"Melalui sikap 7 (tujuh) komisioner KPID Sulsel, yang kelak terpilih, kita akan melihat independensi, integritas dan kinerja lembaga itu. Kematangan mereka akan teruji melalui keputusan-keputusan yang berpihak pada kepentingan publik."
- Rusdin Tompo -
(Ketua KPID Sulsel, Periode 2011-2014)
---------
Rabu,
16 Oktober 2019
Oleh:
Rusdin Tompo
(Ketua
KPID Sulsel, Periode 2011-2014)
Masa jabatan tujuh komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Sulawesi Selatan periode 2017-2020, tak lama lagi akan berakhir. Selama tiga tahun rentang pengabdiannya, mereka tentu sudah mencurahkan pikiran dan tenaganya bagi dunia penyiaran di daerah ini.
Berbarengan
dengan itu, Tim Seleksi akan dibentuk untuk memilih calon anggota komisioner
lembaga negara independent tersebut, yang
selanjutnya akan melalui proses fit and proper test di
Komisi A DPRD Sulawesi Selatan.
Merujuk
pada proses seleksi calon komisioner KPID Sulawesi Selatan periode 2017-2020, ada tujuh kriteria yang
menjadi penilaian anggota dewan, yakni kepribadian, integritas, visi-misi,
pengetahuan tentang tugas KPID, sistem informasi penyiaran dalam kaitan dengan
siaran lokal Sulawesi Selatan, serta manajemen
pengelolaan KPID (Fajar, 29/12/2016).
Peta Masalah
Mereka,
para calon komisioner terpilih, tentu sudah mesti memahami peta masalah
penyiaran mutakhir yang akan ditangani, sesuai dengan fungsi dan kewenangan, serta tugas dan
kewajiban yang diamanahkan UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
Walaupun
spirit UU Penyiaran menghendaki desentralisasi penyiaran melalui penerapan prinsip-prinsip
demokratisasi penyiaran, ktapi enyataannya,
praktik penyiaran kita justru kini mengarah kepada
resentralisasi penyiaran.
Penyiaran
yang kembali terpusat, dengan mengabaikan ketentuan sistem stasiun jaringan
(SSJ), padahal, sistem ini
menafikan peran dan potensi stasiun-stasiun penyiaran lokal dengan segala
implikasinya.
Kegagalan
SSJ tampaknya akan disusul dengan kegagalan penerapan digitalisasi penyiaran.
Mengapa? Karena digitalisasi yang sudah mulai jalan ini, lebih memberikan ruang
pada pemain besar, sehingga yang tetap akan terjadi adalah monopoli grup media,
dan pada gilirannya juga monopoli opini demi kepentingan bisnis dan kekuasaan.
Pasalnya,
sejauh ini, tidak ada road map
digitalisasi penyiaran yang menggambarkan di mana posisi media penyiaran lokal
pasca lewatnya era analog.
Berbarengan
dengan itu, konvergensi media yang sudah marak dalam praktik, tidak dibuatkan
aturan main yang jelas. Sekarang yang terjadi, seolah-olah jika secara
teknologis dimungkinkan, maka itu juga dibolehkan. Benar bahwa hukum selalu
tertatih-tatih mengikuti perkembangan masyarakat, apalagi terkait dengan dunia
media yang sedemikian kreatif dan inovatif.
Persoalannya
kemudian, banyak aspek etika dan hukum yang dilabrak. Lihat saja, bagaimana
mudahnya mengambil video klip dan lagu-lagu di internet lalu diputar di stasiun
TV/radionya, dengan mengabaikan ketentuan hak cipta.
Belum
lagi soal fabrikasi isu di media sosial yang dengan latah dikutip dan dibahas
di media penyiaran. Nyaris tak ada beda noise
(kegaduhan), voice (aspirasi), dan news (berita) di zaman kekinian.
Masih
ada lagi, soal kepatuhan terhadap pelaksanaan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3)
dan Standar Program Siaran (SPS). Yang penulis maksud, tidak hanya dalam
konteks kuantitas dan kualitas pelanggaran, tapi soal lemahnya budaya hukum dan
tanggung jawab sosial penyelenggara penyiaran, terutama untuk melindungi
khalayak khusus (anak-anak).
Bisa
jadi, hal ini punya korelasi dengan standarisasi dan sertifikasi SDM penyiaran,
yang belum selesai dirumuskan dan juga mesti mendapat perhatian serius.
Di
samping aspek infrastruktur dan kompetensi SDM penyiaran, KPID juga
diperhadapkan kepada
persoalan literasi media masyarakat yang masih perlu terus ditingkatkan, supaya
masyarakat mau berpartisipasi mengawasi dan mengkritisi praktik penyiaran yang
tidak berpihak kepada
publik, demi kemajuan dunia penyiaran.
Perlu
diapresi bahwa terkait literasi media ini, KPID telah menyelenggarakan Sekolah
P3-SPS, yang masih terus ditingkatkan dan diperluas cakupan sasarannya.
Komposisi Komisioner
Para
komisioner terpilih, yang mewakili kepentingan dan aspirasi masyarakat akan
penyiaran, harus bisa tune in begitu
dilantik, karena mereka dituntut
untuk mampu berkontribusi dalam perubahan UU Penyiaran, dan mampu mengawal
pesta demokrasi,
Pemilukada serentak 2020, sudah di depan
mata. KPID memang punya banyak irisan tupoksi dengan komisi-komisi negara
lainnya (termasuk KPU dan Bawaslu)
dan pemerintah daerah, sehingga komunikasi dan koordinasi perlu selalu dibangun
lintas bidang dan sektor.
Berdasarkan
bacaan penulis terhadap silang sengkarut masalah penyiaran di Tanah Air
tersebut, penulis membayangkan komposisi ideal KPID, periode 2020-2023. Komposisi ini bahkan dibutuhkan untuk KPI
di daerah maupun
di pusat.
Komisioner
KPID/KPIP tak cukup hanya berpengalaman
di penyiaran, tapi juga mesti punya kualifikasi
manajerial. Komisioner mesti paham birokrasi dan politik anggaran dalam
merancang dan mengalokasikan program-program prioritas.
Selain itu, komisioner mesti paham regulasi dan penyusunan
regulasi, agar bisa melihat kevakuman hukum yang mungkin melemahkan kinerjanya.
Mereka juga dituntut memahami dan mampu menyusun
strategi advokasi serta mengembangkan networking.
Komisioner juga harus punya kemampuan membangun
opini publik, dan keberanian mengambil sikap terhadap penguasa dan memberikan
sanksi pada lembaga penyiaran yang terbukti melanggar UU Penyiaran, P3-SPS, dan
regulasi terkait lainnya.
Melalui sikap 7 (tujuh) komisioner KPID Sulsel, yang kelak terpilih, kita akan melihat independensi, integritas dan kinerja lembaga itu. Kematangan mereka akan teruji melalui
keputusan-keputusan yang berpihak pada kepentingan publik.
Kepada merekalah wibawa KPID dipertaruhkan, di mana pada akhirnya masyarakat akan disuguhkan oleh penyiaran yang
sehat, dengan konten-konten lokal yang bermanfaat. Semakin banyak proporsi
konten lokal diproduksi, maka akan
punya implikasi terhadap daerah ini, dari sisi SDM, pendidikan, sosial dan
nilai-nilai budaya, industri kreatif, dan juga ekonomi. (*)
--------
Baca juga:
Peran Partai Politik dalam Memutus Mata Rantai Kekerasan Anak
Rusdin Tompo, Aktivitis Literasi dan Dunia Advokasi
--------
Baca juga:
Peran Partai Politik dalam Memutus Mata Rantai Kekerasan Anak
Rusdin Tompo, Aktivitis Literasi dan Dunia Advokasi