URUS IMB. Andi Lala menghadap langsung ke Walikota Makassar (waktu itu bernama Ujungpandang), Malik B. Masry, untuk mengurus Izin Mendirikan Bangunan (IMB) PT. Lasharan Jaya. Malik B. Masry yang menjabat Walikota Makassar periode 1993-1999, adalah
orang yang berasal dari Maroanging (Massenrempulu), daerah perbatasan Enrekang dan Sidrap.
-------
PEDOMAN
KARYA
Ahad,
07 Juli 2019
Biografi Sahban Liba (24):
Mendirikan PT Lasharan Jaya dan Mengurus IMB di Makassar
Penulis: Hernita Sahban Liba
Suatu
hari setelah makan sahur di Bulan Ramadhan tahun 1990,
Sahban berkumpul bersama istri dan anak-anaknya di rumahnya di Jakarta. Mereka
bercakap-cakap dan timbul wacana untuk membuat nama sebuah perusahaan mereka di
masa datang.
Sahban
ingin agar nama tersebut memiliki huruf R di dalamnya. Akhirnya dalam
pembicaraan ini tercetus nama Lasharan. Nama
itu tentu saja tidak ditemukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, karena
Lasharan adalah akronim yang diambil dari gabungan huruf-huruf awal nama Sahban
bersama isteri dan anak-anaknya.
Lasharan
adalah singkatan dari:
LA = Lala, nama panggilan dari Andi Nurlaela, isteri dari Sahban
S = Sahban
H = Hernita, nama anak pertama
AR = Arsal, nama anak kedua
A = Amsal, nama anak ketiga (Arsal dan Amsal anak kembar)
N = Nani, nama panggilan
dari Arfiany,
anak keempat dan anak bungsu.
Sahban
kemudian mewujudkan cita-citanya mendirikan
perusahaan. Sahban dan istrinya membuat akte notaris
untuk sebuah perusahaan bernama PT.
Lasharan Jaya. Perusahaan ini berdiri dengan akte tertanggal 1 April 1992.
Di
dalam akte tersebut juga disebutkan persentase bagian yang diperoleh setiap
anak Sahban. Hal ini mencegah terjadinya sengketa kepemilikan di kemudian hari,
khususnya jika Sahban telah meninggal dunia.
Setelah
akte notaris selesai, Sahban mulai berpikir kegiatan apa yang akan dilakukannya setelah
pensiun. Ia pun teringat
tanah rawa di Jl Abdullah Dg. Sirua,
Makassar, yang telah ia bebaskan namun belum
dibayar lunas. Ia berpikir,
apakah tanah itu yang akan manfaatkan atau bagaimana.
Naluri
manajemennya mulai berfantasi dengan menimbulkan mimpi. Ia percaya dengan
teori bahwa suatu usaha dimulai dari mimpi
yang berulang-ulang dan fokus, jadi bukan sekadar
melamun. Dari mimpi itulah akan timbul
kreasi-kreasi, gagasan-gagasan yang terpatri dalam pikiran dan disimpan di
bawah alam bawah sadar.
Dalam
kesenggangan pekerjaannya di Kantor
Pemda DKI Jakarta, Sahban mulai
menggambar-gambar bangunan untuk rencana usahanya. Saat sedang menggambar, seorang
pemborong kebetulan melihat apa yang
dilakukannya dan pemborong itu menghampirinya.
Pemborong
itu bertanya apa yang sedang Sahban lakukan. Sahban
mengatakan bahwa ia sedang menggambar
bangunan gedung yang masih belum tahu akan digunakan untuk apa.
Sang pemborong kemudian menawarkan
jasa dan lalu membuatkan gambar yang lebih teliti dan
mendesain gambar bangunan
tersebut.
“Empat
tahun lagi saya pensiun,” kata Sahban dalam hati dan kemudian melanjutkan dengan
kalimat, “Itu tidak bisa dibantah!”
Pikiran
Sahban menerawang setiap malam saat senggang di teras rumahnya, Jalan Tanjung Duren
Selatan III,
No. 28, Jakarta Barat.
Anak-anaknya
sudah mulai tumbuh pelan-pelan menjadi remaja.
Anak
pertamanya Hernita sudah masuk di SMA Negeri 57 Jakarta. Si kembar Arsal dan
Amsal sudah SMP. Arsal di
SMP Negeri 16, sedangkan Amsal di SMP Negeri 69 Jakarta, sementara Arfiany (Nani) masih duduk di Kelas 6 SD Negeri 011
Pagi Jakarta.
Tanah
seluas kurang lebih satu
hektar di Makassar telah siap dibangun. Sahban berkeinginan membangun bangunan
seperti pendopo yang telah dibuatkan oleh pemborong yang baik hati. Berbekal gambar
tersebut, ia mengutus istrinya, Andi
Nurlaela, ke Makassar untuk mengurus Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
Sang
isteri kemudian menghadap langsung ke Walikota Makassar (waktu itu bernama Ujungpandang), Malik B. Masry. Sahban
tahu bahwa Malik B. Masry yang menjabat Walikota Makassar periode 1993-1999, adalah
orang berasal dari Maroanging (Massenrempulu), daerah perbatasan Enrekang dan Sidrap.
Ketika
itu, Malik B. Masry sebagai Walikota Makassar sedang gencar-gencarnya mendorong
percepatan pembangunan di daerah yang dipimpinnya. Salah satu upaya untuk akselerasi
pembangunan di Makassar, yaitu dengan menawarkan potongan 20 persen biaya
pengurusan IMB untuk bangunan usaha.
Andi
Lala pun menemui sang walikota dan tak lama kemudian terbitlah IMB atas nama PT
Lasharan Jaya dan setelah itu Andi Lala pulang ke Jakarta.
Setelah
mengantongi IMB, Sahban pun mulai melanjutkan mimpinya untuk
membangun sebuah gedung.
Sayangnya, ia terkendala dana. Ia
hanya memiliki uang sebesar Rp25
juta (dua puluh lima juta rupiah).
Ia
kemudian mendapat informasi dari tukang yang
biasa memperbaiki rumahnya bahwa ada seorang tukang yang sangat pandai
membangun gedung bernama
Tasripin. Tasripin ini orang Jawa.
Sahban
pun kemudian menghubungi Tasripin dan setelah sepekat, Tasripin dan beberapa
orang pekerjanya pun berangkat ke Makassar untuk memulai pembangunan gedung
milik PT. Lasharan Jaya. Rombongan pekerja bangunan tersebut dipimpin langsung Andi
Lala, isteri dari Sahban, yang sekaligus mengawasi pembangunan gedung tersebut.
Setelah
dikerjakan, ternyata sebesar Rp25 juta
tersebut bahkan tidak dapat digunakan untuk menyelesaikan pondasi bangunan.
Dana tersebut hanya mampu digunakan untuk membangun pondasi bawah tanah.
Sahban
meminta istrinya dan kakak misan bernama Kasa (Syarifuddin) untuk mencari tahu
apakah ada bank di Makassar yang dapat meminjamkan uang atau kerjasama bagi
hasil. Ternyata hanya bank BTN yang merespons
usulan pinjaman, itupun hanya bersedia memberikan pinjaman Rp150 juta (seratus lima puluh juta rupiah) dengan
jaminan tanah bersertifikat kurang lebih 1
hektar, dengan bunga 17 persen per tahun.
Bagi
Sahban,
bunga sebesar 17 persen itu sangat
mahal. Setelah ia hitung-hitung, total
bunga menjadi sebesar Rp15.000.000 (Rp 110 juta uang
sekarang). Akibatnya, selama tiga minggu,
pembangunan terbengkalai dan semua tukang terpaksa
dipulangkan ke Jakarta. (bersambung)
Editor:
Asnawin Aminuddin
-----
Bagian 22: Mau Jadi Apa Setelah Pensiun?