turun dan menjaga
barang bawaan yang lumayan banyaknya. Tidak terasa, dari arah samping kanan Pak
Zubair bergabung dengan saya setelah turun melalui tangga gantung di lambung
kiri kapal.
Kami
menyambung cerita lagi. Bertepatan pula bergabung anak saya Hery, seperti saya
sebut pada bagian awal tulisan ini, satu almamater dengan Pak Zubair. Kami kian
tambah akrab, karena istrinya, teman se-angkatan dengan Hery.
Plt
Kepala Pelni Cabang Bima pun bergabung dan melaporkan jumlah penumpang yang ikut dalam
pelayaran balik ke Makassar pukul 22.00 Wita malam itu. Lebih dari 200 orang,
yakni mereka yang hendak berlebaran dengan keluarganya di Sulawesi Selatan.
Kami
foto bersama dan kemudian berpisah, karena Pak Zubair akan mempersiapkan segala
sesuatunya untuk berlayar lagi. Jabat tangan akrab menutup pertemuan di bibir
dermaga, setelah saling bertukar nomor telepon. Dan, lewat nomor itulah, saya
mengirim layanan pesan pendek pada pukul 19.05 tanggal 15 Juni 2019, lima hari
setelah saya tiba kembali dari Bima.
“Ass.ww.
Selamat Hari Raya, Maaf Lahir dan Batin. Sehat dan sukses selalu. Jam berapa
merapat di Pelabuhan Makassar, Tabe. Wassalam”.
“Waalaikumussalam,
mohon maaf lahir dan batin. Rencana pukul 23.00, Insha Allah,” jawab Pak Zubair
12 menit (pukul 19.17 Wita) kemudian.
Saya menengok kalender,
menunjuk 15 Juni 2019, berarti KM Tilongkabila siap merapat lagi di Pelabuhan
Makassar mengantar arus balik mudik dari tanah kelahiran saya. ***
-------
Baca juga:
Mendidik Anak dengan Budaya Disiplin
-------
Baca juga:
Mendidik Anak dengan Budaya Disiplin