DIRIKAN
SEKOLAH. Setelah menikah pada tanggal 12 November 1903, RA
Kartini, oleh sang suami diberi kebebasan dan didukung mendirikan sekolah
wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor Kabupaten Rembang. Di
sekolah yang didirikannya itulah, ia bersama saudaranya mengumpulkan anak-anak
perempuan untuk diajar membaca, menulis, dan berhitung. (int)
----------
PEDOMAN
KARYA
Jumat,
24 April 2020
Mengenal
dan Mengenang RA Kartini (2-habis)
Kartini
Ingin Wanita Memiliki Kebebasan
Oleh:
Asnawin Aminuddin
(Kepala Perpustakaan
Pers PWI Sulsel)
Kartini dalam
surat-suratnya, menulis pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial saat itu,
terutama tentang kondisi perempuan pribumi.
Sebagian besar
surat-suratnya berisi keluhan dan gugatan, khususnya menyangkut budaya di Jawa
yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan. Dia ingin wanita memiliki
kebebasan menuntut ilmu dan belajar.
Surat-surat Kartini
juga berisi harapannya untuk memperoleh pertolongan dari luar. Pada perkenalan
dengan Estelle “Stella” Zeehandelaar, Kartini mengungkap keinginan untuk
menjadi seperti kaum muda Eropa.
Ia menggambarkan
penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk
di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak
dikenal, dan harus bersedia dimadu.
Surat-surat Kartini
banyak mengungkap tentang kendala-kendala yang harus dihadapi ketika
bercita-cita menjadi perempuan Jawa yang lebih maju. Meskipun memiliki seorang
ayah yang tergolong maju karena telah menyekolahkan anak-anak perempuannya
walaupun hanya sampai umur 12 tahun, tetap saja pintu untuk ke sana tertutup.
Kartini sangat
mencintai sang ayah, namun ternyata cinta kasih terhadap sang ayah tersebut
juga pada akhirnya menjadi kendala besar dalam mewujudkan cita-citanya. Dalam
suratnya, Kartini mengungkapkan bahwa ayahnya sangat menyayangi dan
mengasihinya.
Kartini menyebutkan
bahwa ayahnya tidak mengizinkannya melanjutkan studi ke Belanda ataupun untuk
masuk sekolah kedokteran di Betawi, tetapi kemudian mengizinkan dirinya belajar
di Betawi untuk menjadi guru.
Keinginan Kartini untuk
melanjutkan studi, terutama ke Eropa, terungkap dalam surat-suratnya. Beberapa
sahabat penanya mendukung dan berupaya mewujudkan keinginan Kartini tersebut.
Ketika akhirnya Kartini
membatalkan keinginan yang hampir terwujud tersebut, terungkap adanya
kekecewaan dari sahabat-sahabat penanya.
Niat dan rencana untuk
belajar ke Belanda tersebut akhirnya beralih ke Betawi saja setelah dinasihati
oleh Nyonya Abendanon bahwa itulah yang terbaik bagi Kartini dan adiknya
Rukmini.
Pada pertengahan tahun
1903, saat berusia sekitar 24 tahun, niat untuk melanjutkan studi menjadi guru
di Betawi pun pupus.
Dalam sebuah surat
kepada Nyonya Rosa Abendanon, Kartini mengungkap bahwa dirinya tidak berniat
lagi karena ia sudah akan menikah.
“... Singkat dan pendek
saja, bahwa saya tiada hendak mempergunakan kesempatan itu lagi, karena saya
sudah akan kawin...”, tulis Kartini, padahal saat itu pihak departemen
pengajaran Belanda sudah membuka pintu kesempatan bagi Kartini dan Rukmini
(saudaranya) untuk belajar di Betawi.
Saat menjelang
pernikahannya, terdapat perubahan penilaian Kartini soal adat Jawa. Ia menjadi
lebih toleran. Ia menganggap pernikahan akan membawa keuntungan tersendiri
dalam mewujudkan keinginan mendirikan sekolah bagi para perempuan bumiputra
kala itu.
Dalam surat-suratnya,
Kartini menyebutkan bahwa sang suami tidak hanya mendukung keinginannya untuk
mengembangkan ukiran Jepara dan sekolah bagi perempuan bumiputra saja, tetapi
juga disebutkan agar Kartini dapat menulis sebuah buku.
Perubahan pemikiran
Kartini ini menyiratkan bahwa dia sudah lebih menanggalkan egonya dan menjadi
manusia yang mengutamakan transendensi, bahwa ketika Kartini hampir mendapatkan
impiannya untuk bersekolah di Betawi, dia lebih memilih berkorban untuk
mengikuti prinsip patriarki yang selama ini ditentangnya, yakni menikah.
Mendirikan Sekolah
Ya, di saat semangatnya
tengah membara untuk memperjuangkan kemajuan kaum wanita itu, Kartini tiba-tiba
disuruh menikah dan ia pun dinikahkan dengan Bupati Rembang, KRM Adipati Ario
Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri.
Kartini menikah pada tanggal
12 November 1903. Untungnya, sang suami sangat memahami keinginan Kartini. Ia
pun diberi kebebasan dan didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah timur
pintu gerbang kompleks kantor Kabupaten Rembang. Sebuah bangunan yang kini
digunakan sebagai Gedung Pramuka.
Di sekolah yang
didirikannya itu, ia bersama saudaranya mengumpulkan anak-anak perempuan untuk
diajar membaca, menulis, dan berhitung.
Namun, di saat ia
tengah mengembangkan sekolah yang didirikannya, Kartini hamil dan kemudian
melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Soesalit Djojoadhiningrat.
Anaknya tersebut lahir
pada tanggal 13 September 1904, dan empat hari kemudian (17 September 1904),
Kartini meninggal dunia pada usia 25 tahun, empat bulan, dan 26 hari. Kartini
dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Kabupaten Rembang.
Meskipun telah
meninggal dunia, semangat Kartini ternyata tidak mati. Delapan tahun kemudian,
tepatnya pada tahun 1912, berdiri sebuah Sekolah Wanita di Semarang yang
didirikan oleh Yayasan Kartini (didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang
tokoh Politik Etis).
Kemudian bermunculan
beberapa sekolah wanita lainnya di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun,
Cirebon, dan beberapa daerah lainnya. Sekolah-sekolah wanita tersebut umumnya
diberi nama “Sekolah Kartini.”
Buku Kartini
Semangat Kartini juga
terus berkobar melalui beberapa buku yang berisi tentang biografi dan
pemikiran-pemikirannya, antara lain “Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah
Pikiran” (Empat Bersaudara), “Habis Gelap Terbitlah Terang” (Armijn Pane), dan
“Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya” (Sulastin Sutrisno).
Selain itu, ada juga
buku “Letters from Kartini, An Indonesian Feminist 1900-1904” (Joost Coté),
“Panggil Aku Kartini Saja” (Pramoedya Ananta Toer), “Kartini Surat-surat kepada
Ny RM Abendanon-Mandri dan suaminya” (Sulastin Sutrisno), serta “Aku Mau ...
Feminisme dan Nasionalisme. Surat-surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar
1899-1903” (Dr Joost Coté).
Semangat dalam Lagu
Surat-surat dan
perjuangan RA Kartini juga memberi inspirasi bagi tokoh-tokoh kebangkitan
nasional, antara lain WR Soepratman yang berhasil menciptakan sebuah lagu
berjudul “Ibu Kita Kartini”.
Lagu “Ibu Kita Kartini”
menggambarkan inti perjuangan wanita untuk merdeka. Kini kemerdekaan kaum
wanita diwujudkan dalam konsep emansipasi wanita.
-------
Sumber referensi:
- https://id.wikipedia.org/wiki/Kartini, dikutip
pada 24 April 2020
- http://www.biografipedia.com/2016/04/biografi-ra-kartini-wanita-indonesia.html