Mantan Walikota Makassar, HM Dg Patompo (kanan) bersama mantan Gubernur Sulsel, Prof Ahmad Amiruddin, pada sebuah acara. Keduanya sudah almarhum.
-------
PEDOMAN KARYA
Ahad, 28 Juni 2020
Mati
Ketawa ala Patompo (10):
Walikota Emosi dan Menampar Pipi Imam
Oleh: HM Dahlan Abubakar
(Wartawan Senior)
Kapten Saleh yang
sempat “dikudeta” oleh Walikota Makassar, HM Dg Patompo, pada saat menjadi imam
salat magrib sebelumnya, kembali dipanggil menjadi imam. Utusan pun dikirim ke
rumahnya. Mengetahui ada utusan datang, Saleh sudah maklum. Pasti diminta jadi
iman lagi, meski hatinya was-was juga bakal dikudeta lagi.
Waktu itu masih bulan
Ramadan. Arfah Lewa juga hadir. Dia kemudian dipercaya menjadi muadzin.
“Allahu akbar, Allahu akbar……,”
terdengar suara merdu Arfah yang juga sering jadi ‘pemain sinetron’ di depan
Patompo.
“Oh, Arfah. Kau pernah
belajar di Sekolah Arab, ya…!?,” tanya Patompo yang ternyata memperhatikan gaya
dan suara Arfah melakukan azan yang ternyata dinilainya bagus.
“Saya tamat di daerah
Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Jadi soal azan dan salat itu
wajib, Puang’’ jawab Arfah.
“Oh, sibawako (kau bersama)
Daeng Kanda?” tanya Patompo (Daeng Kanda dimaksud adalah saudara dari HM Dg Patompo, yang juga termasuk anggota
gerombolan DI/TII)
Mendapat pertanyaan
seperti itu, Arfah diam saja.
Ketika usai azan,
Kapten Saleh pun maju lagi sebagai imam. Ia pun seakan sudah melupakan kisah
dua malam sebelumnya ketika Patompo maju menggantikan dirinya sebagai imam, tetapi
meski begitu Patompo suka Saleh yang menjadi imam. Lagi pula, “kelakuan”
Patompo seperti itu sudah dianggap biasa.
“Usalli…uuuuu…u..uu..usalliiii…,”
terdengar suara Saleh patah-patah membaca Usalli (doa niat melaksanakan salat).
Patompo rupanya tetap
curiga dan lupa dengan kelainan Saleh yang demikian itu, yakni sering gagap
jika mengucapkan sesuatu.
“Eh…… magairo i Saleh.
Seha’ muakah (E…kenapa itu Saleh. Sehatkah ia)?” tanya Patompo.
Alhasil Saleh jadi imam
juga, karena sudah melewati “takbiratul ihram”. Surah Al Fatihah pun lewat.
Saleh kemudian melanjutkan
membaca Surah Al-A’la, “Sabbihisma rabbikal a’la’….. dstnya.”
Itulah ayat yang selalu
digaet Saleh. Tentu saja panjang, padahal Patompo tidak kuat berdiri lama.
Tiba-tiba dia bergeser ke dekat Arfah. Dia menyenggol fotografer tersebut.
Disenggol seperti itu, Arfah berusaha sabar. Dia menangkap isyarat bahwa
Patompo tidak suka ayat yang panjang.
“Kenapa itu. Bukan itu
yang saya mau. Kenapa?” keluar juga pertanyaan Patompo, padahal Kapten Saleh
belum selesai membaca urah. Meskipun demikian, salat tetap berlanjut dan rakaat
pertama pun selesai. Namun, Patompo ternyata sudah nyaris “terkapar”. Dia
hampir tak bisa bangun lagi dari sujudnya.
Rakaat kedua dimulai.
Saleh melewati Al-Fatihah dengan selamat. Tiba pada pembacaan surah, Saleh
menyambar Surah Al-Ghasyiyah yang juga cukup panjang ayatnya.
“Hal ataaka haditsul
ghasyiyah...’’ dstnya.
Patompo kian jengkel,
tapi salat tetap lanjut hingga selesai. Alhasil, Saleh akhirnya mampu
menyelesaikan tugasnya sebagai imam dengan “selamat”. Saat Saleh memberi salam
ke kanan, Patompo maju, dan langsung menampar pelan pipi sang imam. Kapten Saleh
pun kaget ketika merasakan ada tangan mendarat di pipinya.
“Saya sudah bilang
memang tadi, jangan panjang-panjang. Saya sudah tidak bisa bangun,” kata
Patompo meluapkan emosinya.
Keesokan malam, Saleh “ngambek”.
Dia tak muncul di rumah jabatan. Berkali-kali ajudan lainnya menghubungi, tak
ada di rumahnya. Kabarnya dia ke Masjid Raya Makassar. Dia sudah berjanji tak
bakal datang ke rumah jabatan, karena tersinggung dengan peristiwa malam
sebelumnya. Dia sudah dua kali di-KO oleh Patompo.
Apa boleh buat, muazin
malam kemarin, Arfah-lah yang menjadi imam baru. Itu setelah Patompo terus
mendesaknya., Arfah juga diingatkan agar memilih ayat-ayat pendek. Arfah sangat
maklum dengan ayat kegemaran Patompo.
Arfah maju menjadi imam
dengan gelayutan pikiran macam-macam. Teringat kasus Saleh malam kemarin. Saking
bingungnya, Arfah main korting dan potong kompas membaca. Doa Iftitah
dilompati. Surat Al Fatihah dibalap sekali tarik napas. Ketika Arfah baru mau
menyebut “wala’dhaaliiinnn!, Patompo sudah langsung menyambut dengan “Amiiin!”.
Tanda, itulah yang dia suka.
Arfah menyambar ayat
pendek, Surat Al-Kausar yang hanya terdiri atas tiga ayat. Begitu pun pada
rakaat berikutnya, Arfah membaca surah pendek.
Salat pun usai. Baru
saja Arfah menyampaikan salam ke kanan, tangan Patompo sudah mendarat di rusuk,
menggelitik, Arfah.
Arfah memperkirakan,
gelitik tangan itu menunjukkan Patompo sangat senang dengan kepemimpinan Arfah
sebagai imam yang membaca surah-surah pendek. (Bersambung).
-----
Keterangan:
- Cerita ini dikisahkan
oleh almarhum HM Arfah Lewa.
- Penulis, HM Dahlan
Abubakar adalah mantan Kepala Humas Universitas Hasanuddin / Unhas Makassar,
dan mantan Pemimpin Redaksi Harian Pedoman Rakyat)
-----