Kami baru pertama kali bertemu. Saya dan Maya berkenalan lewat Facebook sekitar enam bulan silam. Saya tinggal di Makassar dan Maya tinggal di Bulukumba. Kami janjian bertemu di Masjid Islamic Center Dato Tiro Bulukumba, karena kebetulan saya ada kegiatan di daerah berjuluk Butta Panrita Lopi.
-----------
PEDOMAN KARYA
Rabu, 08 April 2020
CERPEN
Daeng,
Saya Mau Jadi Isterita’
Oleh:
Datuk Gogo Putih
“Daeng, saya mau jadi
isterita’,” kata Maya kepada saya ketika bertemu di Masjid Islamic Center Dato
Tiro Bulukumba.
Saya langsung terdiam,
tak bisa bicara. Permintaan Maya itu sangat tiba-tiba dan rasanya seperti meteor
yang jatuh dari langit dan langsung menghunjam tubuh saya.
Kami baru pertama kali
bertemu. Saya dan Maya berkenalan lewat Facebook sekitar enam bulan silam. Saya
tinggal di Makassar dan Maya tinggal di Bulukumba. Kami janjian bertemu di Masjid
Islamic Center Dato Tiro Bulukumba, karena kebetulan saya ada kegiatan di
daerah berjuluk Butta Panrita Lopi.
Meskipun sudah enam
bulan berkenalan, saya benar-benar tidak banyak tahu tentang Maya, tapi saya
tahu usianya sepuluh tahun di bawah saya. Saya hanya sekali-sekali mengomentari
postingannya di Facebook, dan Maya pun tidak terlalu sering mengomentari
postingan saya.
“Kenapa daeng melamun?”
tanya Maya tersenyum membuyarkan lamunanku.
Senyumannya terlihat
begitu manis dan senyum itu terlihat asli, bukan senyum yang dibuat-buat agar
terlihat manis. Harus saya akui, Maya memang cantik dan manis. Dan sebagai laki-laki,
saya pun tertarik kepadanya.
“Hei, kenapa melamun
lagi,” ujar Maya masih dengan senyumannya yang manis dan lagi-lagi membuyarkan
lamunanku.
Terus terang saya agak
gugup dan seperti tak kuat mendengar permintaan Maya. Saya benar-benar kaget
dan tak berdaya menjawabnya.
“Maya,” kata saya
berupaya mengembalikan kekuatan.
“Iye’ daeng,” kata
Maya.
“Saya sudah punya
isteri,” kata saya berterus-terang.
“Saya tahu itu daeng,”
kata Maya sambil tersenyum.
“Saya juga sudah punya
anak,” ungkap saya.
“Saya tahu itu daeng,”
kata Maya masih sambil tersenyum.
“Gaji dan pendapatan
saya sebagai dosen di perguruan tinggi swasta, juga tidak banyak,” ungkap saya.
“Tidak usah daeng
pikirkan soal itu,” kata Maya dengan nada tegas.
Seharusnya saya
gembira, tapi justru sebaliknya, saya kembali seperti tidak berdaya.
Seolah-olah meteor itu datang lagi dan menghunjam tubuhku. Saya tidak tahu
lagi, apa yang harus saya bilang kepada Maya.
“Daeng,” kata Maya
dengan nada memanggil.
Saya pun berupaya
menatap wajahnya, tapi tidak bisa berlama-lama, Mata saya kalah. Saya pun
tertunduk.
“Daeng, saya siap jadi
isteri kedua dan daeng tidak perlu mengkhawatirkan soal biaya hidup untuk saya.
Yang saya minta, daeng menikahi saya. Daeng tetap tinggal di Makassar, dan saya
pun tetap tinggal di Bulukumba,” kata Maya.
Sebenarnya ini sangat
bagus untuk saya, tapi saya justeru merasa malu.
“Baiklah,” kata saya
sambil berupaya terlihat tegar.
“Alhamdulillah,” kata
Maya sambil mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
“Tapi jawab dulu
pertanyaan saya,” kata saya.
“Apa itu daeng?” Maya
balik bertanya.
“Mengapa adinda ingin
menikah dengan saya, padahal adinda tahu saya sudah berkeluarga, dan usia kita
cukup jauh berbeda?” tanya saya.
Maya tidak langsung
menjawab. Ia menatapku sambil tersenyum dan tatapan manis itu membuat saya
lagi-lagi tak berdaya. Saya kalah. Pandangan mata saya langsung jatuh ke lantai
masjid yang berkarpet warna merah.
“Saya sudah lama
mengenal daeng. Kita memang belum pernah bertemu, tapi saya selalu membaca
tulisan-tulisan daeng di media massa. Begitu pun postingan-postingan daeng di
media sosial. Saya tidak pernah membaca postingan yang buruk dari daeng,
semuanya baik dan bermanfaat,” tutur Maya.
Saya mendengarnya
sambil mengalihkan pandangan ke langit-langit masjid.
“Saya cari tahu tentang
latar belakang kehidupan daeng, jadi saya cukup tahu banyak tentang daeng. Saya
kemudian shalat istikharah, meminta petunjuk kepada Allah SWT. Saya sampaikan
ke bapak saya, dan alhamdulillah bapak saya menyerahkan sepenuhnya apapun
keputusan saya,” lanjut Maya.
Saya manggut-manggut
mendengarkan penuturannya tapi belum kuat membalas tatapan matanya.
“Tentang saya,
terus-terang saya memang pernah berkenalan dengan beberapa laki-laki, tapi sama
sekali tidak pernah pacaran. Jadi insya Allah, saya tidak pernah disentuh oleh
laki-laki,” kata Maya sambil tertunduk malu.
Baru kali ini saya
melihat ia tertunduk malu seperti itu. Sejak bertemu beberapa jam lalu, ia
begitu tegar, dewasa, dan penuh percaya diri, tapi kini ia tertunduk malu.
“Saya percaya semua
yang adinda sampaikan,” ujar saya berupaya memberinya kekuatan agar tidak
terlihat lemah.
Kami kemudian sepakat
menikah. Akad nikah dilangsungkan secara sederhana di rumah orangtua Maya dan
dihadiri keluarga dekatnya. Tidak ada pesta, apalagi musik. Acara nikah benar-benar
sederhana.
Sesuai kesepakatan kami
sebelumnya, saya tetap menetap di Makassar dan Maya menetap di Bulukumba.
Setiap pekan atau sekali dalam dua pekan, kami bertemu di Makassar atau di
Bulukumba.
Setelah beberapa bulan
menikah, saya baru tahu ternyata Maya adalah seorang dokter, dan ia anak
tunggal. Ayahnya, mertua saya, adalah seorang pengusaha, tapi seperti Maya,
mertua saya pun selalu tampil sederhana. Sama sekali tidak terlihat dirinya
sebagai orang kaya.
Sebelas bulan kemudian,
Maya melahirkan dan alhamdulillah, Allah mengaruniai kami anak laki-laki.
Satu pekan kemudian, saya menyampaikan kepada isteri pertama saya, bahwa saya akan
berangkat ke Bulukumba. Dan alangkah kagetnya saya ketika ia mengatakan akan
menemani saya.
Saya benar-benar kaget.
Keringat dingin saya mengucur. Saya tidak tahu apa yang harus saya katakan
kepadanya. Yang membuat saya heran, karena ia selalu tersenyum dan tampak
bahagia.
“Saya juga mau ke
Bulukumba daeng. Kebetulan sudah lama tidak ke Bulukumba. Saya mau ke Bira,
saya mau singgah shalat di Masjid Islamic Center Dato Tiro. Juga singgah di
tempat pembuatan perahu pinisi,” kata isteri saya sambil tersenyum.
Saya tak kuasa menolak
keinginannya, tapi di sisi lain saya sangat gelisah. Sepanjang perjalanan ke
Bulukumba, saya tidak bisa tenang. Sebaliknya, isteri saya terlihat sangat
senang dan bahagia. Ia benar-benar menikmati perjalanan kami berdua.
Tiba di perbatasan
Bulukumba – Bantaeng, isteri saya meminta agar ia yang menyetir mobil.
“Kayaknya capekmaki’
bawa mobil daeng, biar saya yang bawa mobil sampai di kota Bulukumba,” katanya
dan kami pun bergantian tempat duduk.
Tiba di kota, ia
ternyata mengarahkan mobil ke jalanan menuju rumah Maya. Dan, ia benar-benar
menuju rumahnya Maya, dan di sana terlihat banyak orang dengan wajah-wajah
ceria.
“Kenapaki' kesini?”
tanya saya.
“Ini kan rumahnya Maya,
dan hari ini anaknya diaqiqah,” kata isteriku sambil tersenyum.
“Kamu kenal sama Maya?”
tanya saya.
“Dia datang ke rumah
beberapa hari setelah daeng dan Maya menikah. Maya datang meminta maaf dan
menjelaskan semuanya, dan kami sepakat merahasiakannya, jadi seolah-olah saya
tidak tahu bahwa daeng sudah menikah, dan seolah-olah Maya tidak mengenal saya,”
kata isteri saya sambil tertawa.
Gowa, 08 April 2020
--------
Baca juga:
--------
Baca juga:
Maya maya...!
BalasHapus