Agar seorang hamba mampu mencapai keutuhan hidup, maka ia harus membangun persiapan awal. Persiapan dimaksud, yakni membekali diri dengan keikhlasan ibadah melalui proses “mencari” (a’boja) frekuensi ilahiah dan “merengkuh” (a’rappung) resonansi power ma’rifatullah.
Oleh:
Andi Mahrus
--------
PEDOMAN KARYA
Ahad, 05 April 2020
Pappasang
Tu Riolo
Oleh:
Andi Mahrus
(Sastrawan,
Budayawan)
Pappasang Tu
Riolo:
Bakka’ pomponna
Natide’
Naha-nahanna
Tidak
jarang kita mendengar suatu ungkapan leluhur, namun itu hanya dipandang sebagai
ejekan. Padahal sesungguhnya, apabila ungkapan itu dianalisis, maka hasilnya
dapat mencerahkan pikiran dan perasaan kita.
Judul
tulisan di atas adalah ungkapan Bahasa Makassar berdialek Selayar. Muhammad
Amir Jaya, seorang penyair asal daerah kepulauan di wilayah selatan Sulawesi
Selatan (baca: “Tana Doang”), mengirimkan pesannya di dinding WhatsApp saya.
Amir Jaya menulis:
Bojaki nyawa-Na
lalang tallasa’mu
Namurappungngi
Tallasa’ ri
kalemmu
Sangge mukalepa’
bajiki
iyamintu
katallassanga
nikuayya: Huwa
Kajai antu
sallang
tau tallasa’
mingka
bakka'
pomponna
natide’
naha-nahanna.
Artinya:
Carilah
ruh-Nya
di
keluar masuk
nafasmu
Dan
rengkuhlah
hidup
ke dalam dirimu
Sampai
engkau
mendekap
utuh
hakikat
kehidupan
yang
berintikan; Dia.
Membaca
ketiga bait ungkapan puitis (baca: pesan leluhur) di atas, maka sepintas
terkenang tarikat orang tua-tua di kampung saya dahulu. Tarikat semacam itu
sering menjadi incaran di kalangan anak muda pencari ilmu.
Pesan
sufistik di atas bukanlah tarikat untuk menundukkan hati perempuan. Bukan pula
menyangkut ilmu kekebalan tubuh, melainkan tarikat penguatan akidah.
Larik-larik pesan tersebut menawarkan sebuah jalan lurus menuju kebenaran
hakiki, yaitu bagaimana cara menaklukkan pribadi kita secara utuh agar merdeka
dari jurus-jurus penjajahan hawa nafsu.
Terlepas,
apakah Amir Jaya seorang pengkaji ilmu tarikat atau sekadar peminat pesan-pesan
Tu Riolo, ungkapan puitis tersebut di atas sangat dalam menampung hikmah. Inti
kedalaman hikmahnya, dapat dibaca pada bait ketiga pesannya sebagai berikut:
Sangge mukalepa’
bajiki
iyamintu
katallassanga
nikuayya; Huwa
Kata
“Huwa” dalam perspektif tasawuf mengarah ke satu titik penyempurnaan hidup. Bahkan
secara semiosis, pada lapis terdalam diksinya, maka “Huwa” adalah Tuhan itu
sendiri; Dia, Pemilik Kehidupan yang hakiki.
Agar
seorang hamba mampu mencapai keutuhan hidup, maka ia harus membangun persiapan
awal. Persiapan dimaksud, yakni membekali diri dengan keikhlasan ibadah melalui
proses “mencari” (a’boja) frekuensi ilahiah dan “merengkuh” (a’rappung)
resonansi power ma’rifatullah.
Dalam
tasawuf, proses ini dikenal dengan istilah tahalli, takhalli dan tajalli. Atau
para penempuh tarikat sering menyebutnya sebagai ikhtiar pengosongan hati,
pengisian batin dan penikmatan jiwa atas kemahaindahan Ruhullah.
Dalam
sebuah Hadis Qudsi yang difirmankan oleh Allah Swt melalui Rasulullah Saw,
terdapat satu ungkapan kata yang teramat puitis:
Innallaaha
jamiilun
wa yuhibbul
jamaal
(Allah
itu Mahaindah
dan
mencintai keindahan)
Bagi
pengikut tarikat, keindahan atau kelezatan hidup yang hakiki dapat dirasakan dengan mudah. Gejolak sukma berupa
resonansi power “bizikrillah”, mengantar mereka mabuk di lautan hub dan isyk
(baca: cinta dan rindu). Pada dimensi itulah dunia ini menjadi fana.
Soal
dimensi kefanaan maujud, kita jeda di sini saja. Ungkapan leluhur yang menjadi
judul tulisan ini belum terjamah. Muhammad Amir Jaya, sepertinya, ingin bicara
kepada khalayak lewat bahasa kampung, sesuai dialek komunitasnya sendiri:
Bakka' pomponna
Natide’
naha-nahanna
Artinya:
Besar
perutnya
Tapi
kosong dari pikiran.
Sepintas
lalu, frase subjek pada larik di atas mengimajinasikan sesosok fisikal manusia gemuk
dengan perut menggelembung puluhan centi ke depan. Namun setelah membaca
predikatnya, ternyata ungkapan tersebut memiliki tafsir yang cukup padat.
Sayangnya,
tafsir yang bisa hadir dari kalimat itu seluruhnya bernada sumbang. Di dalamnya
ada keangkuhan eksistensial. Bahkan, dari intipan hermeneutik, ia menjadi
eksposisi ruhani yang sempurna dan didominasi oleh “keterbunuhan” sukma
Ilahiah.
Dua
idiom bahasa semiotik, yaitu “pompong” dan “naha-naha” adalah ekspresi wajah
manusia yang mewakili alam realitas. Kata “pompong’ dan ‘naha-naha’ dalam dialek
masyarakat Selayar, bermakna “perut” dan “otak”.
Kedua
organ tubuh manusia ini bersinergi, bersama-sama mengusung suasana “keterbunuhan”
sukma Ilahi dalam diri seseorang. Wujud “keterbunuhan” dimaksud dapat dilihat
dari dua dimensi, yakni:
A.
Otak (Tide’ naha-nahanna),
bawaannya antara lain :
1. Cara pikir bermasa bodoh, (biasa diungkapkan
lewat kalimat Bahasa Makassar: urusu’ tommi naung),
2. Kurang peduli terhadap sesama dan
lingkungannya (passang tommi mae)
3. Merasa lebih hebat dari orang lain (inaeko)
4. Bebal (porenu)
5. Keras hati (ammarimako, suntili’)
B.
Perut (Bakka’ pomponna),
bawaannya antara lain:
1.
Kikir (bojatongko dalle)
2.
Rakus (anungku ngase’ njoreng)
3.
Individualistis (inakke tommo)
4.
Materialistis (ribokoangpi hallala’na)
Kedua
dimensi unsur manusia yang tercakup di dalam ungkapan leluhur tersebut dapat dinarasikan sebagai berikut:
Ampa gele muboja
Karaengmu
nagele tongi
mutaro
baji-baji lalang
riha'ammu
Namusekko
mupareka'
lalang ri atimmu
Ikau mottu
sitoje'-toje'na
tau
sitinajanjo
ritalla'
to langkasa
pangngai
pappakalabbiri'na
ri kasannanganna
lino
Tide' akkala,
tide' teka' baji
Bakka' pomponna
natide'
naha-nahanna.
Artinya
:
Kalau
engkau
tak
mencari Tuhanmu
Tiada
pula
merengkuh-Nya
Apalagi
mendekap
ke
dalam sukmamu
Maka
engkaulah
sesungguhnya
manusia
yang
patut digelar
Pencinta
dunia:
Tanpa
otak
Tanpa
hatinurani.
Begitulah
filosofi yang tersimpul di kedalaman pesan leluhur berbahasa Makassar, dialek
Selayar. Ibarat manik-manik berserakan di hamparan jagat raya, maka
kita-kitalah yang harus menguntainya menjadi gelang yang indah. ***
Makassar,
05 April 2020