---------
Sabtu, 16 Mei 2020
Al-Qur’an
Menyapa Orang-orang Beriman (30):
Perintah Berthaharah untuk Shalat
Oleh: Abdul
Rakhim Nanda
(Wakil Rektor I Unismuh / Wakil
Sekretaris Muhammadiyah Sulsel)
Wahai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai
dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit
atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh
perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah
yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak
hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan
ni’matNya bagimu, supayakamu bersyukur. (QS Al-Maaidah/5:6)
Ada dua inti sapaan Allah SWT dalam ayat ini, yakni perintah-Nya kepada orang-orang
beriman agar senantiasa menjaga kesuciannya dan juga perintah untuk menunaikan
shalat, namun perintah tersebut diikuti dengan beberapa penjabaran umum secara
teknis, walaupun perinciannya masih diikuti dengan tuntunan Rasulullah s.a.w melalui haditsnya.
Wahai orang-orang yang beriman!
Ikutilah tuntunan Allah dan RasulNya, yakni pertama, apabila kamu hendak
mengerjakan shalat maka berwudhulah.
Berwudhu yang hendak diuraikan dalam
pembahasan dalam ayat ini adalah wudhu
untuk shalat, bukan wudhu untuk kesinambungan kesucian bagi orang
yang sudah terbiasa melakukannya.
Kata ‘idza qumtum ilasshalah’dalam ayat ini dapat dipahami bahwa; (1) apabila
kamu benar-benar sudah akan mengerjakan shalat,
artinya tidak ada lagi jeda antarawudhu
dengan shalat, (2) wudhu dan shalat adalah satu rangkaian, maka hendaknya seseorang jika sudah berwudhu
agar tidak lagi mengerjakan pekerjaan lain yang tidak terkait dengan persiapan shalat.
Dan (3) Selain wudhu menjadi syarat syahnya shalat, dapat juga dipahami sebaiknya melakukan
wudhu setiap hendak shalat bila sudah
dijeda dengan aktivitas lain walaupun wudhunya belum batal dari segi lahiriyah
(misalnya buang angin atau penyebab lahiriyah lainnya).
Kedua, berwudhulah dengan memenuhi rukun wudhu menurut Al-Qur’an, yakni;(1) membasuh muka, dan (2) membasuh tangan sampai siku,
dan (3) mengusap kepala dan (4) membasuh kaki sampai dengan kedua mata kaki.
Inilah rukun wudhu yang wajib
dipenuhi menurut Al-Qur’an.
Adapun secara tertibnya, berwudhu
dilakukan dengan mengikuti petunjuk dari Rasulullah
s.a.w. sebagai berikut: (1) membaca
basmalah (2) berniat iklhas dalam
hati karena Allah, (3) membasuh
tangan sebanyak tiga kali dengan mendahulukan tangan kanan kemudian yang kiri.
(4) menghirup air dan berkumur secara
sempurna sebanyak tiga kali, kecuali sedang puasa maka mengisap air dan
berkumur harus dijaga agar tidak masuk ke kerongkongan, (5) membasuh muka
dengan mengusap dua sudut mata dan digosok serta menyelahi janggut –bagi yang
berjenggot- sebanyak tiga kali.
(6) membasuh tangan sampai siku dan
menyelahi jari-jemari dengan mendahulukan tangan kanan sebelum yang kiri
sebanyak tiga kali.
(7) mengusap kepala dengan
menjalankan kedua telapak tangan dari ujung muka kepala hingga tengkuk dan
kembalikan lagi pada permulaan, lalu diteruskan dengan mengusap kedua telinga
bagian luar dengan kedua ibu jari dan sebelah dalam dengan kedua jari telunjuk.
(8) membasuh kaki hingga mata
kaki dengan sempurna dan menyelahi jemarinya dimulai dari kaki kanan lalu yang
kiri sebanyak tiga kali, lalu (9) ditutup dengan doa “asyhadu an laa ilaha illa lLah wahdahu laa syarikalah, wa asyhadu anna
muhammadan ‘abduhu wa rasuuluh.”
Doa ini adalah disandarkan pada hadts Rasulullah s.a.w yang bersumber
dari Umar bin Khatthab r.a bahwa Nabi s.a.w bersabda: “Tidak ada seorang dari kamu yang berwudhu dengan sempurna lalu
mengucapkan “asyhadu an laa ilaha illa
lLah wahdahu laa syarikalah, wa asyhadu anna muhammadan ‘abduhu wa rasuuluh,”
melainkan akan dibukakan baginya pintu-pintu syurga yang delapan yang dapat
dimasuki dari mana yang ia kehendaki.” (HR. Muslim, Ahmad dan Abu Dawud)
Seluruh aktivitas membasuh dalam wudhu ini harus dilakukan dengan
sempurna bahkan untuk menjaga kesempurnaanya maka harus membasuh dengan sedikit
melebihkan
batasnya dalam membasuh itu.
Nabi mengingatkan orang beriman agar
hati-hati dalam hal menjaga kesempurnaan wudhu
dengan hadits yang bersumber dari Ibnu ‘Amr bin Ash:“Neraka wail diperuntukkan bagi orang yang tidak sempurna mencuci
tumitnya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Nabi menyebut secara khusus di bagian
tumit, karena umumnya orang sering terlalaikan adalah ketika membasuh kaki,
maka sering di bagian tumit, terutama di bawah lekukan mata kaki tidak terkena
air wudhu.
Namun tentunya kesempurnaan membasuh
juga berlaku pada setiap anggota wudhu
yang lain. Hati-hatilah dalam menjaga wudhu
wahai hamba Allah yang beriman.
Ketiga, jika kamu junub maka mandilah. Dalam pembahasan
Surah An-Nisa ayat 43, yang disebut keadaan junub
yang biasa juga dikenal berhadats
besar yakni setelah berhubungan intim bagi suami-istri, atau keluarnya sperma-ovum karena mimpi.
Dalam kondisi junub seperti ini maka tidak boleh shalat sebelum mandi wajib. Demikian juga selepas haidh dan nifas bagi wanita juga diwajibkan mandi atau mandi wajib. Hal lain
yang juga dianjurkan mandi sebagaimana mandi wajib, adalah ketika hendak shalat juma’at dan shalat hari raya iedain (iedul fitri dan iedul adha).
Adapun tertib mandi wajib secara
berturut-turut menurut petunjuk Rasulullah
s.a.w sebagai berikut: (1) mencuci kedua tangan dengan niat ikhlash karena Allah, (2) mencuci kemaluan, digosok dengan tangan kiri lalu tangan
digosokkan ke tanah atau apa yang menjadi gantinya.
(3) berwudhu sebagaiman berwudhu
ketika hendak shalat (lihat
pembahasan kedua), (4) mengambil air dan memasukkan jari-jari ke pokok rambut
degan sedikit wewangian, dimulai dari sisi kepala sebelah kanan.
(5) melepaskan rambut (bila rambut
disanggul atau diikat atau dipintal), (6) tuangkan air di atas kepala sebanyak
tiga kali (tiga tahap bila menggunakan shower) lalu disiramkan/diguyur pada
seluruh badan dan digosok, serta (7) mencuci kaki dari kaki kanan kemudian yang
kiri.
Bila selama mandi tidak terjadi hal
yang membatalkan wudhu maka dapat
dilanjutkan untuk persiapan mengerjakan shalat lalu shalat. Namun bila wudhu batal selama mandi, maka wajib
berwudhu kembali untuk melaksanakan shalat.
Keempat, tayammun. Yakni cara bersuci sebagai
pengganti wudhu dan atau mandi karena
ada halangan tertentu. Halangan itu dapat berupa sakit atau karena tidak
menemukan air.
(1) Tayammum bagi orang yang sakit,walaupun
ada air tetapi yang bersangkutan akan terkena mudharat kalau menyentuh air, maka yang bersangkutan harus bersuci
dengan cara bertayammum.
(2) Tayammum dalam keadaan yang lain, yakni apabila dalam
perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan,
lalu tidak memperoleh air.
Adapun cara bertayammun menurut
petunjuk dari hadits Nabi s.a.w.
berurut-turut sebagai berikut: (1) meletakkan kedua tangan ke tanah atau ditempat
yang ada debu, kemudian tangan ditengadahkan lalu ditiup.
(2) berniat dengan ikhlash karena Allah, (3) membaca “bismillahir rahmanir rahiem” lalu mengusapkan kedua tangan pada
muka dan selanjutnya mengusap kedua tangan sampai pergelangan tangan sebanyak
satu kali, sebagaimana hadits Rasulullah
s.a.w yang bersumber dari Ammar.
“Sesungguhnya mencukupi bagimu begini: lalu beliau meletakkan
tangannya ke tanah lalu beliau meniupnya, kemudian mengusap mukanya dan telapak
tangannya dengan kedua tangannya” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kelima, bahan tayammum. Bertayammumlah dengan
tanah / debu yang baik (bersih); Sha’iedan thayyiban berarti tanah yang baik dan bersih
jadi bukan debu selain tanah (misalnya tepung atau bedak, dll).
Quraish Shihab dalam tafsir al-Misbah menuliskan
bahwa Imam Syafi’i dan Imam Ibnu Hanbal memahaminya dalam arti tanah dengan berpegang pada hadits Rasulullah s.a.w: ”Kita diistimewkan atas (umat) manusia yang lain dalam tiga hal; shaf
(barisan) kita seperti shaf-shaf malaikat, dijadikan bagi kita semua bumi
sebagai masjid (tempat sujud), dan dijadikan tanahnya sebagai sarana penyucian
jika tidak mendapatkan air.” (HR Imam Muslim)
Quraish Shihab juga menukil pendapat
Imam Abu Hanifah bahwa sha’idan thayyiban
berarti segala sesuatu yang merupakan bagian dari bumi sehingga termasuk pula
pasir, batu dan semacamnya selama ia tidak najis.
Imam Malik lebih memperluas
pengertiannya, sehingga beliau memasukkan pula pengertian shai’dan, pepohonan, tumbuhan dan semacamnya, dengan pemahaman
beliau bahwa segala sesuatu yang menonjol di permukaan bumi.
Menurut Al-Qurthubi, tidak ada
perbedaan ulama tentang bolehnya bertayammum dengan tanah jenis apa saja selama
tanah itu tidak bernajis. Ulama juga sepakat untuk tidak memperkenankan bertayammum
dengan emas murni, perak, mutiara, makanan seperti roti atau daging. Demikian
dinukilkan oleh Quraish Shihab.
Keenam, hikmah tayammum. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu.
Buya Hamka dalam tafsir Al-Ahzar menuliskan:
“Inilah alasan pokok maka ketika sukar mendapat air atau membawa kesusahan atau
bertambah sakit karena memakai air, walaupun air ada, diizinkan menggantikannya
dengan tayammum, karena Allah tidak
hendak memberatkan hamba-Nya dalam hal yang akan menyusahkan dirinya.”
Demikianlah Allah memberikan kemudahan yang banyak bagi hamba-Nya, bukan saja dalam hal wudhu dan mandi junub, namun dalam hal shalat
dan puasapun ada keringanan-keringanan yang diberikan Allah SWT.
Ketujuh, Allah menyempurnakan nikmat-Nya bagimu.
Masih dinukilkan dari uraian Buya
Hamka dalam tafsir Al-Azharnya: “Maka
dengan perintah berwudhu lebih dulu, atau mandi bagi yang junub serta mengganti
keduanya dengan tayammum ketika tidak ada air atau dapat berakibat sakit,
adalah semuanya itu untuk menyempurnakan nikmat Allah bagi hamba-Nya.
Nikmat Allah yang amat utama bagi orang beriman adalah pendidikan
kebersihan dan kesucian itu, yakni bersih suci jasmani dan rohani.
Dibersihkan terlebih dulu anggota
tubuh, lalu menghadap kepada Allah
dengan membersihkan ingatan kepada-Nya dan meninggalkan segala ingatan
kepada yang lain, dibersihkan dari sekian pengaruh, dibulatkan ingatan kepada
Allah, dimulai dengan Allahu Akbar;
hanya Allah saja yang maha Agung;
yang lain kecil dan tidak ada artinya.
Ditutup dengan salam: “Assalamu alaykum warahmatullahi wa
barakatuh,” dengan hati bersih membawa jiwa yang damai ke tengah-tengah
masyarakat. Inilah nikmat tak terbandingkan yang dianugrahkan oleh Allah SWT bagi orang muslim, orang-orang yang
beriman itu.
Kedelapan, supaya kamu bersyukur. Dengan jasmani
bersih dan hati suci, serta mengerjakan shalat
dengan hati yang suci bersih dan khusyuk, berlimpahlah datangnya nikmat yang
dirasakan oleh jiwa.
Banyak kesusahan yang dapat diatasi
karena shalat. Dengan shalat, terlatihlah jiwa mensyukuri
nikmat, sehingga rasa syukur itu akan senantiasa bersemayam dalam hati, baik saat senang maupun
dikala susah. Demikian disarikan dari Buya Hamka dengan penyelarasan kalimat dari
penulis. (bersambung)
------
Artikel sebelumnya: