Setelah menerima tugas
tersebut, saya bergegas menemui suami dan anak bungsu saya yang menunggu di
taman kampus, lalu pergi ke restoran McDonald's yang berada di kampus. Pagi itu udaranya
sangat dingin dan kering. Sewaktu suami saya akan masuk dalam antrian, saya
minta agar dia saja yang menemani si bungsu sambil mencari tempat duduk dan
saya ikut antrian.
-------
PEDOMAN KARYA
Kamis, 18 Juli 2019
Mahasiswa Indonesia dan Tunawisma di Jerman
Saya adalah ibu dari
tiga orang anak dan baru saja menyelesaikan kuliah saya. Kelas terakhir yang
harus saya ambil adalah Sosiologi. Tugas terakhir dosen yang diberikan kepada
siswanya diberi nama “Smiling.”
Seluruh siswa diminta
untuk memberikan senyumnya kepada tiga orang yang tidak dikenal yang ditemui
dan mendokumentasikan reaksi mereka. Setelah itu setiap siswa diminta untuk
mempresentasikan di depan kelas. Saya adalah seorang yang mudah bersahabat dan
selalu tersenyum pada setiap orang. Jadi, saya pikir, tugas ini sangatlah
mudah.
Setelah menerima tugas
tersebut, saya bergegas menemui suami dan anak bungsu saya yang menunggu di
taman kampus, lalu pergi ke restoran McDonald's yang berada di kampus.
Pagi itu udaranya
sangat dingin dan kering. Sewaktu suami saya akan masuk dalam antrian, saya
minta agar dia saja yang menemani si bungsu sambil mencari tempat duduk dan
saya ikut antrian.
Ketika saya sedang
dalam antrian, mendadak setiap orang di sekitar kami bergerak menyingkir, dan
bahkan orang yang semula antri di belakang saya ikut menyingkir keluar dari
antrian.
Perasaan panik
menguasai diri saya, ketika melihat mengapa mereka semua menyingkir. Saat
berbalik saya membaui suatu “bau badan kotor” yang cukup menyengat, dan ternyata
tepat di belakang saya berdiri dua orang lelaki tunawisma yang sangat dekil. Saya
bingung dan tidak mampu bergerak sama sekali.
Ketika saya menunduk,
tanpa sengaja mata saya menatap laki-laki yang lebih pendek, dan ia sedang “tersenyum”
kearah saya. Lelaki ini bermata biru, sorot matanya tajam, tapi juga
memancarkan kasih sayang. Ia menatap ke arah saya, seolah ia meminta agar saya
dapat menerima “kehadirannya” di tempat itu.
Ia menyapa “Good day!”
sambil tetap tersenyum. Secara spontan saya membalas senyumnya, dan seketika
teringat oleh saya tugas yang diberikan oleh dosen saya. Lelaki kedua sedang
memainkan tangannya dengan gerakan aneh berdiri di belakang temannya.
Saya segera menyadari
bahwa lelaki kedua itu menderita defisiensi mental, dan lelaki dengan mata biru
itu adalah “penolongnya”. Saya merasa sangat prihatin setelah mengetahui bahwa
ternyata dalam antrian itu kini hanya tinggal saya bersama mereka. Dan kami
bertiga tiba-tiba saja sudah sampai di depan counter.
Ketika wanita muda di
counter menanyakan kepada saya apa yang ingin saya pesan, saya persilahkan
kedua lelaki ini untuk memesan duluan. Lelaki bermata biru segera memesan “Kopi
saja, satu cangkir Nona.”
Ternyata dari koin yang
dia pegang hanya itulah yang mampu dibeli oleh mereka. Aturan di restoran di
Jerman, jika ingin duduk di dalam restoran n menghangatkan tubuh, maka orang
harus membeli sesuatu. Dan tampaknya kedua orang ini hanya ingin menghangatkan
badan.
Tiba-tiba saja saya
diserang oleh rasa iba yang membuat saya sempat terpaku beberapa saat, sambil
mata saya mengikuti langkah mereka mencari tempat duduk yang terpisah dari
tamu-tamu lainnya, yang hampir semuanya sedang mengamati mereka berdua.
Pada saat yang
bersamaan, saya baru menyadari bahwa saat itu semua mata di restoran itu juga
sedang tertuju ke diri saya, dan pasti juga melihat semua “tindakan” saya.
Saya baru tersadar
setelah petugas di counter itu menyapa saya untuk ketiga kalinya menanyakan apa
yang ingin saya pesan. Saya tersenyum dan minta diberikan dua paket makan pagi dalam
nampan terpisah, diluar pesanan saya.
Setelah membayar semua
pesanan, saya minta bantuan petugas lain yang ada di counter itu untuk
mengantarkan nampan pesanan saya ke meja / tempat duduk suami dan anak saya. Sementara
saya membawa nampan lainnya berjalan melingkari sudut ke arah meja yang telah
dipilih kedua lelaki itu untuk beristirahat.
Saya letakkan nampan
berisi makanan itu di atas mejanya, dan meletakkan tangan saya di atas punggung
telapak tangan dingin lelaki bemata biru itu, sambil saya berucap, “Makanan ini
telah saya pesan untuk kalian berdua.”
Kembali mata biru itu
menatap dalam ke arah saya, kini mata itu mulai basah berkaca-kaca dan dia
hanya mampu berkata, “Terima kasih banyak, nyonya.”
Saya mencoba tetap
menguasai diri saya, sambil menepuk bahunya saya berkata, “Sesungguhnya bukan
saya yang melakukan ini untuk kalian. Allah juga berada di sekitar sini dan
telah membisikkan sesuatu ke telinga saya untuk menyampaikan makanan ini kepada
kalian.”
Mendengar ucapan saya,
si mata biru tidak kuasa menahan haru dan memeluk lelaki kedua sambil
terisak-isak. Saat itu ingin sekali saya merengkuh kedua lelaki itu.
Saya sudah tidak dapat
menahan tangis ketika saya berjalan meninggalkan mereka dan bergabung dengan
suami dan anak saya, yang tidak jauh dari tempat duduk mereka. Ketika saya
duduk suami saya mencoba meredakan tangis saya sambil tersenyum dan berkata, “Sekarang
saya tahu, kenapa Tuhan mengirimkan dirimu menjadi istriku. Yang pasti, untuk
memberikan keteduhan bagi diriku dan anak-anakku!”
Kami saling berpegangan
tangan beberapa saat dan saat itu kami benar-benar bersyukur dan menyadari,
bahwa hanya karena “bisikan-Nya”, kami telah mampu memanfaatkan “kesempatan”
untuk dapat berbuat sesuatu bagi orang lain yang sedang sangat membutuhkan.
Ketika kami sedang
menyantap makanan, dimulai dari tamu yang akan meninggalkan restoran dan disusul
oleh beberapa tamu lainnya. Mereka satu persatu menghampiri meja kami, untuk
sekedar ingin berjabat-tangan dengan kami.
Salah satu di antaranya,
seorang bapak, memegangi tangan saya, dan berucap, “Tanganmu ini telah
memberikan pelajaran yang mahal bagi kami semua yang berada di sini. Jika suatu
saat saya diberi kesempatan oleh-NYA, saya akan lakukan seperti yang telah kamu
contohkan tadi kepada kami.”
Saya hanya bisa berucap
“terima kasih” sambil tersenyum. Sebelum beranjak meninggalkan restoran, saya
sempatkan untuk melihat ke arah kedua lelaki itu, dan seolah ada 'magnit' yang
menghubungkan batin kami, mereka langsung menoleh ke arah kami sambil
tersenyum, lalu melambai-lambaikan tangannya ke arah kami.
Dalam perjalanan pulang,
saya merenungkan kembali apa yang telah saya lakukan terhadap kedua orang
tunawisma tadi. Itu benar-benar “tindakan” yang tidak pernah terpikir oleh
saya.
Pengalaman hari itu menunjukkan
kepada saya betapa “kasih sayang” Allah itu sangat HANGAT dan INDAH sekali.
Saya kembali ke
college, pada hari terakhir kuliah dengan “cerita” ini di tangan saya. Saya
menyerahkan paper saya kepada dosen saya. Dan keesokan harinya, sebelum memulai
kuliahnya, dosen kami memanggil saya ke depan kelas. Ia melihat kepada saya dan
berkata, “Bolehkah saya membagikan ceritamu ini kepada yang lain?”
Dengan senang hati saya
mengiyakan. Ketika akan memulai kuliahnya dia meminta perhatian dari semua
mahasiswa untuk membacakan paper saya. Ia mulai membaca, para mahasiswa pun
mendengarkan dengan seksama cerita sang dosen, dan ruangan kuliah menjadi
sunyi.
Dengan cara dan gaya
yang dimiliki sang dosen dalam membawakan ceritanya, membuat para mahasiswa
yang hadir di ruang kuliah itu seolah ikut melihat bagaimana sesungguhnya
kejadian itu berlangsung, sehingga para siswi yang duduk di deretan belakang,
di dekat saya di antaranya datang memeluk saya untuk mengungkapkan perasaan
harunya.
Di akhir pembacaan
paper tersebut, sang dosen sengaja menutup ceritanya dengan mengutip salah satu
kalimat yang saya tulis di akhir paper saya.
“Tersenyumlah dengan hatimu
dan kau akan mengetahui betapa dahsyat dampak yang ditimbulkan oleh senyummu
itu.”
Dengan cara-NYA
sendiri, Allah telah “menggunakan” diri saya untuk menyentuh orang-orang yang
ada di McDonald's, suamiku, anakku, guruku, dan setiap mahasiswa yang
menghadiri kuliah di malam terakhir saya sebagai mahasiswi.
Saya lulus dengan satu
pelajaran terbesar yang tidak pernah saya dapatkan di bangku kuliah manapun,
yaitu: “Penerimaan Tanpa Syarat.”
-----
Keterangan:
-
Kisah ini beredar di grup milis warga
Indonesia yang bermukim atau pernah bermukim di Jerman. Kisah ini juga sudah
menyebar di berbagai media daring serta di media sosial. Insya Allah menjadi
amal jariyah bagi penulisnya, karena tulisan ini sangat inspiratif dan bermanfaat. (asnawin)