-----
PEDOMAN KARYA
Senin, 23 Maret 2020
Beribadah dengan Mengambil Rukshah
Oleh:
Harman Tajang
(Sekretaris Dewan
Syari’ah Wahdah Islamiyah, Mahasiswa Pascasarjana Program S3 Universitas
Qassim, Saudi Arabiah, Fakultas Syari’ah, Jurusan perbandingan madzhab)
Saudara-saudariku sekalian, kaum muslimin dan muslimat rahimakumullah. Kita semua bisa memahami bagaimana perasaan antum tidak bisa sementara ke mesjid, apalagi mereka yang memang telah merasakan kelezatan shalat berjamaah dan hatinya bergantung dengan masjid.
Kita tahu ada yang
sejak bahkan sebelum ia baligh sampai sekarang, tidak pernah meninggalkan
shalat Jum’at, bahkan mungkin dalam kondisi safar sekalipun, yang ada
keringanan untuk tidak shalat Jum’at, ini biasa terlihat dengan mobil-mobil
penumpang yang parkir di depan mesjid di hari Jum’at, tentu semua ini adalah
pertanda keimanan.
Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda, “Jika engkau melihat orang yang rajin ke masjid maka
persaksikan atasnya keimanan.”
Namun saudaraku yang
aku cintai. Allah yang mensyariatkan kita shalat berjamaah dan shalat Jum’at, Dia pula
yang memberikan keringanan jika ada halangan dan udzur syar’i untuk kita tidak
menghadirinya. Bukankah Rasulullah Shallallahu diutus oleh Allah untuk memberi
kemudahan pada umatnya yang membelenggu umat-umat terdahulu? (QS. Al-A’raf :
57)
Allah menurunkan
syariat ini bukan untuk menyusahkan, melainkan memberi solusi dan kelapangan
(QS. Al-Baqarah : 185) dan (QS. Al-Haj : 78). Jangan dipahami bahwa kita
bermudah-mudahan karena sesungguhnya agama ini memang telah mudah bagi mereka
yang telah dilapangkan dadanya.
Keringanan yang Allah
berikan itu disebut rukhsyah yang merupakan hadiah dari Allah. Kalau antum memberi
hadiah kepada seseorang, baju misalnya, kemudian antum melihat dia memakainya
bahkan menjadikannya baju andalan, bagaimana perasaan antum kepadanya? Pasti
antum cinta dan suka.
Begitu pula ketika
Allah memberi keringanan dan kita mengambilnya, maka sungguh Allah akan senang kepada
kita. Ini bukan penulis yang bilang, tapi Rasulullah yang bersabda, “Sesungguhnya
Allah senang kita mengambil keringanannya, sebagaimana Allah senang kita
bersungguh-sungguh (dalam kondisi normal). (HR. Ibnu Hibban). Bahkan Rasulullah
bersabda : “Ambillah keringanan-keringanan dari Allah.”
Tentu menentukan
rukshah atau keringanan harus berlandaskan Al-Quran dan sunnah, serta penjelasan
para ulama, bukan pada hawa nafsu, apalagi jika sengaja mencari-cari keringanan
untuk bermudah-mudahan.
Dan kabar baiknya,
seseorang yang terhalangi melakukan sebuah kebaikan namun terhalangi karena
udzur syar’i, maka ia akan mendapatkan pahalanya secara sempurna tanpa
dikurangi sedikitpun seakan ia mengerjakannya secara sempurna.
Suatu ketika,
Rasulullah bersama para sahabat dan pengikutnya terlibat dalam Perang Tabuk. Sebuah
perang yang sangat melelahkan, perjalanan ditempuh berhari-hari, di puncak
musim panas, ditambah lagi dengan fitnah dunia, ujian panen kurma di Madinah
waktu itu.
Sekembali dari perang
yang melelahkan itu, beliau berkata kepada para sahabatnya, “Sesungguhnya ada
saudara-saudara kalian (yang tidak ikut perang), tidaklah kalian melewati
sebuah jalan, mendaki sebuah gunung atau menuruni lembah melainkan mereka
mendapatkan pahala seperti kalian.”
Sahabat bertanya
keheranan, “Dan mereka di Madinah ya Rasulallah?” Beliau menjawab, “Ya, mereka
terhalangi udzur (alasan syar’i).”
Dalam hadits yang lain
beliau bersabda, “Siapa yang safar, atau sakit, maka dituliskan untuknya pahala
yang sempurna sebagaimana ketika ia melaksanakannya dalam keadaan sehat dan
muqim.”
Tentu syarat hadits di atas
adalah ketika ia rutin menjaga amalan tersebut dalam kondisi normal. Misalkan
ia rajin berjamaah di masjid, namun tiba-tiba jatuh sakit dan shalat di rumah,
maka ia mendapatkan pahalanya secara sempurna.
Kondisi di atas persis
dengan kondisi sekarang ini. Arahan tinggal di rumah, tidak ke masjid sementara
waktu untuk berjamaah dan shalat Jum’at, tentu menyesakkan jiwa, bahkan mungkin
sampai ada yang menangis karena sangat bersedih. Dan sekali lagi, itulah tanda
keimanan dan keistiqamahan, namun begitulah Allah menguji hamba-hamba-Nya dan
bentuk kasih sayangnya.
Para ahli medis,
pemerintah dan ulama, telah berijma’ akan daruratnya membatasi gerakan, tinggal
di rumah dan menghindari tempat-tempat perkumpulan. Larangan sementara ini
bukan untuk menghalangi orang dari kebaikan, na’udzubillah, apalagi sampai
dibawakan ayat, “Siapakah yang lebih dzalim dari orang yang menghalangi manusia
dari masjid-masjid Allah.” (QS Al-Baqarah: 114).
Bukan sama sekali, tapi
semata-mata untuk kemaslahatan dan kebaikan bersama, mencegah kemudaratan yang
lebih besar.
Saudara-saudara kita para
ahli medis telah kewalahan. Mereka mengorbankan jiwanya untuk kita. Mereka
lebih tahu dalam kondisi genting seperti ini, mereka cuma minta agar korban
tidak terus bertambah karena kemampuan mereka juga terbatas.
Mereka bukan malaikat
atau robot, mereka juga manusia biasa, punya keluarga dan berjibaku demi
berkhidmah pada umat. Mereka cuma minta dari kita, tinggallah di rumah!
Dan ini juga kesempatan
bagi kita untuk lebih banyak bersama keluarga, bersama istri dan anak-anak. Shalat
berjamaah dengan mereka adalah kesempatan mengajarkan tata cara shalat yang
benar, mengontrol bacaan shalat mereka, memperbaiki gerakan-gerakan yang keliru,
dll.
Semoga Allah segera
mengangkat ujian ini dan mengembalikan segalanya dengan kondisi yang lebih
baik.
Sekali lagi penulis tegaskan!
Ikhwah yang mengambil keringanan tidak menghadiri shalat di masjid saat
sekarang ini, maka sungguh Anda telah melakukan apa yang diridhai Allah, insya
Allah. Dan pahala antum akan sempurna, insya Allah. Akhukum.