Di era pemerintahan Habibie, kebebasan pers diberlakukan dan diperkuat dengan terbitnya UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, tahanan politik dibebaskan, terselenggaranya Pemilu 1999, terbentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Golkar direformasi menjadi partai politik.
-------
PEDOMAN KARYA
Selasa, 24 September 2019
BJ Habibie dalam Kenangan (9):
Kebebasan Pers, Pemilu 1999, KPU, dan Reformasi Golkar
Oleh: Asnawin Aminuddin
(Wartawan Majalah PEDOMAN KARYA)
Sepintas lalu, tidak
ada yang istimewa dengan banyaknya undang-undang (UU) dan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) yang terbit di era pemerintahan BJ Habibie,
tetapi sesungguhnya isi UU dan TAP MPR itulah hadiah indah bagi bangsa dan
rakyat Indonesia.
Melalui UU dan TAP MPR
itu, rakyat Indonesia merasakan iklim kebebasan pasca-pemerintahan Soeharto
yang ditandai begitu banyak kontrol dan pembungkaman.
Di era pemerintahan
Soeharto, media massa dikontrol, kebebasan berbicara dan mengemukakan pendapat secara
terbuka dimuka umum pun dikontrol. Media massa yang dianggap “mengganggu” langsung
dibreidel.
Orang-orang yang
mengkritisi Soeharto pun banyak yang disingkirkan di pemerintahan dan di
legislatif, bahkan tak sedikit yang dijebloskan ke penjara.
Di era pemerintahan
Habibie, kebebasan pers diberlakukan dan diperkuat dengan terbitnya UU Nomor 40
Tahun 1999 tentang Pers.
“Saya ingin menjadi
orang yang memberikan kebebasan pers, karena saya diindoktrinasi bahwa bangsa
Indonesia harus tetap dari Sabang sampai Merauke sepanjang masa,” kata Habibie.
Ia meminta Menteri
Penerangan saat itu, Yunus Yosfiah, untuk mencabut ketentuan Surat Izin Usaha
Penerbitan Pers (SIUPP). Ketetapan yang baru, menerbitkan majalah, tabloid,
maupun surat kabar yang pernah dibredel Orde Baru, dapat kembali mengajukan
SIUPP.
Maka di era
pemerintahan Habibie bermunculanlah ribuan media cetak sebagai wujud dari
kebebasan pers. Habibie bahkan menyediakan ruang kepada pers agar dapat
mengoreksi dirinya sebagai presiden.
Tak
heran kalau kemudian Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) mengusulkan kepada Presiden
Joko Widodo agar memberikan anugrah atau penghargaan kepada BJ Habibie sebagai “Bapak
Kemerdekaan Pers Republik Indonesia.”
Pemilu 1999
Diikuti 48 Parpol
Selain kebebasan pers, era
pemerintahan Habibie juga ditandai dengan pembebasan tahanan politik (Tapol),
dan yang cukup fenomenal yaitu terselenggaranya Pemilu 1999, atau hanya dua
tahun setelah Pemilu 1997, saat Soeharto terpilih kembali dan dirinya diangkat
sebagai wakil presiden mendampingi Soeharto.
Bukan hanya
penyelenggaraannya yang dipercepat, Pemilu 1999 juga merupakan tonggak sejarah kebebasan
berdemokrasi di Indonesia dengan banyaknya orang mendirikan partai politik
Parpol. Tidak tanggung-tanggung, Pemilu 1999 diikuti sebanyak 48 Parpol, jumlah
yang cukup banyak untuk ukuran Pemilu Nasional.
“Walaupun
para anggota DPR dan MPR baru saja dipilih pada tahun yang lalu, saya
berpendapat bahwa dalam waktu sesingkat-singkatnya, sudah harus dilaksanakan
pemilu untuk memberi legitimasi yang lebih kuat kepada DPR dan MPR. Untuk itu,
kesempatan harus diberikan kepada siapa saja untuk mendirikan partai politik,
asal tidak melanggar UUD ’45 dan memenuhi kriteria yang nanti disusun, ikut
dalam pemilu yang akan datang,” kata Habibie.
Komisi Pemilihan Umum
Komisi Pemilihan Umum
(KPU) pun pertama kali dibentuk pada era pemerintahan BJ Habibie. KPU pertama
(1999-2001) dibentuk dengan Keppres No 16 Tahun 1999, beranggotakan 53 orang
anggota, dari unsur pemerintah dan Partai Politik.
Pengurus KPU pertama juga
dilantik oleh Presiden BJ Habibie. KPU kedua (2001-2007) dibentuk dengan
Keppres No 10 Tahun 2001, beranggotakan 11 orang, dari unsur akademis dan LSM.
KPU kedua dilantik oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada tanggal 11
April 2001.
Menjadikan
Golkar sebagai Parpol
Habibie
pula yang memutuskan bahwa sebagai presiden dirinya tak bisa lagi menjabat
Koordinator Harian Keluarga Besar Golkar. Langkah yang sangat drastis karena
selama 32 tahun berkuasa, Presiden Soeharto menggunakan Keluarga Besar Golkar
sebagai mesin politik utama penyokong pemerintah.
“Demi
obyektivitas kebijakan dalam memimpin Kabinet Reformasi Pembangunan, saya tidak
dapat menjabat sebagai Koordinator Harian Keluarga Besar Golkar.
Pertanggungjawaban harus diberikan kepada rakyat dan saya memutuskan, dalam
waktu sesingkat-singkatnya melaksanakan Musyawarah Nasional Luar Biasa Golkar
di Jakarta untuk mereformasi Golkar menjadi partai politik dan membubarkan
Keluarga Besar Golkar,” tulis Habibie dalam buku Detik-detik yang Menentukan.
(bersambung)
-------
Sumber referensi:
-
Bagaimana
Habibie Membuka Keran Kebebasan Sipil; https://tirto.id/bagaimana-habibie-membuka-keran-kebebasan-sipil-ehWW;
dikutip pada Selasa, 24 September 2019
-
Ini
Alasan Habibie Disebut sebagai Bapak Demokrasi; https://www.kompas.com/tren/read/2019/09/12/105808465/ini-alasan-habibie-disebut-sebagai-bapak-demokrasi?page=all,
dikutip pada Selasa, 24 September 2019
-
BJ
Habibie, Sosok Presiden yang Mengantar Indonesia Memasuki Era Demokrasi; https://bebas.kompas.id/baca/utama/2019/09/11/bj-habibie-sosok-presiden-yang-mengantar-indonesia-memasuki-era-demokrasi/;
dikutip pada Selasa, 24 September 2019
-
Komisi
Pemilihan Umum; https://id.wikipedia.org/wiki/Komisi_Pemilihan_Umum;
dikutip pada Selasa, 24 September 2019
-------
Artikel sebelumnya:
BJ Habibie dalam Kenangan (8): Gebrakan dan Hadiah Indah Habibie Selama 17 Bulan Jadi Presiden
BJ Habibie dalam Kenangan (7): Habibie Membentuk Kabinet Reformasi Pembangunan
BJ Habibie dalam Kenangan (6): Diangkat Jadi Presiden, Habibie Melawan Gelombang Anti-kroni Soeharto