-----
PEDOMAN KARYA
Senin, 24 Februari 2020
Al-Qur’an Menyapa
Orang-orang Beriman (22):
Perintah untuk Taat
kepada Allah, Rasul, dan Ulil Amri
Oleh: Abdul Rakhim Nanda
(Wakil Rektor I Unismuh /
Wakil Sekretaris Muhammadiyah Sulsel)
Wahai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri dari golongan
kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah
ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnah) jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.” (QS 4/An-Nisa: 59)
Oleh karena dalam ayat
ini berturut-turut Allah SWT menyebutkan tiga objek tujuan ketaatan, maka
pendekatan pemahaman ketaatan tersebut diuraikan berdasarkan bentuk, tingkat,
dan batasan ketaatan itu sendiri bagi setiap yang diperintahkan untuk oleh
Allah SWT untuk ditaati.
Pertama, taatlah kepada
Allah SWT. Bentuk ketaatan kepada Allah SWT terwujud dalam berbagai tingkatan,
yakni: (1) ‘Taat mutlak’, yaitu tunduk patuhnya seluruh makhluq kepada-Nya,
baik dalam keadaan rela ataupun terpaksa, terhadap segala ketentuan yang telah
ditetapkan oleh Allah dalam sunnah-Nya yang biasa disebut sunnatullah (QS 3/Ali
Imran: 83, dan QS 13/Ar-Ra’d : 15).
Ketaatan ini berjalan
atas iradatullah dalam hal taqdir, umur/ajal,rezki, dan sebagainya, dimana tak
satu pun hamba dapat menolaknya.
(2) ‘Taat ibadah’ atau
taat penyembahan. Ketaatan ini terbangun atas kesadaran hamba untuk memenuhi
perintah Allah kepada-Nya sebagai wajud rasa syukur atas penciptaannya (QS
2/Al-Baqarah: 23, dan QS 51/Adz Dzariyat: 56), penciptaan yang sempurna (QS
95/At-Tiin: 4) dan segala bentuk fasilitas sempurna yang diberikan oleh sang
Khaliq kepadanya yang telah diuraikan dalam banyak firman-Nya, dan juga atas
petunjuk (hudan) yang mengantarkan makhluk dapat memahami dan meyakini akan
adanya hari pembalasan (akhirat).
Ketaatan ini menjadi hak
penuh bagi Allah SWT dan tidak ada hak bagi makhluq ciptaan-Nya.
(3) ‘Taat amanah’ atau
taat kekhalifahan, yakni ketaatan hamba terhadap aturan-aturan dan
ketentuan-ketentuan yang digariskan oleh Allah SWT untuk terciptanya kehidupan
kemakmuran di muka bumi ini, yang mana tugas penyelenggaraannya diterima oleh
manusia sebagai amanah setelah amanah itu ditawarkan kepada langit, bumi, dan
gunung-gunung, namum mereka semua enggan menerimanya.
Kedua, Taatlah kepada
Rasul Allah. Ketaatan kepada Rasulullah dapat dikategorikan pada: (1) ‘Ketaatan
kerisalahan’, yakni ketaatan kepada Rasulullah oleh karena beliau melanjutkan
perintah Allah melalui wahyu yang diturunkan kepadanya untuk umatnya.
Ketaatan ini sebagai
bukti kecintaan seorang hamba kepada Allah, sebagaimana Allah SWT menyuruh
Rasul-Nya agar umat membuktikan kecintaannya kepada Allah dengan ikut/taat
kepada Rasul-Nya (QS 3/Ali Imran: 31).
(2) ‘Ketaatan imamah’,
yakni ketaatan umat kepada Rasulullah atas hikmah (pemahaman beliau terhadap
firman Allah SWT yang mendorong beliau untuk senantiasa berbuat yang benar, dan
menjadi uswah) (QS 62/Al-Jumu’ah: 2) yang bertujuan untuk mewujudnya
keteraturan hidup dan kemakmuran di muka bumi, namun bukan perintah langsung
dari Allah melalui wahyu.
Ketaatan ini dibangun
atas dasar musyawarah untuk mencapai kebulatan tekad (azam), kemudian
dijalankan sebagai aturan hidup bersama dan menyerahkan hasilnya kepada Allah
SWT (tawakkal) (QS 3/Ali Imran: 159).
Ketiga, taat kepada ulil
amri. Ketaatan kepada ulil amri merupakan perwujudan dan perpaduan ketaatan
kekhalifahan dan ketaatan keimamahan.
Jadi, Ulil amri yang
ditaati adalah ulil amri yang memiliki sifat amanah sebagai perwujudan dari
ketaatan kekhalifahan dan memiliki sifat benar (siddiq) dan teladan (uswah)
berdasar kebijaksanaan (hikmah) sebagai perwujudan dari ketaatan keimamahan.
Nah, dengan demikian bila
kembali pada substansi nilai ketaatan sebagaimana yang dijelaskan pada ketiga
uraian tersebut, dapat dipahami bahwa: (1) Ada kewajiban ketaatan hamba yang
menjadi hak Allah saja yang tidak boleh diperankan oleh hamba yakni ketaatan
mutlak dan ketaatan ibadah.
(2) Ada kewajiban
ketaatan hamba yang menjadi hak Allah dan Rasul-Nya untuk ditaati namun
sebagiannya boleh diperankan bagi hamba-hamba pilihan (mulai dari generasi
khulafaur rasyidien, tabi’in, tabi’ut-tabi’in dan para pewaris nabi/ulama) yang
senantiasa takut kepada Allah SWT, yakni ketaatan kerisalahan (QS 5/Al-Maidah :
67).
(3) Ada ketaatan hamba
kepada hamba yang lain yang dianugerahi oleh Allah SWT kedudukan ulil amri
yakni ketaatan. Ketaatan ini dibatasi pada ketaatan kekhalifahan dan ketaatan
keimamahan.
Sebagaimana telah
dipahami bahwa Allah SWT memiliki hak yang mengikuti kehendak (iradah)-Nya
beserta segala sifat keagungan-Nya yang melahirkan ketaatan mutlak, maka harus
dipahami pula bahwa kedaulatan hukum itu hanya milik Allah SWT.
Hal itulah yang
dituangkan dalam Al-Qur’anul Kariem yang menjadi tuntunan hidup manusia yang
wajib ditaati, maka ati’ullaha (taatlah kepada Allah).
Selanjutnya, untuk
menuntun ketaatan kepada hukum-hukum Allah SWT, maka diutuslah Rasul yang
dipilih-Nya sendiri dan dipelihara oleh-Nya dari kehendak-kehendak duniawi
untuk dapat membumikan firman-firman-Nya, sehingga seluruh ucapan, sikap, dan
perilaku Rasul tersebut adalah gambaran dari Al-Qur’an (khuluquhu khuluqul
qur’an).
Taat kepada Rasul itu
sama dengan menaati Allah SWT yang mengutusnya, maka ati’urrasul (taatlah
kepada Rasul Allah).
Ulil Amri Harus Minkum
Adapun ketaatan kepada
ulil amri, diikuti dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut: (1) Ulil amri
itu harus minkum (dari kalangan kamu), berarti dari kalangan orang-orang
senantiasa taat kepada Allah dan Rasul-Nya atas keimanannya (orang mukmin).
(2) Apabila ulil amri itu
menjalankan tugas kekhalifahan, yakni mewujudkan kemakmuran (ista’mara) di bumi
dan keimamahan (terutama uswah-hasanah).
Sayyid Quthb dalam tafsir
Fie Zhilalail Qur’an memberi batasan bahwa “menaati ulil amri minkum adalah
dalam batas-batas yang ma’ruf dan sesuai dengan syariat Allah, dan dalam hal
yang tidak terdapat nash atau aturan yang mengharamkannya”, dengan merujuk
kepada sabda Rasulullahs.a.w dalam hadits dari Al-A’masy r.a: “Innamaththa’atu
fil ma’ruuwf. Sesungguhnya ketaatan itu hanyalah dalam hal yang ma’ruf. (HR
Bukhari dan Muslim).
Sebaliknya, tidak
ketaatan kepada makhluq yang melakukan kemaksiatan atau ketidak-taatan kepada
Allah, sebagaimana sabda Rasulullah s.a.w. yang bersumber dari sahabat Ali bin
Abi Thalib r.a.: “la tha’ata li makhluqin fie ma’shiyatil khalqi,
innamaththa’tu fil ma’ruwf,” Tidak ada ketaatan kepada makhluq dalam bermaksiat
kepada Al-Khaliq, sesungguhnya ketaatan itu dalam kebaikan. (HR. Bukhari dan
Muslim)
Namum, jika ulil amri
dalam membuat perintah tidak dalam hal kedurhakaan maka yang diperintah wajib
menaatinya walaupun hal itu tidak berkenan baginya.
Baik Quraish Shihab dalam
tafsir Al-Misbah, maupun Sayyid Quthb dalam tafsir Fie Zhilalil Qur’an merujuk
kepada salah satu hadits Rasulullah yang bersumber dari Ibnu Umar dan juga dari
Yahya al-Qaththan bahwa Nabi s.a.w bersabda: “Wajib
atas orang muslim untuk mendengar dan taat terhadap apa yang ia sukai atau ia
tidak sukai, asalkan tidak diperintah berbuat maksiat. Apabila diperintahkan
kepada maksiat, maka tidak boleh mendengar dan menaatinya sama sekali.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Dengan demikian Al-Qur’an
mengajarkan agar orang beriman itu membangun ketaatan atas sandaran ketaatan
kepada Allah dan Rasul-Nya, dan ulil amri yang juga taat kepada Allah dan
Rasul-Nya, inilah ketaatan hakiki dan imani.
Jadi Al-Qur’an tidak
mengajarkan ketaatan karena gertakan atau menakut-nakuti karena itu melahirkan
ketaatan semu yang umumnya menjadi kebiasaan ketaatan binatang kepada sang
penggembala.
Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang suatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah
(Al-Qur’an) dan Rasul (sunnah).
Berikut ini disadurkan
uraian Sayyid Quthb dalam tafsir Fie Zhlalil Qur’an yang mengatakan tentang hal
ini bahwa: mengenai masalah-masalah yang tidak terdapat nashnya (ketentuan dari
al-Qur’an dan atau hadits), dan persoalan-persoalan yang berkembang seiring
dengan perkembangan waktu dan kebutuhan manusia serta perbedaan lingkungan,
sementara tidak terdapat nash qath’i (ketentuan secara pasti) yang mengaturnya.
Maka hal ini tidak dapat
dibiarkan tanpa ada metode penyelesaiannya, maka harus diselesaikan dengan
metode ijtihad yang menganut prinsip-prinsip dasar yang jelas yang meliputi
segala aspek kehidupan pokok manusia yang didasarkan atas komitmen terhadap
pertimbangan agama (Al-Qur’an dan Sunnah).
Wahai orang beriman!
Inilah metode yang harus ditempuh: “jika kamu benar-benar beriman kepada Allah
dan hari kemudian,” Dan yakinlah bahwa; Yang demikian itu lebih utama (bagimu)
dan lebih baik akibatnya.” (bersambung)
Artikel sebelumnya:
Jangan Shalat dalam Keadaan Mabuk atau Junub
Jangan Memakan Harta Sesama dengan Cara Batil dan Jangan Membunuh