Wahai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.
Dan
janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya,
maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakkan
(apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabb-nya,
dan jangan ia mengurangi sedikitpun dari pada utangnya. (QS Al-Baqarah/2:
282).
-------
Senin, 20 Januari 2020
Al-Qur’an
Menyapa Orang-orang Beriman (11):
Perintah
Menata Administrasi dalam Transaksi
Oleh: Abdul Rakhim Nanda
(Wakil Rektor I Unismuh / Wakil
Sekretaris Muhammadiyah Sulsel)
Wahai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan adil.
Dan
janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya,
maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakkan
(apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabb-nya,
dan jangan ia mengurangi sedikitpun dari pada utangnya.
Jika orang
yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia
sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan
jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di
antaramu. Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua
orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa
maka seorang lagi mengingatnya.
Janganlah
saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan
janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas
waktu membayarnya.
Yang
demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian
dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan keraguanmu, (tulislah muamalahmu
itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang yang kamu jalankan di
antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu (jika) kamu tidak menulisnya.
Dan
persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi
saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya
hal itu adalah suatu kefasikan padsa dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah;
Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”(QS Al-Baqarah/2:
282).
***
Ayat 282 surah al-Baqarah ini adalah ayat yang
terpanjang dalam Al-Qur’an. Para ulama menyebutnya dengan ‘Ayat Al-Mudayanah’(ayat
utang-piutang).
Betapa terasa pada ayat ini, Allah
SWT berkehendak untuk memeihara sendi kehidupan soaial agar tidak terjadi
perselisihan dalam kehidupan orang-orang beriman dengan jalan menertibkan
administrasi transaksi dalam hal utang-piutang.
Quraish Shihab dalam tafsir Al-Misbah menjelaskan
bahwa ayat ini diperintahkan setelah ayat tentang anjuran bersedekah dan
berinfak (QS Al-Baqarah/2: 271-274), kemudian uraian tentang larangan
bertransaksi riba (QS Al-Baqarah/2: 275-279), serta anjuran memberi penangguhan kepada
orang yang tidak mampu membayar utangnya hingga mereka mampu, atau bahkan menyedekahkan
sebagian atau seluruh utang itu (QS Al-Baqarah/2: 280).
Ayat 282 Surah Al-Baqarah ini adalah
cerminan keadilan yang diinginkan oleh Al-Qur’an, menjadi jalan tengah antara
rahmat murni yang diperankan oleh sedekah dengan kekejaman yang diperagakan
oleh pelaku riba, sehingga menghilangkan kesan bahwa Al-Qur’an tidak bersimpati
terhadap orang yang memiliki harta, namun harta harus dipelihra termasuk dengan
menulis transaksi hutang-piutang walaupun sedikit, serta mempersaksikannya.
Kemudian Sayyid Quthub dalam Fie Zhilalil Qur’an menambahkan bahwa
ayat ini membicarakan tentang qardul-hasan dengan tanpa riba dan tanpa bunga,
dan transaksi-transaksi perdaganagn tunai yang tanpa riba.
Berikut ini adalah uraian perintah Allah
SWT bagi orang-orang yang beriman itu. Wahai
orang-orang yang beriman!
(1)
Apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai dalam waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.
Dalam kehidupan keseharian ini sering
hal-hal yang bertalian dengan hutang-piutang tidak dapat dihindarkan. Jika hal
seperti ini terjadi, hendaknya dituliskan agar di suatu waktu tertentu tidak
meninggalkan permasalahan, terutama apabila yang berutang meninggal dunia.
Dalam zaman sekarang ini bentuk
tulisan yang dapat dipersaksikan di kemudian hari adalah “surat perjanjian”.
Surat perjanjian ini berlaku untuk berbagai macam kesepakatan perkongsian
(transaksi).
(2)
Hendaklah seorang penulis
di antara kamu menuliskannya dengan adil.
Hendaknya penulisan perjanjian itu
ditulis oleh seorang yang adil, sehingga dia pun menulis dalam kondisi adil,
tanpa memihak salah satu pihak yang mengadakan perjanjian.
Hendaknya dituliskan secara jelas;
tata cara pelunasan hutang, dan dengan apa utang itu akan dibayar; seluruhnya
berdasar atas persetujuan kedua pihak yang mengadakan perjanjian.
(3)
Seorang penulis jangan
enggan menuliskan sebagaimana yang diajarkan Allah, maka hendaklah ia menulis.
Seorang yang dipilih menjadi penulis
tidak hanya harus bersikap adil, tetapi juga harus mengerti ketentuan-ketentuan
Allah dalam hal hutang-piutang, maka hendaklah ia menulis secara
rinci di dalam perjanjian itu.
(4)
Hendaklah yang merencanakan
(mendiktekan) adalah orang-orang yang berkewajiban atasnya (orang yang
berutang).
Yang membuat “konsep perjanjian”
adalah orang yang berkewajiban atas urusan hutang-piutang tersebut; dalam hal
ini terutama pihak yang berutang, kemudian yang berpiutang, serta penulis
termasuk di dalamnya. Menurut tafsir terjemah Departemen Agama; hendaklah yang
berutang mendiktekan apa yang dituliskan itu.
(5)
Hendaklah dia bertakwa
kepada Allah, Rabb-nya, dan jangan dia mengurangi sedikitpun dari padanya.
Dalam transaksi, perjanjian hendaknya
orang berutang tidak melakukan pengurangan dari utangnya. Hendaknya dituliskan
dengan jujur, sehingga tidak menimbulkan perselisihan di kemudian hari akibat
“salah interpretasi” atau pun salah karena memang akibat
kesengajaan. Karenanya di sini diingatkan agar ditulis atas dasar taqwa kepada Allah.
(6)
Maka jika yang
berkewajiban itu seorang yang safih, atau lemah, atau tidak sanggup
merencanakan dengan adil.
Menurut Buya Hamka; safih diartikan
sebagai orang yang tidak bisa mengurus hartanya sendiri; lemah (dhaif) adalah
orang yang belum balig ataupun orang yang sudah jompo (pikun) atau anak yatim
kecil yang berada dalam asuhan orang. Jika orang-orang tersebut akan mengadakan
suatu perjanjian utang-piutang, maka hendaknya digantikan oleh
walinya yang adil.
(7)
Hendaklah kamu adakan dua
orang saksi laki-laki dari kamu.
Dalam suatu perjanjian hendaknya ada
saksi yang terdiri atas dua orang laki-laki. Dua orang saksi ini adalah orang
yang betul-betul dapat menyaksikan, bukan sekadar hadir dan bertanda-tangan,
akan tetapi jika suatu saat dimintai keterangan maka saksi tersebut dapat
memberi kesaksian yang benar, dan untuk itu pula maka kedua orang saksi ini
harus orang yang adil, jujur dan memenuhi syarat.
(8)
Jika tidak ada dua orang
laki-laki, maka satu orang laki-laki dan dua orang perempuan, di antara
saksi-saksi yang kamu sukai, supaya jika seorang lupa, maka seorang lagi
mengingatnya.
Dua orang saksi perempuan sebagai pengganti
seorang saksi laki-laki, keduanya harus sama-sama dapat diterima oleh kedua
pihak yang mengadakan perjanjian. Dapat diterima dalam arti disepakati dan memenuhi
syarat untuk menjadi saksi seperti yang disebut pada uraian sebelumnya.
(9)
Janganlah saksi-saksi itu
enggan apabila mereka dipanggil.
Untuk menjadi seorang saksi yang adil
itu adalah pekerjaan mulia sebab disamping karena dipercaya, juga kelanjutannya
adalah untuk menjaga agar tidak terjadi kesalahpahaman di kemudian hari.
Dengan kata lain, saksi yang adil dan
jujur itu dapat memelihara kedamaian atas masyarakat yang saling bersepakat
(berinteraksi sosial). Karenanya jangan enggan jika diminta menjadi saksi.
Demikian pula jika ternyata di kemudian hari terdapat permasalahan terhadap apa
yang dipersaksikannya itu hendaklah pula tidak enggan memberi keterangan
seadil-adilnya dan sejujur-jujurnya.
(10)
Janganlah kamu jemu
menulis hutang-piutang itu, baik kecil maupun besar hingga sampai batas waktu
membayarkannya.
Begitu penting menjaga keutuhan
ukhuwah sehingga Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk tidak pernah
jemu menuliskan persoalan utang piutang, baik itu kecil apalagi jika memang dalam
jumlah yang besar.
Paling tidak, harus ada bukti utang
(kwitansi) sampai dibayarkannya. Demikian pula bukti pembayarannya, harus tetap
dituliskan. Semua ini tidak lain: “yang
demikian itu lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih
dekat kepada tidak timbulnya keragu-raguan padamu.”
Dengan adanya bukti tertanda tangan
hitam di atas putih istilah gampangnya—maka jika seorang saksi tidak dapat
memberikan kesaksiannya, maka bukti-bukti tertulis itulah yang dapat lebih
menjaga perselisihan.
(11)
Kecuali jika suatu
perniagaan dilakukan secara tunai, maka tidak ada dosa bagi kamu untuk tidak
menuliskannya.
Adalah hal yang dapat dipahami bahwa
jika perdagangan dilakukan secara tunai maka tentu masalah tidak akan begitu
rumit, karena barang dapat diambil ketika dalam waktu yang bersamaan uang
diserahkan. Namun tetap saja harus ada saksi; “Dan hendaklah kamu mengadakan saksi jika kamu berjual beli”.
Hal ini dilakukan agar tidak terjadi
saling merugikan setelah terjadi transaksi jual beli dilakukan. Terutama bila
barang yang diperjual belikan adalah barang-barang besar, tanah misalnya, atau
rumah, mobil, dan sebagainya. Barang seperti ini sangat berpotensi untuk menjadi
bahan perselisihan, ataupun dapat terjadi dimana harga tidak sepadan dengan
mutu barangnya atau masalah lainnya.
(12)
Dan jangan dipersulit
orang yang menjadi penulis dan jangan pula terhadap saksi. Jika kamu lakukan
demikian, maka yang demikian itu adalah suatu kefasikan dari kamu
masing-masing.
Menurut Sayyid Quthb, posisi penulis dan saksi
dalam hal ini sangat rentan untuk terkena sasaran kemarahan salah satu pihak dari
kedua pihak yang mengadakan transaksi. Maka mereka harus disenangkan dengan
diberi jaminan-jaminan yang menentramkan hatinya.
Juga harus dilindungi dalam semua hal
dan harus diberi motivasi
untuk menunaikan tugasnya dengan penuh tanggung jawab, amanah dengan penuh
semangat.
Bahkan Buya Hamka memberi
pendapat bahwa yang dimaksud dalam kalimat ayat ini adalah mengenai upah
penulis dan saksi. Hal ini disebabkan oleh karena diminta tenaga mereka dan
mereka dilibatkan dalam persoalan untung rugi orang. Dengan demikian tidak ada
salahnya diadakan perjanjian tawar menawar mengenai upah bagi penulis dan saksi
sebelum membuat suatu surat perjanjian.
(13)
Bertaqwalah kepada Allah,
Allah mengajarimu dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Di ujung ayat ini Allah SWT mengingatkan
kepada orang-orang beriman bahwa Dialah yang memberikan karunia kepada mereka,
mengajarkan dan membimbing mereka, dan bahwasanya taqwa untuk mendapatkan
pengetahuan dan menyiapkan ruh untuk menerima pengajaran agar orang-orang
beriman dapat menunaikan hak nikmat ini dengan taat, ridha dan patuh. Demikian
Sayyid Quthb memberikan argumennya.
Demikianlah Allah SWT mengajarkan
kepada orang-orang beriman tentang Mudayanah ini sebagai ketentuan yang
menuntun mereka menjalani kegiatan-kegiatan transaksi dalam kehidupan sosial.
Kemudian dalam kondisi dalam
perjalanan, Allah SWT memberikan tuntunan pada ayat selanjutnya (QS Al-Baqarah/2: 283).
Allah SWT berfirman: “Jika kamu dalam perjalanan (dan
bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka
hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).
Akan tetapi
jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa
kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan
persaksian.
Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia
adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan” (QS Al-baqarah/2: 283).
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa
ketika terjadi atau ada keinginan untuk bertransaksi, sementara dalam
perjalanan lalu mendapatkan seseorang yang dapat bertindak sebagai penulis,
maka pihak yang berutang hendaknya memberikan barang agunan sebagai jaminan
kepada pemberi utang.
Jadi boleh tidak dituliskan namun
tetap harus ada saksi. Tetapi jika yang berutang diberikan kepercayaan oleh
pemberi utang, maka yang berutang harus berkomitmen sungguh-sungguh atas dasar taqwa untuk melunasi utangnya.
Dan para saksi juga harus juga harus
bersedia bersaksi, dan tidak boleh menyembunyikan rasa keengganannya dalam hati
atas keyakinannya bahwa Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu yang hendak kita kerjakan sekalipun tersembunyi
dalam hati. (bersambung)
---------
Artikel sebelumnya:
Bagian 11 : Tinggalkan Riba
Bagian 10 : Infak Hasil Usaha dan Hasil Bumi
Bagian 09 : Jangan Merusak Sedekah
---------
Artikel sebelumnya:
Bagian 11 : Tinggalkan Riba
Bagian 10 : Infak Hasil Usaha dan Hasil Bumi
Bagian 09 : Jangan Merusak Sedekah