Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang-orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah walaupun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan keluarga kerabatmu. Jika ia kaya atau miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar-balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan. (QS 4/An-Nisa: 135)
PEDOMAN KARYA
Jumat, 10 April 2020
Al-Qur’an
Menyapa Orang-orang Beriman (25):
Perintah Menjadi Sebenar-benar Penegak Keadilan dan Menjadi Saksi karena Allah
Oleh:
Abdul Rakhim Nanda
(Wakil Rektor I Unismuh
/ Wakil Sekretaris Muhammadiyah Sulsel)
Wahai
orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang-orang yang
benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah walaupun
terhadap
dirimu sendiri atau ibu
bapak dan keluarga kerabatmu. Jika
ia kaya atau
miskin,
maka Allah
lebih tahu
kemaslahatannya.
Maka
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar-balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui
segala
apa yang kamu kerjakan. (QS 4/An-Nisa: 135)
Sapaan Al-Qur’an kali ini disandarkan pada suatu anjuran kuat kepada
orang-orang beriman untuk
menunaikan satu
tugas mulia, yakni
menjadi seorang penegak keadilan dan menjadi saksi karena Allah
SWT, walaupun terhadap diri sendiri ataupun ibu bapak, serta saudara atau kerabat
dekat.
Tugas ini
mulia tapi sangat berat, karena
orang
beriman harus menghadapi diri dan perasaannya dan juga berhadapan dengan orangtua serta saudara/kerabatnya. Namun, Allah SWT menyadarkan orang-orang beriman itu bahwa kondisi seperti ini pasti
akan ditemui
dalam kehidupan dan harus
ada
orang yang mau menegkkannya.
Lalu
dengan
kelembutan dan kasih
sayang
Allah, Dia-pun berfirman:
“Wahai
orang-orang beriman! jadilah kamu orang-orang
yang
benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah.”
Menurut Quraish Shihab, kata “kunu qawwamina bil qisth/jadilah penegak-penegak keadilan”, ini merupakan redaksi yang sangat kuat. Ini merupakan
tingkat peneguhan yang ketiga dari proses penegakan
keadilan ini.
Perintah berlaku adil dapat dikemukakan dengan:
(1) i’dilu/berlaku adillah, kemudian naik setingkat menjadi (2) kuwnu muqsithin/jadilah
orang-orang adil, lalu meningkat lebih tegas lagi menjadi (3) kuwnu qawwamina
bil
qisthi/jadilah
penegak-penegak keadilan yang
sempurna
lagi sebenar-benarnya.
Orang-orang yang beriman
itu
hendaknya benar-benar menegakkan keadilan secara sempurna dan
penuh
perhatian, dan menjadi sifat
yang melekat
pada
diri
mereka
dan
dilaksanakan dengan penuh ketelitian,
sehingga tercermin
dalam seluruh aktivitas lahir
dan
batinnya.
Jangan sampai
ada sesuatu yang bersumber dari orang- orang
beriman itu menjadikan manusia mengeluhkan keadilan.
Firman Allah SWT: “syuhada’a liLlah/menjadi saksi-saksi karena Allah” mengisyaratkan bahwa persaksian yang
ditunaikan itu, hendaknya demi karena Allah, bukan untuk tujuan-tujuan duniawi yang
tidak sejalan dengan nilai-nilai Ilahi. Demikian disadurkan dari
uraian
Quraish Shihab
dalam tafsir Al-Misbahnya.
Adapun Buya Hamka dalam tafsir Al-Azhar memberi penjelasan
tetang ayat ini bahwa kalimat ‘qawwamina’ dalam ayat ini diartikan
‘berdiri
tegak, sadar dan membela’. Maknanya, tidak ada ketundukan kepada siapaun yang hendak mencoba meruntuhkan keadilan (al qisthi) yang ditegakkan itu.
Al-qisthi diterjemahkan dengan ‘keadilan’ yang juga berarti ‘jalan tengah, tidak berat sebelah’. “Menjadi saksi karena Allah”, artinya berani mengatakan kebenaran, karena keadilan
dan
kebenaran adalah dua arti dari maksud yang
satu.
Seseorang disebut adil karena dia benar, sebaliknya seseorang disebut benar karena dia adil. Hendaknya orang-orang beriman itu berani menyatakan kesasaksian atas keadilan itu
karena Allah semata, sebagai bentuk tanggung-jawabnya kepada Tuhan, sehingga tidak perlu
takut
ancaman sesama manusia
yang berupaya hendak memungkiri
keadilan itu.
“Walaupun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan keluarga
kerabatmu.”
Inilah pekerjaan berat!
Memang berat kalau menegakkan keadilan itu akan
merugikan diri sendiri, atau ibu bapak,
atau keluarga terdekat, namun harus diingat oleh orang yang beriman bahwa yang ditegakkan di sini adalah keridhaan dan
wajah
Allah, semoga dengan begitu yang berat bisa menjadi ringan.
Selain itu, juga harus disadari bahwa bukanlah memuliakan seseorang –
ibu bapak, kelurga dekat,
atau siapapun-- jika dia melakukan kesalahan lalu tetap dipertahankan, melainkan membiarkan mereka dalam kehinaan
dan menyimpang dari ridha Allah SWT.
“Jika ia kaya atau miskin maka Allah lebih tahu kemaslahatannya.”
Sayyid Quthb menuliskan
dalam tafsir Fie Zhilalil Qur’an bahwa:
“Ini adalah amanat untuk menegakkan keadilan secara mutlak, dalam semua keadaan dan lapangan.
Keadilan yang
mencegah kesewenang-wenangan dan kezaliman, dan keadilan yang menjamin kesamaan di antara manusia dan memberikan hak kepada masing-masing yang
punya hak, baik muslim maupun non-muslim.
Karena dalam hak ini, samalah di sisi
Allah antara orang-orang mukmin dan orang-orang yang tidak beriman, antara kerabat dan orang jauh,
antara kawan dan lawan, serta
antara orang kaya dan orang miskin.
Ini adalah upaya
yang amat
berat,
ketika Islam (Al-Qur’an) mendorong jiwa orang-orang yang beriman untuk naik ke puncak ini, yang disaksikan
oleh
pengalaman riil dalam
sejarah, maka Ia menciptakan sesuatu yang benar-benar luar biasa dalam dunia manusia.
Sesuatu keluar-biasaan yang tidak dapat
terjadi kecuali
di bawah naungan –petunjuk dan jalan yang terang- manhaj Ilahi
yang agung
dan
–senantiasa- lurus ini. Demikian
Sayyid Quthb.
Lanjutan firman Allah SWT: “Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari
kebenaran.”
Wahai orang
yang
beriman! Kalian itu beriman! Jangan sampai
karena hawa nafsu
mendorong kalian untuk tidak menegakkan keadilan dan bersaksi yang benar karena Allah.
Hawa nafsu
dalam hal
ini diuraikan oleh Sayyid
Quthb dapat berupa –cinta yang melebihi cinta kepada Allah-
yakni cinta kepada diri sendiri, cinta kepada ibu bapak dan keluarga
dekat, kasihan kepada orang miskin ketika menjadi saksi dan memutuskan perkara,
mempermudah atau mempersulit orang kaya, fanatik –kepada keluarga, kabilah, umat, negara dan bangsa-, dan membenci musuh
meskipun musuh agama.
Semua jenis dan warna hawa nafsu ini dilarang oleh
Allah–menjadi motivasi keberpihakan
dalam menegakkan
keadilan dan
menjadi saksi- agar orang-orang beriman tidak terpengaruh oleh –semua
jenis hawa nafsu
itu- sehingga berpaling
dari
kebenaran dan kejujuran.
Karena itu, Allah SWT berfirman: “Dan jika kamu memutar-balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya
Allah adalah Maha
Mengetahui segala apa yang
kamu kerjakan.”
Ini
adalah peringatan yang keras
dan
tegas dari Allah SWT
kepada orang
yang mengaku
beriman bahwa perbuatan mengikuti hawa nafsu yang memengaruhi pengambilan keputusan
tidak luput dari pantauan Allah,
adalah
Dia Maha Mengetahui, maka Dia pula yang akan memberikan
ganjaran yang
setimpal dengan perbuatan
yang mereka kerjakan.
(bersambung)
***
---------
Artikel sebelumnya:
Perintah untuk Tabayyun dan Menghindari Konflik Kepentingan dalam Suasana Perang
Perintah Bersiap-siaga untuk Bertempur
Artikel sebelumnya:
Perintah untuk Tabayyun dan Menghindari Konflik Kepentingan dalam Suasana Perang
Perintah Bersiap-siaga untuk Bertempur